buttwerflies

Sesampainya di depan rumah Sheila, perempuan itu segera membuka helm yang melindungi kepalanya dan memberikan benda tersebut kepada Javier.

Sheila ingin sekali mengungkapkan perasaannya kepada Javier, tetapi otaknya selalu menepis keinginan tersebut. Ia terlalu takut apabila Javier menolaknya dan mereka tidak bisa menjadi teman lagi.

Ketika Javier sudah menyalakan mesin motornya dan bersiap untuk pulang, tiba-tiba saja Sheila berteriak memanggil nama pria tersebut.

Javier segera menoleh ke arah sumber suara, “kenapa, Shei?”

“Gue mau bilang sesuatu, tapi janji ya jangan marah dan abis ini kita harus tetep temenan.”

Javier hanya mengangguk mendengar perkataan gadis di hadapannya.

Sheila mencengkram erat roknya, pandangannya di arahkan ke depan. Netranya menatap lekat Javier yang sedang menunggunya.

“Gue suka sama lu, Jav.”

Saat mendengar ucapan tersebut, Javier hanya menyunggingkan senyum manis di bibirnya yang tipis. Tangan lelaki itu mengacak-acak rambut Sheila.

“Kayanya lu lagi kecapean deh, istirahat dulu, gih, sana. Gue cabut dulu, ya?”

Sheila hanya terdiam dan menatap kepergian Javier dari hadapannya.

bellamarchel · Sisa Rasa – Mahalini (Original Audio)

diplay ya lagunya sambi baca hehe.

Dimas melangkah menuju ke arah Starbucks sambil menggandeng tangan Kayla. Setelah berjalan cukup jauh, anak kecil berambut hitam kecoklatan itu mengeluh kelelahan. Dimas dengan spontan menggendong Kayla.

Kayla menoleh ke arah Dimas sembari menarik jaket denim lelaki itu lembut. “Om.. om..”

“Iya, sayang?”

“Om kenal Papa Ian?”

“Kenal dong, dulu dia temen om. Kita pernah ngeband bareng, loh.”

“Wah, keren banget. Tapi kok Kayla ga pernah liat Om, ya?”

“Om pindah ke Australia sebelum Kayla lahir, jadinya kita ga pernah main bareng deh.” Langkah Dimas terhenti ketika netranya menangkap sosok lelaki yang sedang duduk santai sembari menyesap kopi di tangannya.

“Hoy!” sapa Dimas kepada Brian.

Brian menurunkan gelas kopi yang ia genggam barusan, lalu lelaki itu menoleh ke arah sumber suara. “Widihh... tambah ganteng aja lu. BTW thanks ya udah mau anterin anak gue.”

“Santai aja. Mana istri lu, Bri?” tanya Dimas sambil menurunkan Kayla dari gendongannya.

Brian menengok ke arah belakang, mencari-cari sosok kehadiran istrinya. “Nah, tuh, dia akhirnya dateng.”

Pandangan Dimas langsung menuju arah pandangan Brian, ketika ia melihat sosok gadis yang berjalan menuju ke tempat Dimas berdiri, seketika dunia terasa seperti berhenti berputar. Badannya mematung. Tatapannya menggambarkan kerinduan mendalam yang tidak bisa digambarkan oleh apapun.

“Eh? Halo, Dim,” sapa Gita. “Mama....” Kayla langsung berlari ke arah wanita yang baru saja menghentikan langkahnya.

“Aduduh anak mama cantik manja banget.” Gita segera mengangkat Kayla dan melingkarkan tangannya di pinggul anak kecil tersebut.

“Git...” Dengan suara lembut, Dimas menyapa wanita yang tidak pernah luput dari ingatannya. “Udah lama ya ga ketemu.” Matanya berkaca-kaca memandangi keindahan insan yang berdiri tepat di depannya. Dimas memandangi dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Cantik, Git. Lu akan selalu cantik di mata gue,” batin Dimas

“Sendirian aja, nih? Citra kemana?” tanya Gita sembari melemparkan senyum hangatnya kepada Dimas.

“Oh, dia masih ada urusan di Melbourne, makanya ga ikut.” Dimas menatap Brian. “Yaelah bilang, kek, kalo istri lu itu Gita.”

Brian terkekeh pelan, “Ya... biar kejutan aja.”

“Good afternoon. Boarding for ABC Airlines flight number 86K74 to Toronto will commence immediately. Would all passengers please to proceed to gate C2 and have your boarding pass and ID ready. Thank you.”

Mendengar pengumuman tersebut, Brian dan Gita bergegas mengambil kopernya. “Dim, gue duluan ya. It's nice to see you again.” Brian menepuk pundak Dimas sembari melangkahkan kakinya.

