buttwerflies

Andini menghentikan langkahnya di depan gerbang yang menjulang tinggi nan besar seperti hendak melahapnya. Rumah berwarna putih dan emas yang terasa familiar bagi gadis itu. Tangan Andini mulai bergerilya mencari ponselnya di dalam tas.

“Zra, gue udah di depan rumah lo.”

Tak lama gerbang raksasa di hadapannya terbuka secara otomatis. Terlihat batang hidung pria yang selama ini membuat dadanya sesak.

“Sini masuk.”


Andini mengeluarkan seluruh alat yang diperlukan untuk memulai perawatan rambut mantan kekasihnya itu. Ruangan yang besar saat itu terasa kosong dan hening. Terasa suasana canggung menyelimuti mereka berdua.

“Zra.”

“An.”

Ucap mereka bersamaan.

“Eh, lu aja duluan, An.”

Nope, you go first, as a customer, so I should listen to you well.

Ezra terkekeh. “Profesional banget, ya?”

“Yaudah deh gue duluan yang ngomong, ya?”

Okay, I’m all ears. Ngomong aja, ya, sambil gue warnain rambut lu.”

Ezra berdeham sebelum mulai berbicara.

“An, do you remember the day that I made your heart into pieces?

Terdapat jeda saat Ezra hendak menyampaikan hal tersebut.

I’m so sorry.” Suaranya berubah menjadi serak.

“Semua itu cuma salah paham. Maaf karena gue ceroboh. I was trying to explain it to you from that day but you never gave me a chance.

How’ve you been? Hopefully you’ve been well.

“Hm… kalo gue… suffering. Days without you feel like hell to me, if you ask.

“Gue harap lu ga menderita kaya gue, ya, An? Because I can’t bear with it. Gue ga sanggup liat lu sedih.”

You know, I always pray for you everyday. Wishing you nothing but the best. Kalo gue ga sengaja ngeliat lu lagi seneng, itu jadi energi buat gue meneruskan hari-hari gue yang berat. You mean a lot in my life.

Andini terpaku. Rasa sesak menggrogoti dadanya. Jika diingat-ingat, dirinya memang egois. Tak pernah sekalipun ia memahami perasaan lelaki itu. Ia sangat menyesal akan perbuatannya yang secara tidak langsung menghancurkan kebahagiaan lelaki itu.

“Zra…”

Belum sempat Andini menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Andini segera mengambil alat tersebut dan mendekatkan di telinganya.

“Halo, Kak Gio?”

Tak lama dari kehadiran Talita, tiba-tiba saja ponsel Andini bergetar. Andini segera mengambil gawai pintarnya itu untuk melihat notifikasi yang masuk. Yang awalnya wajah Andini terlihat kecut, kini setelah membaca nama yang tertera di sana, wajahnya menjadi ceria bak anak kecil yang diberikan mainan oleh orang tuanya.

“Din,” panggil Risa dengan suara lantangnya.

Yang dipanggil tidak merespon, kepalanya malah tertunduk fokus ke layar ponselnya.

“Dini!” panggil Risa sekali lagi sembari menggoyangkan pundak Andini.

“Eh? Iya iya, why? What’s up?”

“Lah? Malah nanya kita. We’re supposed to ask you that. Daritadi diem aja sambil cengengesan,” timpal Talita.

“Oh, gapapa kok.”


Dari kejauhan, tampak sepasang mata tak henti-hentinya memandang Andini. Tangan kanannya menopang dagunya yang terasa berat seperti tas sekolah siswa SMA.

“Woi, Ster! Lu kenapa, sih, dari tadi? Bengong aja.”

Chandra mengikuti arah pandangan Ezra. Dia paham apa yang sedang Ezra perhatikan dari awal mereka duduk di restoran tersebut.

“Si onoh, ya?” tanya Azriel sambil mengarahkan dagunya ke arah Andini.

“Yaelah masih aja dah.” Lino, yang telah lelah menghadapi temannya yang gagal move on, memutar bola matanya tidak peduli.

Chandra menarik napas dan membuangnya kasar. “Wahai Alister yang katanya fansnya banyak. Ya…walaupun masih banyakan fans gue, sih. Tolong banget sadar deh! Itu lu liat sendiri, kan? Pas lagi ngumpul aja, dia malah bales-balesan pesan sambil senyum-senyum gitu. Tandanya apa? Ya, betul! Dia udah ada pengganti lu. Sekarang giliran lu yang cari pengganti.”

