buttwerflies

Dimas sampai di kediaman Helmi dan Gita. Ia menekan bel di pintu masuk rumah tersebut, tetapi tidak ada jawaban. Pria ini memutuskan untuk mendorong pintu tersebut untuk membukanya.

'Ga dikunci?' batinnya.

Dimas melebarkan langkahnya dan mencari keberadaan Helmi.

Matanya terbelalak melihat Helmi yang sudah terbaring di taman belakang. Helmi hanya bisa meringis kesakitan. Kedua tangannya yang tertutupi noda hitam memegang kaki kanannya yang ia lipat ke atas. Terdapat luka terbuka pada kaki kanannya. Darah pria itu mewarnai rumput di sekitarnya dengan warna merah pekat.

Dimas mendekat dan berjongkok di samping Helmi. “Hel, lu gapapa? Shit ada beling nancep di tangan lu. Gue telpon rumah sakit dulu, ya?” Setelah Dimas menghubungi pihak rumah sakit, pria itu segera merobek bajunya dan membalut luka terbuka yang terdapat di kaki kanan Helmi.

“Bang, gue berhasil,” sahut Helmi lemah, ia menunjuk ke arah boneka yang sudah berceceran di taman. Dimas menoleh ke arah tunjuk Helmi. Kemudian dia kembali fokus untuk menekan luka di tubuh Helmi agar perdarahannya dapat berhenti.

“Lo keren banget, Hel. Makasih, ya.”

Well well, udahan mellow-mellowannya?” Dimas dan Helmi menoleh ke sumber suara. Citra berjalan lenggok sambil memainkan rambutnya. Ia menghentikan langkahnya sejauh 3 meter dari kedua pria tersebut.

“Lu ngapain di sini?” Dimas berdiri menghadap Citra, ia mengertakkan grahamnya, serta kedua tangannya dikepal erat-erat.

“Aku udah bilang, kan? Aku selalu ada di sekitarmu.”

Please stop nyakitin orang-orang yang ga bersalah. Lu mau apa, hah?”

You. All I want is you. Aku udah pernah bilang, kan?”

Shit. Selain itu?”

“Ga ada.” Citra tersenyum melihat Dimas yang terlihat frustrasi. “You look cute that way,” tambah gadis berambut kecoklatan itu.

Dimas hanya mendengus kesal mendengar tiap kata yang keluar dari mulut Citra. Ia mulai kewalahan menghadapi sikap perempuan di hadapannya. Ditambah Citra memiliki dukungan dari orang tua Dimas.

“Aku bakal berhenti ganggu wanita itu dan orang di sekitarnya but in one condition.”

“Apa?”

“Majuin tanggal pernikahan kita.”

“Kalian pulang duluan aja, gue mau ke toilet dulu. Tadi kebanyakan minum kopi kayanya,” ucap Gita seraya melambaikan tangannya kepada Lila dan Olivia.

Gita mempercepat langkahnya menuju toilet. Kafein selalu berhasil membuatnya sering buang air kecil.

Suasana kampus saat itu sudah mulai sepi mengingat matahari mulai menghilang di bawah garis cakrawala. Tiada orang di toilet sehingga Gita tidak perlu mengantre untuk mendapatkan giliran.

“Ah... leganya,” bisik gadis itu pelan. Selang beberapa detik, terdengar langkah kaki masuk ke dalam toilet. Suaranya semakin lama semakin terdengar jelas. Gita tidak terlalu menghiraukan kedatangan orang tersebut hingga terlihat bayangan kaki berdiri di depan bilik toilet yang ia pakai saat itu.

Krekk

“Eh? Siapa itu?” teriak Gita sembari membuka kunci bilik toilet. Deg. Ia terkunci di dalamnya. Perempuan itu paling tidak suka berada di tempat sempit sendirian terlalu lama. Ia mencoba mendobrak pintu di hadapannya. Namun, hasilnya nihil.

“Siapapun, tolong!! Ga lucu sumpah. Bukain, dong!” Tak ada sautan dari siapapun. Kini pelaku yang mengunci bilik toiletnya tadi, menekan saklar lampu kamar mandi. Gelap. Ketakutan Gita lainnya yaitu kegelapan.