“Bilang dadah dulu ke Om Dimas.” Gita mengangkat tangan kanan Kayla dan melambaikannya ke arah Dimas.

“Dadah, Om. Kapan-kapan kita main, ya?”

Dimas tersenyum ke arah Gita dan Kayla. Kemudian ia melambaikan tangannya. “Dadah. Iya, nanti Om mampir ke rumah kalian, ya?”

Dimas memerhatikan punggung Gita dari belakang hingga tidak dapat terlihat lagi.

Senang melihat gadis yang namanya selalu lekat di relung hati dirinya, bahagia meski bersama yang lain. Anggita Prameswari hadir hanya untuk dikagumi bukan untuk dimiliki lelaki bernama Dimas Prayoga.

“Maaf pernah memberimu harap yang terlalu tinggi. Meski pada kenyataannya aku yang terjatuh untukmu dan memilih pergi. Melupakanmu merupakan hal tersulit bagiku. Selalu ku coba, namun aku tak mampu membuang semua kisah yang telah berlalu bersamamu. Selamat berbahagia, Anggita Prameswari dan Brian Aldorio.”

fin

yourswagbae · Tiara Andini – Merasa Indah (Slowed Version)

diplay ya lagunya supaya lebih menghayati

Setelah Brian menunggu sekitar 5 menit di depan rumah Gita, sang pemilik rumah akhirnya keluar.

“Maaf, ya, tadi high heels gue ilang satu. Jadinya gue ganti pake wedges aja deh,” ucap Gita sambil memasuki mobil.

“Iya, gapapa. Lagian masih ada waktu 30 menit sebelum acaranya dimulai,” balas Brian sembari menginjak gas secara perlahan.

Selama diperjalanan, keduanya tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Suasana di mobil saat itu sungguh hening, hanya terdengar nyanyian dari radio yang diputar oleh Brian.

Brian melihat raut wajah Gita sekilas. Tampak tegang, panik, khawatir, sedih, bercampur menjadi satu. Sejak awal perjalanan, gadis itu memainkan kukunya. Tangan kiri Brian meraih tangan Gita, ia bermaksud untuk menyalurkan ketenangan dan memberikan sedikit kenyamanan untuk perempuan di sampingnya. “Git, everything is gonna be fine. Tuhan lagi nguji lu. One day lu pasti menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari Dimas. Percaya itu.”

Gita hanya menunduk, ia tidak ingin merusak hiasan wajahnya dengan air mata karena mengasihani dirinya sendiri. Dirinya sungguh mencintai sosok yang bernama Dimas Prayoga. Sosok yang selalu menghiburnya dikala gundah, selalu menemaninya disaat yang lain meninggalkannya, selalu mengapresiasi sekecil apapun usahanya, dan selalu ada di manapun dan kapanpun Gita membutuhkannya. Kini, sosok itu perlahan menghilang. Tidak ada lagi sapaan setiap pagi, tidak ada lagi senyuman sehangat mentari yang dilontarkan Dimas untuk dirinya setiap hari, tidak ada lagi suara berat khas Dimas yang didengar tiap malam melalui telepon genggamnya. Takdir begitu kejam, pikirnya. Baru saja Gita merangkai suatu kebahagiaan, tiba-tiba saja dihancurkan oleh kenyataan.

Begitu sampai di tempat pernikahan Dimas dan Citra, Brian bertegur sapa dengan beberapa kerabat kuliahnya, sama halnya dengan Gita. Keduanya duduk di bangku tamu untuk menunggu akad pernikahan dimulai. Gita menghela napas panjang ketika mempelai pria wanita tiba. Keduanya duduk berhadapan dengan penghulu dan wali nikah.

Mata Gita terasa perih, dirinya tak sanggup lagi menahan rasa sesak di dalam dada. Jemarinya erat memegang kain yang menutupi dadanya. Tubuhnya mulai gemetar. Kini ia tidak bisa lagi menahan air matanya.

Saat ijab qabul selesai dibacakan, seluruh orang di dalam ruangan itu berbahagia kecuali Gita. Hancur semesta gadis itu dalam sekejap. Tidak ada lagi ruang kebahagiaan yang tersisa di dalam dirinya. Gita mencoba untuk melihat ke arah pengantin yang sedang duduk di atas pelaminan. Kemudian ia mulai berbisik pada dirinya sendiri. “Kenapa kita dipertemukan padahal kita tidak mungkin bersatu, Dim? Kau telah terikat janji dengannya, sedangkan aku menatap pilu melihat kau berdiri bersama wanita lain. Terkadang aku berkhayal 'seharusnya aku yang berdiri di sana bersamamu. Kau ucapkan janji suci di depan khalayak banyak. Kemudian jadilah kita sepasang insan yang tidak bisa dipisahkan oleh apapun.' Namun, itu semua tinggallah angan-angan semata. Satu hal yang harus kau tahu, aku sangat mencintaimu. Teramat dalam sampai aku lupa untuk mencintai diriku sendiri. Aku tidak pernah menyesal telah mengenalmu, Dim. Kamu memberikan warna pada hidupku yang kelam ini. Kamu menjadi sumber kebahagiaan dan semangatku untuk terus menjalani hidup. Kini aku harus merelakan kepergianmu. Semoga kamu bisa bahagia selalu.”