Semuanya di sana sibuk mengurus Ezra yang sedang di fase buta akan cinta yang sudah layu. Emosi teman-teman pria itu sudah tak tertampung lagi karena yang diberi nasihat tidak mengindahkannya. Sementara Vano, yang dari tadi memilih untuk tidak terlibat masalah temannya itu, diam-diam memperhatikan lelaki di depannya—Gio.

“Kenapa dia dari tadi sibuk sama hpnya sendiri, ya?

Emranisound · wageprinz background full FREE DOWNLOAD

Play this music so you can feel the atmosphere of this salon!

Sejak pembukaan salon bernama “Plus Hereux” yang terletak di pinggir Jalan Tebet Timur, Andini jarang sekali diam di tempat. Dirinya dibuat sibuk oleh pelanggan yang selalu datang ke salon tersebut.

Dengan nuansa modern dan homey, membuat siapa saja betah berlama-lama singgah di tempat tersebut. Alunan musik yang bersautan dan lilin aromaterapi yang diletakan di setiap sudut ruangan, memberikan aroma sandalwood yang menenangkan pikiran.

Walaupun terdapat beberapa orang yang bekerja di salon tersebut, Andini terkadang masih kewalahan menghadapi orang yang beramai-ramai ingin mempercantik diri.

“Kak, voucher discount ini masih berlaku?”

Ah… Kini Andini sadar mengapa satu minggu pertama di salonnya begitu ramai. Saat pembukaan salon, ia membagikan kupon diskon 30% serta menawarkan sampel produk secara cuma-cuma.

“Ternyata banyak juga yang cocok sama produk salon ini,” batin Andini.

Tidak hanya itu, unggahan Instagram akun salon miliknya yang menjadi pusat perhatian anak muda. Tidak sedikit pengunjung yang datang sambil membawa tisu untuk membersihkan lendir bening yang jatuh dari hidung mereka—bukan hanya karena menangis, tetapi memang ada pula yang sedang terserang flu.

“HUHUHU… hiks.”

Isakan tangis itu menyita perhatian Andini. Dengan sikap profesional, Andini menghampiri gadis tersebut.

“Ada apa, Kak? Ada yang bisa saya bantu?”

Gadis tersebut tidak langsung menjawab. Ia terdiam sekejap dan menghilangkan air mata yang memenuhi wajahnya.

“Kak… Tolong buat aku jadi cantik.”

Andini terkejut sesaat, ia kebingungan dengan permintaan gadis di hadapannya. Jika dilihat dari wajahnya, gadis itu sudah cukup cantik. Bulu mata yang panjang nan lentik, iris mata yang coklat, bibir merah muda bervolume, kulit yang mulus, serta muka yang tirus, membuat gadis itu terlihat seperti dewi.

“Aku mau pesen semua yang ada post break-up treatment.


“Kak, I’m so grateful to know this place. Thank you for providing us, broken-hearted-people, this service. Aku ga tau lagi harus cerita ke siapa karena semua orang ga akan ada yang mau dengerin ceritaku. Mereka malah selalu nyalahin aku. I’m so glad that you listen to my whole silly story without judgement.

Gadis yang semula datang dengan air mata membanjiri wajahnya, kini pulang dengan sinar wajah yang cerah dan senyum manis yang mengembang.


21.30

Thank you all for you hard works today.

Seluruh orang yang bekerja di Plus Heureux mulai merapikan barang-barang dan bergegas untuk pulang ke rumah masing-masing.

Tinggal Andini yang tersisa di sana. Ia merenung sejenak perihal gadis cantik yang ia layani tadi. Gadis yang bernama Stefani tadi bercerita awal ia dan pacarnya berpisah. Gadis itu tidak sengaja bertemu mantannya di jalan. Kemudian, ada motor yang melaju cepat di depannya. Hal tersebut membuat debu memasuki mata Stefani. Dengan sigap, mantan gadis itu meniup-niup pelan mata Stefani supaya debu tersebut keluar. Tanpa disadari, Bimo—pacar Stefani saat itu—melihat kejadian tersebut dan berpikir jika Stefani selingkuh. Dengan emosi yang memuncak, Bimo melontarkan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan, bahkan ia menyebut Stefani sebagai wanita terjelek yang ia temui.