Pikiran Gita langsung tertuju pada masa lalunya. Ruang sempit dan kegelapan adalah traumanya saat ia masih kecil. Ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja, mereka menitipkan anaknya kepada pengasuh yang bisa dikatakan tegas. Sengaja orang tuanya memilih pengasuh tersebut supaya Gita dan Helmi bisa menjadi anak yang disiplin. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. Pengasuh itu memberikan kenangan buruk untuk anak-anaknya, ia selalu mengurung Gita dan Helmi di gudang dengan keadaan gelap gulita tiap kali mereka berdua membuat kesalahan walau hanya berupa kesalahan kecil seperti lupa mencuci piring sehabis makan. Keduanya selalu menangis supaya mendapatkan belas kasihan.

Ketika dihukum seperti itu, mereka berdua selalu berpelukan untuk memberi kenyamanan satu sama lain. Namun, kali ini Gita hanya seorang diri. Tidak ada yang bisa menyalurkan rasa nyaman ke dalam tubuhnya. Bajunya sudah basah dipenuhi keringat yang bercucuran dari badannya. Tangan dan kaki perempuan malang itu sudah mulai lemas, ia tidak bisa lagi menopang massa tubuhnya sendiri. Netranya bergetar memancarkan ketakutan yang amat besar. Suasana dingin dan lembab menambah rasa tidak nyaman yang dialami Gita. Napasnya mulai tidak beraturan dikarenakan pasokan oksigen yang masuk ke dalam pernapasannya berkurang. Tangannya meraih tas yang digantungkan di dinding bilik toilet. Jari jemarinya mulai bergerilya mencari keberadaan ponsel.

Gita menekan nomor adiknya dan mendekatkan gawai tersebut ke dekat telinganya. Tidak diangkat. Ia mencoba untuk terus menghubungi Helmi, tetapi pria tersebut tetap tidak menjawab panggilannya. Gita menelusuri kontak dan melihat nama Dimas tertera di sana. Sempat ragu sejenak sebelum ia menekan lambang telepon di layar ponselnya.

Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.

Kali ini ia mencoba menghubungi teman-temannya, Olivia, Trisha, dan Lila. “Please, siapapun angkat.”

Tidak lama setelahnya, terdengar suara Trisha dari balik ponsel milik Gita. “Halo, Git? Kenapa? Haloo?” Belum sempat Gita menjawab, seketika suara Trisha menyambar pendengarannya. “Yaa... yaa.. tunggu sebentar ya, bu. Git? Chat aja ya kalo ada apa-apa, gue lagi di toko kue nyokap, lagi banyak pelanggan. Bye.”

Gerakannya sudah tak selincah biasanya. Otaknya tidak bisa berpikir jernih lagi. Gita hanya duduk tak berdaya di atas kloset. Satu nomor terakhir yang menjadi harapannya.

“Halo, Git?” Suara rendah milik Brian memasuki rungu perempuan yang menghubunginya. Gita memberikan seulas senyum mendengar seseorang menjawab panggilannya.

“Git...? Lo kenapa? Git... jaw—”

“Tolong.” Kata terakhir yang bisa dikeluarkan dari mulut perempuan itu sebelum ia kehilangan kesadarannya.

“Kalian pulang duluan aja, gue mau ke toilet dulu. Tadi kebanyakan minum kopi kayanya,” ucap Gita seraya melambaikan tangannya kepada Lila dan Olivia.

Gita mempercepat langkahnya menuju toilet. Kafein selalu berhasil membuatnya sering buang air kecil.

Suasana kampus saat itu sudah mulai sepi mengingat matahari mulai menghilang di bawah garis cakrawala. Tiada orang di toilet sehingga Gita tidak perlu mengantre untuk mendapatkan giliran.

“Ah... leganya,” bisik gadis itu pelan. Selang beberapa detik, terdengar langkah kaki masuk ke dalam toilet. Suaranya semakin lama semakin terdengar jelas. Gita tidak terlalu menghiraukan kedatangan orang tersebut hingga terlihat bayangan kaki berdiri di depan bilik toilet yang ia pakai saat itu.

Krekk

“Eh? Siapa itu?” teriak Gita sembari membuka kunci bilik toilet. Deg. Ia terkunci di dalamnya. Perempuan itu paling tidak suka berada di tempat sempit sendirian terlalu lama. Ia mencoba mendobrak pintu di hadapannya. Namun hasilnya nihil.

“Siapapun tolong!! Ga lucu sumpah. Bukain, dong!” Tak ada sautan dari siapapun. Kini pelaku yang mengunci bilik toiletnya tadi, menekan saklar lampu kamar mandi. Gelap. Ketakutan Gita lainnya yaitu kegelapan.