Gita mengulaskan senyuman di wajahnya. Ia mencoba mengikhlaskan Dimas dengan orang lain. “Kepada wanita pendamping hidupmu, aku mohon jaga Dimas. Jangan biarin dia kesepian, jangan sampai dia sedih. Kamu beruntung. Sangat amat beruntung. Jangan sia-siakan Dimas ya? Dia sangat berharga,” batin Gita. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya. Bukannya ikut menyalami kedua pengantin, Gita membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. Gadis itu tidak sanggup apabila harus berhadapan dengan Dimas. Brian tidak berkomentar apa pun, ia hanya mengikuti ke mana Gita beranjak.

Dari atas pelaminan, Dimas melihat kepergian Gita. Dirinya tidak sampai hati melihat gadis pujaannya terlihat begitu merana. Di dalam lubuk hati Dimas, tersimpan kesedihan serta kehancuran yang mendalam, menyadari dirinya tidak bisa hidup berdampingan dengan orang yang dicintainya. “Maaf, Git. Semesta memang menginginkan kita bertemu, tapi bukan bersatu. Semoga kamu mendapatkan lelaki yang terbaik, ya. I still love you even now.”

Helmi memutar knop pintu, netranya mendapati Gita yang sedang duduk termenung di ujung kasur. Lelaki itu melangkah perlahan ke arah sosok gadis di ujung ruangan. Gita mendengar suara langkah kaki Helmi, kepalanya menoleh ke belakang untuk memastikan indra pendengarannya. Saat ia melihat raut wajah adiknya yang sangat khawatir, Gita segera menghapus air mata dan memasang senyum terbaiknya.

“Eh, Sis. Sorry tadi gue udah ketuk pintu, tapi lu ga bukain. Jadi gue coba buka pintu aja, ternyata ga dikunci.” Helmi menghentikan langkahnya. Badannya terpatung di tempat ia berdiri. “Oh, iya. Gue udah pesenin pizza sama boba, sesuai sama wish list lu. Makannya sekalian kita nonton All of Us are Dead aja, yuk?” sambung lelaki itu.

Helmi tahu sekali bahwa kakaknya sedang tidak baik-baik saja. Senyuman yang dipasang gadis itu hanyalah sebuah tameng untuk menutupi kesedihannya. Helmi tidak ingin menyinggung dahulu masalah yang sedang Gita hadapi, ia tidak ingin kakaknya teringat kembali dan menjadi sedih.

Gita menepuk-nepuk kasur di sebelahnya, mengisyaratkan Helmi untuk duduk di sampingnya. Helmi bergerak maju, ia menjatuhkan dirinya ke atas hamparan berwarna putih itu. Gita menatap lurus keluar jendela, diikuti oleh Helmi.

“Mi,” sapa Gita tanpa menoleh.

“Hm?”

“Gue bodoh banget, ya?”

Helmi spontan menoleh ke arah sosok di sampingnya. “IP lu aja selalu di atas 3,5. Mana ada lu bodoh.”

Gita menunduk dan terkekeh. “Bukan itu maksudnya.”

“Terus?”

“Ya... gue udah berulang kali diperingatin, tapi masih berharap. Penyakit kok dicari.” Gita mengubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Helmi. “Gue jelek, ya? Sifat gue buruk banget, ya? Selera gue akan sesuatu ga bagus, ya? Gue...” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tangis Gita sudah pecah memenuhi seluruh ruangan.

Helmi miris melihat keadaan kakaknya. Ia merentangkan lengannya untuk memeluk Gita. “Sis, lu tuh manusia paling hebat yang pernah gue temuin,” ucap Helmi sembari mengelus pelan punggung kakaknya. “Lu tuh cantiikkk banget, kalah tuh Pevita Pearch. Ga usah Pevita Pearch, Barbara Palvin aja kalah telek sama lu. Lu tuh baaaikkk banget. Sangking baiknya, Bu Rina guru TK gue yang selalu ngasih kulit KFC, ga ada apa-apanya. Selera lu? BEHHH... ga usah ditanya. Kalo ada nominasi manusia dengan selera fashion, music, dll. terbaik, pasti lu dah jadi pemenangnya.” Helmi melepaskan pelukannya, ia menatap lekat wajah cantik Gita. “You're much more precious than you know.

