Double Date

Pukul 5 sore hari, Willy, Vivi, Jamal, dan Grace sudah melaju ke arah Bogor. Dalam perjalanan mereka berempat tidak henti-hentinya melakukan carpool karaoke untuk menghilangkan penat karena tol Jagorawi sangat macat.

“Nanti baliknya gantian lu yang bawa, ye, Mal?” keluh Willy yang kakinya mulai kebas karena menginjak rem terlalu lama. “Kaki gue dah mau copot, dari tadi rem gas rem gas.”

“Iye, tenang aja. Kalo sekarang mau gantian juga gapapa,” balas Jamal sembari mengambil kripik singkong dari bungkusnya.

Vivi yang daritadi asik mengambil selfie bersama Grace menoleh ke arah depan. “Sorry, ya. Gara-gara bm gue mau ke Warpat sama tadi ga liat GMaps dulu sebelum berangkat. Jadinya kejebak macet gini.”

“Santai aja, gue juga pengen banget ke Warpat. Kita seneng-seneng aja dulu di sini,” jawab Grace santai.

“Lu mah enak, lah, si Willy kasian anjir,”

“Lah, Wil, lu gapapa kan nyetir sampe sana? Demi Vivi nihhh,” ucap Grace seraya mencolek lengan Willy dari jok belakang.

“Iyeee. Santuy aja. Palingan sejam lagi sampe. Lu pada tidur aja, kecuali Jamal.”

Mendengar namanya disebut, Jamal sontak terkejut. “Lah? Kok gue ga boleh? Pilih kasih lu.”

“Lu temenin gue nyetir, jir. Sekalian liat di GMaps jalan mana yang ga macet.”

“Ya, siap, bos.”

Sudah satu setengah jam berlalu, mereka pun tiba di tempat tujuan. Saat melihat sekitar Warung Patra yang biasa disingkat Warpat, mereka tidak menemukan kursi yang kosong.

“Gila, ye. Udah lama di jalan, sekarang lama nunggu gantian tempat duduk,” gerutu Vivi.

“TUHH MBANYA UDAH KELAR! AYO CEPET KEBURU DIAMBIL ORANG.” Grace menarik lengan Vivi dan berlari ke arah tempat duduk yang kosong. Jamal dan Willy hanya terdiam dan mengikuti langkah Grace.

“Kalian mau mesen apa?” tanya Willy.

“Seperti biasa, wedang jahe sama indomie goreng pake telor setengah mateng,” ucap Vivi, kepalanya menengadah ke atas untuk melihat Willy yang sedang berdiri.

“Gue sama kaya Vivi, mau wedang jahe tapi ga pake indomie, gue mau roti bakar rasa coklat keju aja, ya,” sambar Grace.

“Gue STMJ aja sama mau nasi goreng, telornya didadar, ye,” sahut Jamal.

“Oke, gue bilang ke ibunya dulu, ya.” Willy melangkah pergi ke arah ibu yang berjualan di sana.

Angin puncak malam yang sejuk menerpa wajah keempat orang itu. Jamal yang sudah mengenakan jaket masih merasakan dinginnya udara malam itu. Willy, yang melihat Jamal mengeratkan jaketnya, menceletuk, “Yahh... alamat pulang-pulang langsung kerokan nih.”

“Enak aja. Gue ga biasa dikerokin tau. Sakit,” jawab Jamal cepat.

“Misi, ini makanannya, ya,” kata seorang ibu-ibu yang sedang membawa nampan berisikan pesanan mereka.

“Oke, makasih, bu.”

Sembari menikmati makanan dan menyesap minuman mereka, semua mata tertuju pada gemerlap pemandangan kota Bogor yang terlihat dari atas. Terlihat indah, tetapi untuk melihatnya dibutuhkan pengorbanan, mulai dari waktu maupun tenaga. Terlihat tatapan bahagia dari netra keempat orang itu, baik Jamal, Grace, Vivi, maupun Willy. Mereka menghabiskan waktu bercengkerama di sana.

“Pokoknya tahun depan kita harus gini lagi, ya? Kita berempat,” usul Vivi.

“Setuju, sih,” sahut Willy.

“Gue juga,” jawab Jamal mengiyakan.

“Kita berempat jangan sampe ada yang mencar ya, harus bersatu terus pokoknya, janji?” Grace mengangkat jari kelingkingnya untuk membuat pinky swear.

Kelingking Jamal menyambar, disusul oleh Vivi dan Willy, mereka berteriak bersamaan. “Janji.”

fin