Pikiran Gita langsung tertuju pada masa lalunya. Ruang sempit dan kegelapan adalah traumanya saat ia masih kecil. Ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja, mereka menitipkan anaknya kepada pengasuh yang bisa dikatakan tegas. Sengaja orang tuanya memilih pengasuh tersebut supaya Gita dan Helmi bisa menjadi anak yang disiplin. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. Pengasuh itu selalu mengurung Gita dan Helmi di gudang dengan keadaan gelap gulita tiap kali mereka berdua membuat kesalahan walau hanya berupa kesalahan kecil seperti lupa mencuci piring sehabis makan. Keduanya selalu menangis supaya mendapatkan belas kasihan.

Ketika dihukum seperti itu, mereka berdua selalu berpelukan untuk memberi kenyamanan satu sama lain. Namun, kali ini Gita hanya seorang diri. Tidak ada yang bisa menyalurkan rasa nyaman ke dalam tubuhnya. Bajunya sudah basah dipenuhi keringat yang bercucuran dari badannya. Tangan dan kaki perempuan malang itu sudah mulai lemas, ia tidak bisa menopang massa tubuhnya sendiri. Netranya bergetar memancarkan ketakutan yang amat besar. Suasana dingin dan lembab menambah rasa tidak nyaman yang dialami Gita. Napasnya mulai tidak beraturan dikarenakan pasokan oksigen yang masuk ke dalam pernapasannya berkurang. Tangannya meraih tas yang digantungkan di dinding bilik toilet. Jari jemarinya mulai bergerilya mencari keberadaan ponsel.

Gita menekan nomor telepon adiknya dan mendekatkan gawai tersebut ke dekat telinganya. Tidak diangkat. Ia mencoba untuk terus menghubungi Helmi, tetapi pria tersebut tetap tidak menjawab panggilannya. Gita menelusuri kontak dan melihat nama Dimas tertera di sana. Sempat ragu sejenak sebelum ia menekan lambang telepon di layar ponselnya.

Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.

Kali ini ia mencoba menghubungi teman-temannya, Olivia, Trisha, dan Lila. “Please siapapun angkat.”

Tidak lama setelahnya, terdengar suara Trisha dari balik ponsel milik Gita. “Halo, Git? Kenapa? Haloo? Yaa... yaa.. tunggu sebentar ya, bu. Git? Chat aja ya kalo ada apa-apa, gue lagi di toko kue nyokap, lagi banyak pelanggan. Bye.”

Gerakannya sudah tak selincah biasanya. Otaknya tidak bisa berpikir jernih lagi. Gita hanya duduk tak berdaya di atas kloset. Satu nomor terakhir yang menjadi harapannya.

“Halo, Git?” Suara rendah milik Brian memasuki rungu perempuan yang menghubunginya. Gita memberikan seulas senyum mendengar seseorang menjawab panggilannya.

“Git...? Lo kenapa? Git... jaw—”

“Tolong.” Kata terakhir yang bisa dikeluarkan dari mulut perempuan itu sebelum ia kehilangan kesadarannya.

Vivi melaju dengan kecepatan 110km/jam. Ia tahu berkendara di jalan raya dengan kecepatannya sangat berbahaya. Namun, wanita ini tidak ingin mantan kekasihnya bertindak semakin jauh dibawah pengaruh alkohol.

Ketika sudah sampai Senayan Park, Vivi segera menuju ke arah Holywings. Netranya menelusuri ke segala arah, mencari sosok sang adam. Seketika matanya terpaku pada pria berkaus putih sedang tertawa riang bersama beberapa pria lainnya.

Vivi memperbesar langkahnya menghampiri pria tersebut. “Wil!”

“Ah! Ini dia perempuan tercantik di dunia datang,” ucap Willy setengah sadar. Teman-temannya hanya terpana saat melihat Vivi berdiri di depan mereka. “Ssstt… jangan ada yang lirik dia! Punya gue hahaha. Awas aja ada yang berani macem-macem lu, ye, semua…” lanjutnya sembari menopang dagu menatapi Vivi yang masih berdiri di sampingnya.

Vivi mencoba membantu Willy berdiri dan merapihkan barang-barangnya. “Kamu mabuk. Pulang, yuk?”

Willy memasang tampang cemberut. “Aku mau pulang ke mana? Rumahku udah hancur, udah ga ada. Aku sedih huhuhu,” tuturnya sedih.

