Hilangnya Jamal&Willy (part 3)

Saat Vivian dan Grace berhasil masuk ke dalam gudang tua tempat di mana Jamal dan Willy disandra, mereka berdua langsung memasang kuda-kuda. Netra kedua wanita itu fokus melihat keadaan sekitar. Namun, hanya tampak barang-barang yang sudah rusak di dalam sana.

“Vi, kok sepi, sih?” ucap Grace dengan nada penuh kebingungan.

“Lah, ga tau dah. Tadi kita masuk lewat pintu belakang sayap kanan apa kiri?”

“Kanan.”

“Beneran?”

“Iyeeee. Kenapa emang?”

“Berarti kita salah masuk,” jawab Vivian sembari menggaruk kepalanya.

“It’s halal to say anjing.”

Grace dan Vivi menuju gedung sayap kiri, kali ini keduanya membuka knop pintu dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, terlihat kedua lelaki sedang bertukar tinju. Pria yang akrab dipanggil Juan tersungkur di tanah, badannya dipenuhi memar dan darah. Ketika ia mencoba untuk berdiri, tibalah seorang lelaki menarik kerahnya. Lelaki itu sudah menyiapkan pukulan mautnya ke arah wajah Juan. Vivi yang melihat hal tersebut segera berlari ke arah kedua pria tersebut dan memukul dengan pemukul baseball kepala lelaki yang mencoba meninju wajah Juan.

BRUKK

Lelaki itu roboh. Vivi yang telah mengerahkan segala tenaganya kini terengah-engah. Ia menjulurkan tangannya ke arah Juan.

Juan meraih tangan Vivi dan berusaha untuk bangkit. “Jir, Vi. Lo kenapa ke sini?”

“Ya, sama-sama. Sekarang di mana Willy?” ujar Vivi tidak menanggapi pertanyaan Juan barusan.

“Noh, di sana.” Juan menunjuk ruangan yang ditutupi bilik reyot. “Lah, itu siapa? Cewenya Jamal?” tanya Juan saat melihat kehadiran Grace.

Vivi mengalihkan pandangannya ke arah pandangan Juan. “Iya.”

“Aneh juga tipenya Jamal,” bisik Juan pelan. “Hoi! Sini! Jangan takut, ada gue. Kenalin gue Juan. BTW lu ga gerah apa pake itu?” sambung lelaki itu.

Grace melangkah mendekat. Tangannya melambai kecil sebagai sapaan kepada Juan. “Halo! Gue Grace. Hmm gerah sih, tapi gapapa kok.” Wanita itu langsung membuka penutup kepalanya.

“Udah udah… kenalannya nanti lagi ya. Ju, temen-temen lu kemana? Lu sendiri doang?” tanya Vivi.

“Ada Renan, Ian, sama Dean sih. Terus kita mencar pas Abrx pada nyerang.”

Mendengar hal tersebut, Grace merasa takut. Ia mengepalkan kedua tangan dan menaruhnya di depan dada.

Melihat kelakuan Grace, Juan terkekeh. “Tenang aja. Udah gaada musuh lagi kok di dalem sini. Tuh, yang terakhir udah dipukul sama temen lu.” Juan mengarahkan dagunya ke arah Vivi.

“Oh gitu hehehe. Yaudah yuk langsung selamatin Jamal sama Willy aja.”

Ketiganya berlari ke arah ruangan yang dituju. Tampak Jamal dan Willy sedang terikat dengan mulut tertutup lakban. Tanpa basa basi, ketiganya melepaskan tali yang mengikat kedua pria tersebut dan membuka lakban yang menempel di mulutnya.

Dipenuhi rasa cemas, Grace menitikkan air matanya dan memeluk Jamal.

“Kamu kalo ada sesuatu, bilang dong. Jangan diem-diem kaya gini. Nanti kalo kamu kenapa-napa gimana? Mana susah dihubungin.”

Mendengar omelan Grace, kedua sudut bibir Jamal terangkat. Ia melepaskan pelukannya untuk melihat wajah wanita di depannya. “Jangan nangis, ya? Liat nih buktinya aku gapapa.” Ibu jari lelaki itu mengusap air mata yang mengalir di pipi Grace. “Kamu keren banget, sih, bisa nyelamatin aku. Ke depannya biar aku yang jagain dan nyelamatin kamu dari apapun ya!” ucap Jamal sembari mengusap pelan puncak kepala Grace.

Melihat kedua insan yang sedang berpautan di depannya, Willy dan Vivi hanya bisa terdiam di posisinya masing-masing.

“Hm.. makasih, ya,” ucap Willy memecahkan kecanggungan yang menyelimuti dirinya dan Vivi.

“Yaelah, Will. Kalo mau peluk mah peluk ae. Gausah gengsi gitu napa,” ledek Juan sembari menyenggol lengan Willy.

“WOII! DAH AMAN DI LUAR.” Suara Renan menggema di seluruh ruangan. “YOK BURUAN CABUT KEBURU MEREKA BANGUN.”