Mendengar ucapan Helmi barusan, Gita terkekeh seraya memukul pelan lengan Helmi. “Apaan, sih, Mi?”

“Nah, gitu dong, senyum. Kan cantik jadinya.”

“Ih, lu tuh diajarin ngomong manis kaya gitu sama siapa, sih?”

“Sebenernya ini bawaan dari lahir, sih. Keturunan dari bapak lu kayanya.”

“Yeee... kan bapak lu juga.” Gita menyandarkan punggungnya di headboard kasur. Disusul oleh Helmi.

“Lah, iya, ya.” Helmi memainkan rambut panjang Gita, sudah menjadi hobinya sejak kecil memainkan rambut indah kakaknya sembari berbincang-bincang ringan. “BTW mau makan pizza ga? Gue udah pesen banyak banget, noh, di depan kamar, sama gue pesenin boba.”

“Lagi ga mood makan deh gue.”

Helmi menegakkan badannya, kepalanya menoleh ke samping untuk melihat Gita. “Lah... terus itu gimana? Masa dibuang?”

“Buat lu aja deh sama temen-temen lu sana,” ucap Gita sambil memiringkan kepalanya.

Dengan tatapan berbinar-binar, Helmi menggenggam tangan Gita ke atas. “BENERAN?”

“Iyaaa.”

“OKE.” Helmi bergegas keluar kamar Gita untuk mengundang teman-temannya ke rumah.

“Eh, tunggu dulu. Bobanya buat gue tapi.”

“Sip.”

Pukul 5 sore hari, Willy, Vivi, Jamal, dan Grace sudah melaju ke arah Bogor. Dalam perjalanan mereka berempat tidak henti-hentinya melakukan carpool karaoke untuk menghilangkan penat karena tol Jagorawi sangat macat.

“Nanti baliknya gantian lu yang bawa, ye, Mal?” keluh Willy yang kakinya mulai kebas karena menginjak rem terlalu lama. “Kaki gue dah mau copot, dari tadi rem gas rem gas.”

“Iye, tenang aja. Kalo sekarang mau gantian juga gapapa,” balas Jamal sembari mengambil kripik singkong dari bungkusnya.

Vivi yang daritadi asik mengambil selfie bersama Grace menoleh ke arah depan. “Sorry, ya. Gara-gara bm gue mau ke Warpat sama tadi ga liat GMaps dulu sebelum berangkat. Jadinya kejebak macet gini.”

“Santai aja, gue juga pengen banget ke Warpat. Kita seneng-seneng aja dulu di sini,” jawab Grace santai.

“Lu mah enak, lah, si Willy kasian anjir,”

“Lah, Wil, lu gapapa kan nyetir sampe sana? Demi Vivi nihhh,” ucap Grace seraya mencolek lengan Willy dari jok belakang.

“Iyeee. Santuy aja. Palingan sejam lagi sampe. Lu pada tidur aja, kecuali Jamal.”

Mendengar namanya disebut, Jamal sontak terkejut. “Lah? Kok gue ga boleh? Pilih kasih lu.”

“Lu temenin gue nyetir, jir. Sekalian liat di GMaps jalan mana yang ga macet.”

“Ya, siap, bos.”

Sudah satu setengah jam berlalu, mereka pun tiba di tempat tujuan. Saat melihat sekitar Warung Patra yang biasa disingkat Warpat, mereka tidak menemukan kursi yang kosong.

“Gila, ye. Udah lama di jalan, sekarang lama nunggu gantian tempat duduk,” gerutu Vivi.

“TUHH MBANYA UDAH KELAR! AYO CEPET KEBURU DIAMBIL ORANG.” Grace menarik lengan Vivi dan berlari ke arah tempat duduk yang kosong. Jamal dan Willy hanya terdiam dan mengikuti langkah Grace.

“Kalian mau mesen apa?” tanya Willy.

“Seperti biasa, wedang jahe sama indomie goreng pake telor setengah mateng,” ucap Vivi, kepalanya menengadah ke atas untuk melihat Willy yang sedang berdiri.

“Gue sama kaya Vivi, mau wedang jahe tapi ga pake indomie, gue mau roti bakar rasa coklat keju aja, ya,” sambar Grace.

“Gue STMJ aja sama mau nasi goreng, telornya didadar, ye,” sahut Jamal.

“Oke, gue bilang ke ibunya dulu, ya.” Willy melangkah pergi ke arah ibu yang berjualan di sana.