Vivian mengabaikan ocehan Willy, ia melingkarkan tangan Willy dilehernya. Dengan sekuat tenaga diangkatnya Willy dari tempat duduknya.

Sepanjang perjalanan, Willy hanya mengoceh tidak karuan. Terkadang ia menyanyi sambil berpose layaknya penyanyi yang sedang berada di atas panggung.

Vivi yang sedang menyetir hanya bisa menghela napasnya ketika melihat tingkah laku Willy. Dahulu Vivi selalu mengurus pria ini saat mabuk, tetapi lama-kelamaan Vivi lelah dengan kelakuan lelaki ini dan memintanya untuk tidak mengonsumsi alkohol lagi.

“Wil, udah sampe rumahmu, nih. Bisa jalan ga? Sini aku bantu masuk.” Vivi keluar dari mobilnya, ia berjalan mengarah ke pintu mobil tempat Willy berada. Dibukanya pintu itu dengan perlahan, diambilnya lengan pria mabuk itu untuk dilingkarkan ke lehernya. Namun, Willy memberikan perlawanan. Ia menarik Vivi ke dalam mobil. Wanita itu terjatuh di atas dadanya.

“Cantik. Cantik banget pacarku.” Willy menyelipkan rambut Vivi yang menghalangi wajah cantiknya. Tangannya menangkup pipi wanita itu. Didekatkan wajah memerah itu ke arahnya. Vivian kini bisa merasakan hembusan napas pria di hadapannya. Jantungnya mulai berpacu cepat. Kedua ranum mereka hampir bertemu. Vivi lantas sadar dan menarik badannya keluar mobil.

“Wil, kita udah putus.”

Gita mengendarai mobil dengan sangat hati-hati. Ia tidak ingin kejadian yang pernah menimpa Helmi terulang dan membuat orang tuanya murka. Sepanjang perjalanan kakak beradik ini melakukan carpool karaoke. Tidak peduli suara mereka yang nyaring dapat merusak gendang telinga, mereka tetap melanjutkan bernyanyi—yang lebih tepatnya berteriak-teriak sembari melafalkan lirik lagu.

Tiba-tiba ada seseorang yang melemparkan batu ke arah mobil mereka. Gita spontan menginjak rem. Helmi yang sedang berjoget tiba-tiba saja tubuhnya terpental ke depan. Untung saja ia mengenakan sabuk pengaman sehingga badannya tidak terbentur dashboard.

“Kenapa, sih, sis? Kok ngerem mendadak?”

“Tadi ada yang ngelempar batu. Lo ga liat?”

“Hah? Sumpah? Manusia stres apa yang ngelemparin mobil pake batu?”

Tok tok

Wanita bertopi dengan kacamata hitam menutupi matanya mengetuk kencang kaca mobil samping Gita.

“Gausah dibuka, sis. Minta sumbangan kali, tuh, tapi ga sopan banget,” celetuk Helmi.

Gita merasa familiar dengan wanita yang berdiri di samping mobilnya, ia memutuskan untuk keluar dari mobil dan menemui wanita tesebut.

“Ada apa, ya?”

Wanita yang akrab dipanggil Citra itu menurunkan kacamatanya untuk mengamati Gita dari atas sampai bawah. “Cih, ga ada istimewanya. Cantikan juga gue.”

Sorry?

“Heh, Gita! Lu jangan sok kecakepan deh. Gausah rusak hubungan gue sama Dimas. Lu mau dipanggil jadi pelakor?”

“Ini ada apaan sih? Lu siapa deh? Kayanya yang sok kecakepan lu,” Helmi yang mendengar ucapan sinis wanita asing itu, langsung keluar dari mobil dan menghampiri mereka berdua.

“Ewh who are you? cowonya Gita yang baru? Look! lu pasti simpenannya banyak ya?” tanya Citra sembari mendorong pelan bahu Gita.

“Apaan, sih? Gila lu, ya? Gue adeknya, kenapa? Ga suka? Ada masalah apa, hah?” balas Helmi dengan dagu yang diangkat seraya mendekatkan dirinya ke arah perempuan itu.

Melihat suasana makin keruh, Gita mencoba menengahi keduanya. “Udah… udah, berhenti! Coba lu ngomong baik-baik dulu deh tujuan lu lempar batu ke mobil gue tuh apa?”

