relax
Helmi memutar knop pintu, netranya mendapati Gita yang sedang duduk termenung di ujung kasur. Lelaki itu melangkah perlahan ke arah sosok gadis di ujung ruangan. Gita mendengar suara langkah kaki Helmi, kepalanya menoleh ke belakang untuk memastikan indra pendengarannya. Saat ia melihat raut wajah adiknya yang sangat khawatir, Gita segera menghapus air mata dan memasang senyum terbaiknya.
“Eh, Sis. Sorry tadi gue udah ketuk pintu, tapi lu ga bukain. Jadi gue coba buka pintu aja, ternyata ga dikunci.” Helmi menghentikan langkahnya. Badannya terpatung di tempat ia berdiri. “Oh, iya. Gue udah pesenin pizza sama boba, sesuai sama wish list lu. Makannya sekalian kita nonton All of Us are Dead aja, yuk?” sambung lelaki itu.
Helmi tahu sekali bahwa kakaknya sedang tidak baik-baik saja. Senyuman yang dipasang gadis itu hanyalah sebuah tameng untuk menutupi kesedihannya. Helmi tidak ingin menyinggung dahulu masalah yang sedang Gita hadapi, ia tidak ingin kakaknya teringat kembali dan menjadi sedih.
Gita menepuk-nepuk kasur di sebelahnya, mengisyaratkan Helmi untuk duduk di sampingnya. Helmi bergerak maju, ia menjatuhkan dirinya ke atas hamparan berwarna putih itu. Gita menatap lurus keluar jendela, diikuti oleh Helmi.
“Mi,” sapa Gita tanpa menoleh.
“Hm?”
“Gue bodoh banget, ya?”
Helmi spontan menoleh ke arah sosok di sampingnya. “IP lu aja selalu di atas 3,5. Mana ada lu bodoh.”
Gita menunduk dan terkekeh. “Bukan itu maksudnya.”
“Terus?”
“Ya... gue udah berulang kali diperingatin, tapi masih berharap. Penyakit kok dicari.” Gita mengubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Helmi. “Gue jelek, ya? Sifat gue buruk banget, ya? Selera gue akan sesuatu ga bagus, ya? Gue...” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tangis Gita sudah pecah memenuhi seluruh ruangan.
Helmi miris melihat keadaan kakaknya. Ia merentangkan lengannya untuk memeluk Gita. “Sis, lu tuh manusia paling hebat yang pernah gue temuin,” ucap Helmi sembari mengelus pelan punggung kakaknya. “Lu tuh cantiikkk banget, kalah tuh Pevita Pearch. Ga usah Pevita Pearch, Barbara Palvin aja kalah telek sama lu. Lu tuh baaaikkk banget. Sangking baiknya, Bu Rina guru TK gue yang selalu ngasih kulit KFC, ga ada apa-apanya. Selera lu? BEHHH... ga usah ditanya. Kalo ada nominasi manusia dengan selera fashion, music, dll. terbaik, pasti lu dah jadi pemenangnya.” Helmi melepaskan pelukannya, ia menatap lekat wajah cantik Gita. “You're much more precious than you know.“
Mendengar ucapan Helmi barusan, Gita terkekeh seraya memukul pelan lengan Helmi. “Apaan, sih, Mi?”
“Nah, gitu dong, senyum. Kan cantik jadinya.”
“Ih, lu tuh diajarin ngomong manis kaya gitu sama siapa, sih?”
“Sebenernya ini bawaan dari lahir, sih. Keturunan dari bapak lu kayanya.”
“Yeee... kan bapak lu juga.” Gita menyandarkan punggungnya di headboard kasur. Disusul oleh Helmi.
“Lah, iya, ya.” Helmi memainkan rambut panjang Gita, sudah menjadi hobinya sejak kecil memainkan rambut indah kakaknya sembari berbincang-bincang ringan. “BTW mau makan pizza ga? Gue udah pesen banyak banget, noh, di depan kamar, sama gue pesenin boba.”
“Lagi ga mood makan deh gue.”
Helmi menegakkan badannya, kepalanya menoleh ke samping untuk melihat Gita. “Lah... terus itu gimana? Masa dibuang?”
“Buat lu aja deh sama temen-temen lu sana,” ucap Gita sambil memiringkan kepalanya.
Dengan tatapan berbinar-binar, Helmi menggenggam tangan Gita ke atas. “BENERAN?”
“Iyaaa.”
“OKE.” Helmi bergegas keluar kamar Gita untuk mengundang teman-temannya ke rumah.
“Eh, tunggu dulu. Bobanya buat gue tapi.”
“Sip.”