Angin puncak malam yang sejuk menerpa wajah keempat orang itu. Jamal yang sudah mengenakan jaket masih merasakan dinginnya udara malam itu. Willy, yang melihat Jamal mengeratkan jaketnya, menceletuk, “Yahh... alamat pulang-pulang langsung kerokan nih.”

“Enak aja. Gue ga biasa dikerokin tau. Sakit,” jawab Jamal cepat.

“Misi, ini makanannya, ya,” kata seorang ibu-ibu yang sedang membawa nampan berisikan pesanan mereka.

“Oke, makasih, bu.”

Sembari menikmati makanan dan menyesap minuman mereka, semua mata tertuju pada gemerlap pemandangan kota Bogor yang terlihat dari atas. Terlihat indah, tetapi untuk melihatnya dibutuhkan pengorbanan, mulai dari waktu maupun tenaga. Terlihat tatapan bahagia dari netra keempat orang itu, baik Jamal, Grace, Vivi, maupun Willy. Mereka menghabiskan waktu bercengkerama di sana.

“Pokoknya tahun depan kita harus gini lagi, ya? Kita berempat,” usul Vivi.

“Setuju, sih,” sahut Willy.

“Gue juga,” jawab Jamal mengiyakan.

“Kita berempat jangan sampe ada yang mencar ya, harus bersatu terus pokoknya, janji?” Grace mengangkat jari kelingkingnya untuk membuat pinky swear.

Kelingking Jamal menyambar, disusul oleh Vivi dan Willy, mereka berteriak bersamaan. “Janji.”

fin

Semua pemain sudah berkumpul di dalam lapangan. Jamal mencari-cari sosok gadisnya yang sudah berencana membawa banner milik Mas Jamal si penjual pecel. Terlihat Grace duduk di barisan paling depan bersama Vivi. Saat gadis itu mulai membuka lipatan banner yang ia bawa-bawa, Jamal menelan ludahnya khawatir. Lelaki itu berharap Grace tidak serius dengan ucapannya semalam. Dibantu oleh beberapa orang, Grace membentangkan bannernya.

“Jamal! Semangat, ya!” teriak Grace memecah keheningan.

Jamal yang mendengar teriakan dari sang kekasih hanya bisa terkekeh. Pasalnya mereka baru saja selesai berdoa sehingga lapangan sunyi. Melihat pacarnya berapi-api di barisan supporter sambil memegang banner bertuliskan 'GO GO WHITE TIGER!', Jamal tertunduk. Ia tidak bisa menahan senyumannya yang sedang mengembang di wajahnya. 'Untungnya bukan banner tukang pecel,' batin Jamal.

Willy yang berdiri bersebelahan dengan Jamal, mengalihkan pandangannya ke arah Vivi yang turut membantu Grace memegangi banner. Saat kedua mata mereka bertemu, Vivi memberikan isyarat dengen bibirnya. Bibirnya bergerak membentuk suatu kata. 'SE.MA.NGAT.' Tangan gadis itu mengepal dan diangkat setinggi telinga, mencoba memberi semangat melalui gestur tangannya. Willy tersenyum melihat hal tersebut, kemudian ia memalingkan pandangannya supaya tidak terlihat oleh Vivi.

PRIIT

Wasit sudah meniupkan peluit menandakan permainan dimulai. Kuarter pertama, regu lawan berhasil memimpin skor. Terdapat pergantian pemain dari regu White Tiger, kini Jamal turun langsung ke lapangan. Matanya sudah berapi-api ketika melihat benda yang berbentuk lingkaran itu.

Jamal fokus melihat sekeliling depan sembari melakukan dribble. Lelaki itu menggiring bola sampai berada di wilayah lawan. Kemudian Jamal memasukkan bola ke dalam ring dari dalam three-point line atau juga disebut garis penalti. Ia mencetak dua poin. Keadaan berbalik, kini White Tiger lebih unggul lima poin daripada Wild Rabbit.

Memasuki kuarter ketiga, tim Wild Rabbit mulai merasa kewalahan. Banyak dari mereka mulai melakukan pelanggaran. Saat Ian sedang menggiring bola, tiba-tiba saja lawan mendorongnya hingga terjatuh. Kakinya terkilir, kini Ian tidak bisa melanjutkan permainannya lagi.

Willy menggantikan Ian pada kuarter keempat. Saat lelaki ini memasuki lapangan, jarang sekali tim lawan mendapatkan kesempatan untuk memegang bola. Willy mendribble bola ke depan, terdapat lawan yang mengejar dirinya. Lawan tersebut menjaga Willy agar lelaki itu tidak bisa berlari kemana-mana lagi. Willy melakukan dribble ke arah samping dengan posisi badan bertahan dan rendah. Kemudian ia mengoperkan bola tersebut ke arah Jamal. Jamal berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang dengan teknik lay up shoot.