“Ya, itu sebagai balasan karena mengabaikan peringatan gue sebelumnya. Ini belum seberapa, ya, Git! Kalo gue liat lu masih suka nempel sama calon suami gue, gue bakal hancurin hidup lu, sama si cowo aneh ini, nih!” Citra menunjuk ke arah Helmi seraya memberi tatapan serius. Ia kemudian melangkah pergi menjauh dari kedua kakak beradik itu.

“Dia siapa, sih, sis?”

“Tunangannya Dimas.”

WTF?!! Jadi itu orangnya yang bikin kakak gue nangis. Liat aja, ga bakal gue biarin dia buat lu nangis lagi, sis.”

Suara decitan pintu rumah membuat Dimas dan Helmi memalingkan pandangannya. Tampak sesosok perempuan berbusana piyama berjalan keluar dari balik pintu. Helmi yang melihat kedatangan kakaknya, langsung berinisiatif untuk masuk ke dalam rumah untuk memberikan ruang dan waktu kepada Dimas dan Gita.

Dimas menatap wanita di hadapannya lekat-lekat. Dari sorot matanya terlihat kerinduan yang begitu mendalam sekaligus rasa sedih yang tak bisa diabaikan. Surai hitam yang tergerai panjang, netra hitam-kecoklatan nan indah, kedua pipi yang merah merona, bibir kemerahan dengan rasio yang proporsional, jari-jari tangan yang lentik, kulit lembut berwarna kuning langsat, kaki yang indah, tampak sempurna di mata Dimas. Ia sangat menyukai setiap detail perempuan pujaannya itu. Mengingat bahwa banyak halangan yang membuat mereka untuk menyatu, seketika dada Dimas terasa sesak. Rasanya menjalar sampai tenggorokkan pria itu. Ia tidak bisa berkata-kata. Saat ini, dengan melihat wanita idamannya secara langsung saja sudah membuat harinya membaik. Tanpa disadar terulas senyuman kecil di wajah pria yang diam terpaku itu.

“Dim? Tadi lo bilang ada yang mau diomongin, apa?”

Dimas buyar dari lamunannya, ia spontan menceritakan semuanya kepada Gita. Begitu juga Gita, ia memberitahukan semuanya, mengenai jawaban untuk Dimas dan semua perasaannya. Tidak ada lagi hal yang terpendam di antara mereka. Seakan-akan perasaan lega menjalari tubuh kedua insan tersebut.

“Git, mau gimana pun, gue bakal berusaha buat batalin semua rencana bokap nyokap gue. Bertahan sebentar lagi ya? Gue mohon.”

Gita hanya mengangguk kecil seraya menundukkan kepalanya, ia tidak mau terlalu berharap kali ini. Sudah berapa kali gadis ini hancur karena harapan yang digantungnya tinggi-tinggi lenyap dibantai oleh kenyataan yang menyakitkan.

“Gue balik dulu, ya. Jangan kacangin chat gue lagi dong.”

“Iyaiya. Dadahh, hati-hati, ya.”

Adrian beserta keluarganya sudah sampai di tempat yang mereka reservasi—Wolfgang’s Steakhouse. Pemandangan kota Jakarta di malam hari dari lantai 6 gedung Elysee memang tidak ada tandingannya. Gemerlap lampu kendaraan yang berlalu lalang ditemani dengan cahaya terang terpancar dari gedung-gedung membuat siapa saja jatuh hati melihatnya.

Tak lama berselang dari kedatangan Adrian, tibalah pria separuh baya dengan setelan jas hitam bersama dua wanita cantik di sebelahnya.

“Drian, my friend! Makin keren aja kalo diliat-liat,” sapa pria yang bernama Joni sambil menjabat tangan Adrian.

“Ah bisa aja. Situ juga makin gagah, nih. Sini silakan duduk.”

“Dim, sapa dong.” bisik Adrian sembari menyiku anak tunggalnya.

Dimas acuh tak acuh akan kehadiran keluarga yang bisa dibilang dari calon istrinya kelak. Ia bangkit dari kursinya sembari mengembuskan napas berat, “Halo, om. Saya Dimas, salam kenal.”

“Nak Dimas! Ganteng banget ya, cocok deh sama anak saya yang cantik ini.”

Dimas hanya tersenyum kecut mendengar perkataan Joni barusan. Selama pertemuan ini, ia hanya meratapi makanan di depannya miris sambil memainkan sendok yang telah disediakan. Tidak minat dengan apa yang dibicarakan.

“Gimana, Dim? Kamu setuju kan, nak?” tanya mama Dimas.

