Just a dream

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, Elina sudah siap dengan menggunakan mini dress berwarna merah serta riasan wajah tipis andalannya. Tak lupa juga, wanita itu menyemprotkan perfum beraroma musk ke sekujur tubuhnya. Ia tidak ingin kesan pertama sang idola terhadap dirinya buruk.

Sesampainya di tempat tujuan, Elina langsung disambut oleh dua pelayan. Keduanya memberitahu bahwa Ten sudah menunggu di tempat istimewa yang telah disediakan oleh pihak SKYE.

Jantung Elina berdetak lebih cepat daripada biasanya. Apabila dia bisa berteriak, sungguh, ia akan berteriak sekuat tenaga untuk menggambarkan perasaan senang yang menyelimuti dirinya. Namun, wanita ini memilih untuk menjaga sikap. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian pengunjung bar & restaurant tersebut. Elina berjalan seanggun mungkin ke arah sang adam. Langkah wanita itu terhenti ketika netranya menangkap sosok lelaki bernama Chittaphon Leechaiyapornkul duduk santai mengenakan setelan jas hitam. “Sungguh indah,” gumamnya.

Melihat seorang wanita menghampirinya, Ten segera berdiri. “Elina? Bener kan?” tanyanya.

Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya. Wanita itu masih terpaku melihat keindahan ciptaan Tuhan di hadapannya.

Ten melambaikan tangannya di depan wajah wanita itu. Elina seketika sadar dari lamunannya dan membalas sapaan lelaki itu.

Keduanya berbincang-bincang cukup lama sembari menunggu pesanan mereka datang.

TRINGG

“Eh, sorry, ya? Ada yang nelpon. Izin ke sana dulu sebentar.” Dengan cepat, Ten melangkah menjauh untuk mencari tempat yang lebih sepi.

30 menit sudah berlalu, tetapi Ten tidak kunjung kembali. Makanan mereka sudah mulai dingin. Elina tidak mau makan terlebih dahulu, ia masih ingin menunggu kehadiran idolanya.

Setelah 1 jam Ten tidak kembali, Elina memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya dan mencari keberadaan lelaki itu. Seketika seluruh restoran sepi. Ia tidak bisa menemukan seorang pun. “Aneh, padahal tadi ramai.”

Elina terus berjalan mencari keberadaan orang-orang.

NGINGGG

Suara dengingan keras yang memasuki indra pendengarannya membuat wanita itu merasa pusing. Dirinya mulai terhuyung dan akhirnya terjatuh.

Saat penglihatannya mulai gelap, ia melihat ada seseorang yang menghampiri dan meneriaki namanya.

“ELINAA BANGUNN!”

“ELINA BANGUN!!”

Kelopak mata sang pemilik nama mulai terbuka perlahan. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya dan melihat sekitar.

“WOI ELINA! JAM BERAPA INI? BUKANNYA SEKOLAH MALAH ASIK TIDUR! Mana tadi ngigo teriak-teriak nama siapa itu tadi? Ten kalo ga salah.” Ibu Elina menggoyangkan tubuh putrinya hingga gadis itu sadar sepenuhnya.

Elina melihat sekelilingnya. “Lah ini di rumah? Berarti…. tadi tuh cuma mimpi?”

—End—