Waktu tersisa 3 menit lagi. Kedua tim sudah mulai merasa lelah. Willy yang sudah terengah-engah kembali melihat wanita yang daritadi menyemangati dirinya dari tempat duduk penonton. Ia mengingat akan reward yang akan didapatkan apabila hari ini timnya menang. Semangat Willy kembali lagi, ia berlari merebut bola, lalu memasukkannya ke dalam ring dari luar daerah setengah lingkaran.

PRITT

Waktu permainan sudah habis. Wasit meniupkan peluit dan mengumumkan pemenang.

“OLEOLEOLEOLE akhir yang manis sekali pemirsa. Pertandingan ini ditutup oleh three-point shoot dari Willy Baskara yang menandakan game ini dimenangkan oleh White Tiger,” ucap commentator semangat.

Mendengar pengumuman pemenang, jantung Vivi berdebar tak beraturan. Ia tidak bisa menahan senyumnya. Grace yang memerhatikan sahabatnya itu, langsung menyiku Vivi. “Ciee ada yang balikan nih.”

Vivi tidak menanggapi ucapan Grace barusan. Dengan tatapan berbinar, ia memerhatikan Willy yang sedang berdiri di podium sembari memegang piala. “Pacar gue keren banget sih.”

Saat Vivian dan Grace berhasil masuk ke dalam gudang tua tempat di mana Jamal dan Willy disandra, mereka berdua langsung memasang kuda-kuda. Netra kedua wanita itu fokus melihat keadaan sekitar. Namun, hanya tampak barang-barang yang sudah rusak di dalam sana.

“Vi, kok sepi, sih?” ucap Grace dengan nada penuh kebingungan.

“Lah, ga tau dah. Tadi kita masuk lewat pintu belakang sayap kanan apa kiri?”

“Kanan.”

“Beneran?”

“Iyeeee. Kenapa emang?”

“Berarti kita salah masuk,” jawab Vivian sembari menggaruk kepalanya.

“It’s halal to say anjing.”

Grace dan Vivi menuju gedung sayap kiri, kali ini keduanya membuka knop pintu dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, terlihat kedua lelaki sedang bertukar tinju. Pria yang akrab dipanggil Juan tersungkur di tanah, badannya dipenuhi memar dan darah. Ketika ia mencoba untuk berdiri, tibalah seorang lelaki menarik kerahnya. Lelaki itu sudah menyiapkan pukulan mautnya ke arah wajah Juan. Vivi yang melihat hal tersebut segera berlari ke arah kedua pria tersebut dan memukul dengan pemukul baseball kepala lelaki yang mencoba meninju wajah Juan.

BRUKK

Lelaki itu roboh. Vivi yang telah mengerahkan segala tenaganya kini terengah-engah. Ia menjulurkan tangannya ke arah Juan.

Juan meraih tangan Vivi dan berusaha untuk bangkit. “Jir, Vi. Lo kenapa ke sini?”

“Ya, sama-sama. Sekarang di mana Willy?” ujar Vivi tidak menanggapi pertanyaan Juan barusan.

“Noh, di sana.” Juan menunjuk ruangan yang ditutupi bilik reyot. “Lah, itu siapa? Cewenya Jamal?” tanya Juan saat melihat kehadiran Grace.

Vivi mengalihkan pandangannya ke arah pandangan Juan. “Iya.”

“Aneh juga tipenya Jamal,” bisik Juan pelan. “Hoi! Sini! Jangan takut, ada gue. Kenalin gue Juan. BTW lu ga gerah apa pake itu?” sambung lelaki itu.

Grace melangkah mendekat. Tangannya melambai kecil sebagai sapaan kepada Juan. “Halo! Gue Grace. Hmm gerah sih, tapi gapapa kok.” Wanita itu langsung membuka penutup kepalanya.

“Udah udah… kenalannya nanti lagi ya. Ju, temen-temen lu kemana? Lu sendiri doang?” tanya Vivi.

“Ada Renan, Ian, sama Dean sih. Terus kita mencar pas Abrx pada nyerang.”

Mendengar hal tersebut, Grace merasa takut. Ia mengepalkan kedua tangan dan menaruhnya di depan dada.

Melihat kelakuan Grace, Juan terkekeh. “Tenang aja. Udah gaada musuh lagi kok di dalem sini. Tuh, yang terakhir udah dipukul sama temen lu.” Juan mengarahkan dagunya ke arah Vivi.

“Oh gitu hehehe. Yaudah yuk langsung selamatin Jamal sama Willy aja.”