Merasa namanya dipanggil, Dimas tersadar dari lamunannya, “Hm? Maaf, kenapa, ma?”

“Kan kamu tahun ini wisuda. Nah, rencana pernikahan kamu sama Citra dimajuin abis kamu wisuda. Gimana? Kamu setuju, 'kan?”

“Apa ga kecepetan? Dimas masih muda loh ma. Masih mau nikmatin masa-masa muda Dimas.”

“Ya kan bisa nikmatin masa-masa mudamu bareng Citra. Lagian juga kalo udah ketemu jodohnya mah ngapain nunda-nunda nikahnya.”

“Cih. Serah,” jawab Dimas ketus seraya memutar bola matanya.

Di tengah-tengah suasana tidak menyenangkan itu, Citra yang daritadi menyantap makanannya, tiba-tiba batuk tersengal-sengal.

“Are you alright, my baby?” tanya wanita paruh baya di sampingnya.

Citra tidak menjawab, ia masih sibuk menelan makanannya yang tersangkut di kerongkongannya sembari melirik Dimas.

“Dim, bantu Citra tuh, dia lagi kesulitan.”

“Ya tinggal minum, susah amat.”

“Heh kamu tuh ga gentle banget. Bawa dia ke RS gih.”

“Tapi... dia kan cuma keselek...”

“Cepet sana.”


Hening. Terdapat dua insan di dalam kendaraan beroda 4 berwarna hitam metalik yang berlari dalam kecepatan tinggi, tapi tidak ada yang mengeluarkan suara. Dimas memutuskan untuk menyambungkan audio mobilnya dengan ponselnya. Seperti biasa, ia memutar lagu Cigarettes After Sex. Lagu yang mengingatkannya pada gadis favoritnya, Gita.

“Ih ini lagu apa, sih? Kok gini banget?” protes Citra.

“Maksudnya?”

“Ya... Kok aneh banget sihh. Terlalu melow deh. Aku ganti, ya?”

“Sekalian aja lu pindah mobil, gimana?”

“Kok?”

“Gue tau lu drama kan tadi? Biar apa sih?”

Negative thinking banget sih? Terlepas beneran atau engga, apa salahnya aku nyari perhatian ke calon pasangan hidupku kelak?” ujar gadis yang duduk di kursi penumpang itu. Ia mendekat ke arah Dimas, mencoba untuk meraih lengan pria itu.

“Lo lama-lama gue turunin, ya?”

“Jahat banget, sih? Aku harus gimana biar kamu bisa liat ke aku?”

“Ga bisa. Hati gue cuma buat satu orang.”

“Siapa, sih? Spesialnya dia apa? Ada kah wanita yang lebih sempurna daripada aku?”

“Narsistik.”

“Palingan cewe itu genit kan? Tukang goda cowo-cowo. Cantik karena make up yang tebel. Sok terlihat baik di depan orang padahal dia busuk sampe dia bikin calon suami orang lain ga bisa lepas dari dia.”

Kesabaran Dimas habis, ia mencengkram stir mobilnya erat-erat dan menggertakkan giginya. Seketika pria itu menghentikan mobilnya. “Turun.”

“Dim?”

“Mumpung gue bilangnya masih baik-baik. Turun, Cit. Gue bener-bener muak sama lu.”

“Ga mau.”

“Turun sendiri atau gue paksa?”

“Dim, kamu udah tersihir sama nenek lampir itu kah? Sampe kamu segila ini.”

Tanpa menjawab perkataan Citra barusan, Dimas keluar dari mobilnya. Ia membuka pintu mobil di sisi satunya, membiarkan Citra keluar sendiri dari mobil. Namun, nihil hasilnya. Gadis itu bergeming di tempat duduknya.

“Cit, keluar!”

Merasa takut akan amarah yang dirasakan datang dari Dimas, Citra segera keluar dari mobil. Merasa dirinya direndahkan, ia sangat marah tetapi bukan kepada Dimas. Citra marah kepada wanita yang berhasil mencuri hati pujaannya itu.

“Liat aja ya, Dim! Aku bakal nyari tau siapa yang berani buat kamu kaya gini! Bakal aku kasih pelajaran!” teriak Citra ke arah Dimas yang sudah melaju kencang dengan mobilnya.

“Dim? Where are you? I need you rn.”

Terlihat pesan dari Reina di layar ponsel Dimas. Kepala pria ini masih sangat sakit saat ia mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Ia hanya membaca sekilas kemudian kembali ke dalam tidurnya.