Ketiganya berlari ke arah ruangan yang dituju. Tampak Jamal dan Willy sedang terikat dengan mulut tertutup lakban. Tanpa basa basi, ketiganya melepaskan tali yang mengikat kedua pria tersebut dan membuka lakban yang menempel di mulutnya.

Dipenuhi rasa cemas, Grace menitikkan air matanya dan memeluk Jamal.

“Kamu kalo ada sesuatu, bilang dong. Jangan diem-diem kaya gini. Nanti kalo kamu kenapa-napa gimana? Mana susah dihubungin.”

Mendengar omelan Grace, kedua sudut bibir Jamal terangkat. Ia melepaskan pelukannya untuk melihat wajah wanita di depannya. “Jangan nangis, ya? Liat nih buktinya aku gapapa.” Ibu jari lelaki itu mengusap air mata yang mengalir di pipi Grace. “Kamu keren banget, sih, bisa nyelamatin aku. Ke depannya biar aku yang jagain dan nyelamatin kamu dari apapun ya!” ucap Jamal sembari mengusap pelan puncak kepala Grace.

Melihat kedua insan yang sedang berpautan di depannya, Willy dan Vivi hanya bisa terdiam di posisinya masing-masing.

“Hm.. makasih, ya,” ucap Willy memecahkan kecanggungan yang menyelimuti dirinya dan Vivi.

“Yaelah, Will. Kalo mau peluk mah peluk ae. Gausah gengsi gitu napa,” ledek Juan sembari menyenggol lengan Willy.

“WOII! DAH AMAN DI LUAR.” Suara Renan menggema di seluruh ruangan. “YOK BURUAN CABUT KEBURU MEREKA BANGUN.”

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, Elina sudah siap dengan menggunakan mini dress berwarna merah serta riasan wajah tipis andalannya. Tak lupa juga, wanita itu menyemprotkan perfum beraroma musk ke sekujur tubuhnya. Ia tidak ingin kesan pertama sang idola terhadap dirinya buruk.

Sesampainya di tempat tujuan, Elina langsung disambut oleh dua pelayan. Keduanya memberitahu bahwa Ten sudah menunggu di tempat istimewa yang telah disediakan oleh pihak SKYE.

Jantung Elina berdetak lebih cepat daripada biasanya. Apabila dia bisa berteriak, sungguh, ia akan berteriak sekuat tenaga untuk menggambarkan perasaan senang yang menyelimuti dirinya. Namun, wanita ini memilih untuk menjaga sikap. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian pengunjung bar & restaurant tersebut. Elina berjalan seanggun mungkin ke arah sang adam. Langkah wanita itu terhenti ketika netranya menangkap sosok lelaki bernama Chittaphon Leechaiyapornkul duduk santai mengenakan setelan jas hitam. “Sungguh indah,” gumamnya.

Melihat seorang wanita menghampirinya, Ten segera berdiri. “Elina? Bener kan?” tanyanya.

Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya. Wanita itu masih terpaku melihat keindahan ciptaan Tuhan di hadapannya.

Ten melambaikan tangannya di depan wajah wanita itu. Elina seketika sadar dari lamunannya dan membalas sapaan lelaki itu.

Keduanya berbincang-bincang cukup lama sembari menunggu pesanan mereka datang.

TRINGG

“Eh, sorry, ya? Ada yang nelpon. Izin ke sana dulu sebentar.” Dengan cepat, Ten melangkah menjauh untuk mencari tempat yang lebih sepi.

30 menit sudah berlalu, tetapi Ten tidak kunjung kembali. Makanan mereka sudah mulai dingin. Elina tidak mau makan terlebih dahulu, ia masih ingin menunggu kehadiran idolanya.

Setelah 1 jam Ten tidak kembali, Elina memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya dan mencari keberadaan lelaki itu. Seketika seluruh restoran sepi. Ia tidak bisa menemukan seorang pun. “Aneh, padahal tadi ramai.”

Elina terus berjalan mencari keberadaan orang-orang.

NGINGGG

Suara dengingan keras yang memasuki indra pendengarannya membuat wanita itu merasa pusing. Dirinya mulai terhuyung dan akhirnya terjatuh.

Saat penglihatannya mulai gelap, ia melihat ada seseorang yang menghampiri dan meneriaki namanya.

“ELINAA BANGUNN!”

“ELINA BANGUN!!”

Kelopak mata sang pemilik nama mulai terbuka perlahan. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya dan melihat sekitar.

“WOI ELINA! JAM BERAPA INI? BUKANNYA SEKOLAH MALAH ASIK TIDUR! Mana tadi ngigo teriak-teriak nama siapa itu tadi? Ten kalo ga salah.” Ibu Elina menggoyangkan tubuh putrinya hingga gadis itu sadar sepenuhnya.