Beberapa minggu ini memang Dimas tampak sibuk dengan gawainya, tetapi pesan dan panggilan dari sang pacar jarang sekali dibalas. Perlahan-lahan pria itu mulai membiasakan hidupnya tanpa Reina.


Reina menyadari sikap Dimas yang berubah. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi supaya Dimas tidak pergi meninggalkannya. Berbagai cara telah ia coba namun hasilnya nihil. Sampai akhirnya orang tua Reina bertengkar hebat dan keduanya bercerai. Rumah yang ditempatinya terasa dingin. Tidak ada lagi yang bisa menjadi tumpuannya. Teman-temannya? Pergi meninggalkan gadis itu sejak tahu berita bahwa dirinya adalah anak di luar nikah. Pacarnya? Hilang tanpa kabar. Dimas sudah tidak bisa lagi dihubungi. Dirinya pun jarang terlihat di kampus. Ingin sekali Reina menghampiri Brian, tetapi dirinya tidak berani untuk menampakkan batang hidungnya di hadapan pria itu.

Setiap hari terasa begitu menyedihkan bagi Reina. Ia sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi. Ditulisnya sepucuk surat terakhir sebelum ia memutuskan untuk pergi meninggalkan dunia. Dirinya berharap ada yang membaca dan bisa merasakan perasaannya dari surat tersebut.

Matahari tampak cerah seperti biasanya Ombak di laut tampak bergulungan satu sama lain seperti biasanya Hari-hari berjalan seperti biasanya Hanya aku yang merasakan perubahan Kini aku kembali merasa sepi Sendiri tak berarti seperti dahulu kala Hampa Tiada kehangatan yang dirasa Tak ada tangan yang menggenggam di kala aku sedang terjatuh Sempat ku merasa hidup yang berwarna Kesenangan fana Namun kini telah sirna Tiada yang tersisa Ku tak tau lagi harus pergi kemana Tidak ada lagi yang bisa ku sebut rumah Mungkinkah inilah saatnya Relakan diriku yang telah tiada Supaya kelak ku bahagia di sana

Setelah mendapatkan lokasi dari Vivian, Jamal segera memanaskan motornya. Saking terburu-burunya, ia bahkan hanya mengenakan kaus putih dan celana pendek rumahan.

Sesampainya di titik lokasi, Jamal berusaha mencari tempat parkir yang kosong. Baru saja ia memarkirkan motornya, tiba-tiba matanya menangkap sepasang insan yang familiar baginya. Grace dan Reza terlihat sedang memasuki mobil dan bergegas pergi meninggalkan tempat itu.

“Ah sialan mau kemana lagi dia,” gumam Jamal sembari menaiki motor antik miliknya.

Jamal mengikuti kemana arah mobil itu melaju. Lelaki ini menambah kecepatan sepeda motornya supaya bisa menghadang mobil milik Reza.

Reza merasa ada seseorang yang mengikutinya, ia segera melihat kaca spion, “haha Jamal. Kena lu.”

Reza mengarahkan mobilnya ke arah jalan buntu yang terlihat agak kumuh. Grace tampak kebingungan melihat tempat yang asing baginya, tetapi ia tidak berani protes.

Mobil sedan milik Reza berhenti tepat di ujung jalan buntu tersebut. Jamal yang mengikutinya pun turun dari motor dan berusaha berjalan menuju mobil tersebut.

Belum sampai ke mobil, tiba-tiba muncul sekumpulan pria melontarkan tinju ke arah Jamal. Reza tertawa dari dalam mobil melihat pria yang merusak momennya dengan wanita incarannya terkapar tak berdaya. Grace terkejut melihat Jamal babak belur di hadapannya. Gadis ini berusaha untuk membuka pintu tetapi Reza menahannya. Grace menggigit lengan Reza kuat-kuat sampai akhirnya ia bisa melarikan diri dari pria menakutkan itu.

Grace berlari ke arah Jamal, “Udah udahhh… tolong berhenti….,” teriak Grace sembari mengangkat kepala Jamal dan memeluknya. Ia berusaha melindungi pria itu dari hantaman pukulan teman-teman Reza.

“Woy! Bubar bubar. Ga seru lagi pertunjukannya,” teriak Reza dari dalam mobil. Seketika sekumpilan pria asing tadi menuruti perkataan Reza dan pergi dari hadapan Grace dan Jamal.

“Mal…. Lu ngapain ngikutin gue?” isak Grace sembari menyingkirkan rambut Jamal yang menutupi mukanya.

“Gue ga mau lu kenapa-kenapa, Grace. Gimana pun gue bakal ngelindungin lu dari cowo-cowo brengsek modelan Reza.”

Mendengar ucapan Jamal barusan, Grace tersentuh dan merasa bersalah atas tindakannya terhadap Jamal akhir-akhir ini.

“Tapi liat muka lu jadi babak belur gini,” ucap Grace seraya mengusap luka di wajah Jamal. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi merahnya.

“Haha lu jangan nangis ya? Gue gapapa kok.”

Jamal berusaha bangun dari dekapan Grace. Ia meringis kesakitan ketika menyentuh ujung bibirnya.

“Grace.”

“Hmm?”

Jamal mulai mendekatkan dirinya ke arah gadis berbaju krem di depannya. Tangannya meraih tangan gadis itu lalu digenggamnya jari-jari lentik itu.

Wajah Grace memerah, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia membiarkan tangannya digenggam oleh pria kesukaannya itu.

“Gue suka sama lu. Dari awal gue ngeliat lu, gue jatuh hati sama lu. Maaf kalo gue terlalu lama ngungkapin ini soalnya ini pertama kalinya gue jatuh cinta pada pandangan pertama. Jadi… lu mau jadi pacar gue ga?”

Dimas melaju dengan kecepatan sedang menuju lokasi yang telah disebutkan oleh Brian. Pikirannya sangat kacau. Ia sempat protes kepada ayahnya mengenai keputusan sepihak tentang tunangannya dengan wanita yang bahkan tidak dirinya kenal sama sekali. Seperti biasanya, pria ini selalu kalah beragumen dengan orang tuanya. Terlalu keras kepala lelaki yang bernama Adrian itu. Ia tidak pernah mau kalah dalam adu mulut dan ketika ia sudah menginginkan sesuatu maka mau bagaimanapun harus terpenuhi.

Sesampainya di lokasi, Dimas segera keluar dari mobil sedannya. Matanya mencari-cari keberadaan temannya itu. Dalam keadaan tidak siap, tiba-tiba saja Brian datang dari arah samping kanan dan melayangkan tinjunya ke arah wajah Dimas.

Dimas tersungkur, tangannya meraba pipinya yang sakit itu. “Lo ada masalah apa, jing?”

Brian tertawa singkat seraya memalingkan wajahnya, lalu matanya menatap tajam ke arah Dimas, “Lo masih tanya? Emang dasarnya brengsek.”

“Asal lo tahu, Gita excited banget pas mau dateng buat liat lu tampil solo. Sebelum berangkat dia bahagia banget. Sepanjang jalan dia selalu nyanyi-nyanyi random sambil senyum-senyum sendiri. Dia buang semua kesedihannya kalo keinget lu. Tapi apa balesan lu? Hahahanjing.”

Dimas terdiam sejenak mendengar perkataan Brian barusan. Kemudian lelaki itu berusaha berdiri, ia meringis kesakitan. Brian segera menyambar kerah kemeja pria yang terhuyung lemas itu, “Gue bilang apa, ‘kan? Lo bakal memperlakukan Gita kaya Reina dulu! Belom puas ngeliat anak orang tersiksa ya sampe dia kehilangan nyawanya? Lo seneng banget bikin baper orang abis itu ditinggal, hobi baru?”

Dimas mendorong Brian menjauh dari dirinya, “Hah? Gue ga ngapa-apa Reina asal lo tahu! Ga pernah sekalipun gue seneng atas kematian dia. Setiap hari gue selalu merasa bersalah karena gue ga ada di tempat kejadian buat nemenin dia waktu itu. Makanya kali ini gue mau bener-bener ngelindungi Gita, gue tulus sama dia bukan karena dia mirip Reina tapi karena itu adalah dia. Gue sayang dia, Bri. Gue ga mau kehilangan dia.”

“Itu dia! Lo ngabain Reina, lo hempasin dia sampe dia ga ngerasa kehangatan dari lo lagi. Lo tau dia lagi banyak masalah waktu itu?”

“Tau. Gue jauh lebih tau daripada lu.”

“KALO LO TAU KENAPA LO KAYA BEGITU BANGSAT?”

“Lo kalo jadi gue pasti bakal melakukan apa yang gue lakuin juga. Dia ga pernah bisa ngelupain lo, Bri. Gue yakin dia masih sayang banget sama lo.”