Elina melihat sekelilingnya. “Lah ini di rumah? Berarti…. tadi tuh cuma mimpi?”

—End—

Vivi dan Grace menuju ke Sentul International Circuit. Sepanjang perjalanan, Grace fokus memperhatikan bahu jalan, siapa tahu ia menemukan Jamal dan Willy.

Sesampainya di tempat tujuan, keduanya langsung masuk ke dalam arena. Tak lupa Grace menenteng kotak P3K yang ia bawa dari rumah untuk berjaga-jaga apabila Jamal atau Willy terluka, sedangkan Vivi sudah siap membawa pemukul baseball sebagai alat pelindung dirinya dari serangan tiba-tiba. Vivi sudah terbiasa akan hal seperti ini, mengingat mantan pacarnya dahulu sering sekali dikeroyok oleh gerombolan orang yang tidak suka padanya karena kalah balapan.

Dengan posisi badan yang dibungkukkan, kepala yang menoleh ke kanan dan kiri, serta kaki yang dijinjit sedikit, kedua wanita itu mencari keberadaan Willy dan Jamal, tetapi mereka tidak menemukan apapun di sekitarnya.

“Vi, lu salah kali. Di sini ga ada siapa-siapa. Sepi bangettt. Cuma ada satpam sama tukang sapu, tuh.” Grace mengembalikan posisi tubuhnya menjadi tegak dan mendengus kesal.

Vivi mengikuti gerakan Grace barusan. Ia berkacak pinggang sambil berpikir sejenak.

Ting

Suara notifikasi ponsel Vivi membuyarkan lamunan singkatnya. Gadis itu merogoh saku celana untuk mengambil gawai canggihnya. Matanya seketika membelalak ketika membaca pesan yang barusan ia terima,

Juan Vi, gawat Willy diserang Abrx, terus dia dibawa ke markasnya Ada Jamal juga Ini gue sama yang lain lagi mau nyamper ke sana Lu ga usah khawatir, ya? Gue pastiin mereka selamat

Grace yang sedari tadi mengunyah pizza, menyadari perubahan ekspresi sahabatnya. “Lu kenapa, Vi?”

Perempuan berhoodie biru yang akrab disapa Vivi itu tidak menggubris pertanyaan Grace. Dirinya masih tenggelam di dalam pikirannya sendiri. Sekali panggilan tidak menyahut, disusul panggilan kedua masih tidak ada jawaban, sampai panggilan ketiga gadis itu baru menoleh ke sumber suara.

“Eh, iya, Grace? Sorry sorry.”

“Lu kenapa, dah? Lagi banyak utang, ya, lu makanya bengong-bengong gitu.” Grace mengambil segelas air untuk melancarkan tenggorokannya. Ia meneguk perlahan air yang diisinya tadi. “Willy ilang, Grace.” Mendengar hal tersebut, Grace spontan menyemburkan air ke arah Vivi.

“APAAN, SIH, GRACE? GUE JADI BASAH GINI!” Teriak Vivi seraya mengelap wajahnya yang dipenuhi semburan air.

“Eh... maaf banget, Vi. Gue ga sengaja. Kaget banget tadi soalnya.” Grace mengambil beberapa tisu kemudian membantu Vivi membersihkan pakaiannya yang basah.

“Kata lu, Jamal ngilang dari kemaren, ya?”

Masih fokus membersihkan seluruh permukaan yang terkena semburan airnya, Grace menunduk seraya menggumam. “Huum.”

“Kok bisa samaan kaya Willy, ya? Kata adeknya juga dia ga bisa dihubungin dari kemaren. Terakhir dia keluar bawa motornya gitu. Terus gue liat tweetnya Lina katanya dia ke arena, tapi si Willy ngasih tau gue kalo dia ga balapan. Dia cuma mau minjemin motornya ke Dion gitu.”

“Dion siapa? Baru denger dah. Lu salah baca kali”

Vivi mengangkat bahunya sembari melihat layar ponselnya. Ia mencari pesan dari Willy untuk memastikan nama yang ia sebut barusan. “Bener, jir. Nih, liat.” Vivi menyodorkan ponselnya ke arah Grace.

“Cie elahhh nama kontaknya belom diganti, nih, ye. Gamon lu?” ledek Grace.

“Yeee... malah salfok. Intinya gue ga tau siapa Dion ini. Temen dia setau gue ga ada yang namanya Dion juga.” Vivi menghentikan ucapannya, seketika pikirannya terbesit sesuatu. “Jangan-jangan... Dion itu Jamal?”