Hanya karena salah paham yang membuat suatu hubungan yang telah lama terjalin runtuh begitu saja.

Huft

Andini menghembuskan napas dengan berat. Ia jadi teringat Ezra. Namun, bedanya ia dan Ezra berpisah karena pria itu berselingkuh sungguhan.

Andini terdiam sejenak. Pikirannya menjadi menerka-nerka saat ia mengingat saat Ezra berkali-kali menghampirinya untuk memberi penjelasan, tetapi selalu ia abaikan.

Apakah alasan Andini putus dengan Ezra karena lelaki itu selingkuh? Atau ada hal lain?

Lelaki yang kerap dipanggil Gerald itu memasukan recorder kecil ke saku jaketnya. Tak lupa ia menyiapkan kamera di dalam tasnya yang tidak sepenuhnya ditutup rapat supaya dapat merekam kejadian di hadapannya. ”Ini gue agak lebay ga, sih? Udahlah, yang penting gue dapet bukti yang konkrit,” batin lelaki itu.

Gerald menuju ke lokasi yang telah disepakati bersama. Sengaja ia datang 10 menit sebelumnya supaya dirinya bisa mempersiapkan segalanya dengan matang. Saat memasuki restoran—lokasi tujuannya—kakinya berhenti bergerak. Tubuhnya membeku seketika. Gerald menatap tak percaya melihat seseorang yang duduk di tempat yang telah ia reservasi, bukanlah sosok yang ia duga.

Wanita yang mengenakan off shoulder blouse berwarna putih dipadukan dengan celana side stripe jeans biru dongker, menoleh ke arah Gerald dan melemparkan senyuman termanis yang pernah Gerald lihat. Tatapan wanita itu sangat teduh. Gerald yang semula berniat ingin membantai—dalam istilah lain—sosok yang bernama Carly, kini ia mengurungkan niatnya.

“Halo! Hi?” Carla menyapa Gerald yang terlihat mematung di hadapannya.

“Eh? Sorry sorry, halo.” Gerald segera menarik kursi persis di depannya dan duduk di sana.

Duduk berhadap-hadapan dengan Carla membuat hati pria itu hangat. Aroma vanila yang dipancarkan dari wanita itu masuk ke indra penciuman Gerald. Rencananya memang gagal, tetapi lelaki itu tidak kesal. Sama sekali tidak. Ia bahkan bersyukur karena bisa berdua dengan Carla. Namun, jika seperti ini, ia khawatir waktu yang diberikan kakaknya habis sehingga ia tidak bisa membuktikan bahwa Carla bukanlah sosok yang kakaknya kira.

TRING

Alarm yang berbunyi nyaring itu, membangunkan sosok gadis yang tengah terlelap dalam tidurnya. Carla mengusap matanya yang masih berat untuk dibuka. Tangannya bergerilya meraih ponsel untuk mematikan alarm.

TOK TOK

“Carlaa! Honey... udah bangun belum, nak?” Suara mamsky terdengar dari luar kamar Carla. Wanita paruh baya itu mengetuk pintu kamar anaknya sekali lagi untuk memastikan anaknya sudah bangun.

“Iya, mam. Aku udah bangun, ini mau mandi dulu, ya,” balas Carla sembari mengumpulkan niat serta tenaganya untuk pergi ke kamar mandi.

“Oke. Nanti langsung ke bawah aja, ya. Sarapan dulu baru kita berangkat.”

“Siap, mam.”

Seusai membersihkan diri, Carla segera turun ke bawah sambil membawa barang-barang yang ia perlukan saat menginap nanti. Di ruang makan sudah berkumpul semua anggota keluarga, mereka menyantap makanan dengan cepat dan bersiap untuk pergi ke Pantai Baron yang terletak di Jogjakarta.

Sepanjang perjalanan, Carla dan Carly melihat kaca jendelanya masing-masing—tak ada yang berniat untuk memulai percakapan. Hesti—mamsky mereka berdua—menoleh ke arah belakang, menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku putrinya.

“Kalian tahu ga pas kalian berdua baru lahir, tuh, kalian ga mau dipisahin. Setiap suster taruh kalian di ranjang yang berbeda, pasti kalian langsung nangis. Kalian berdua tuh dari dulu nempel mulu satu sama lain.” Hesti melihat ke bawah sesaat sembari tersenyum, kemudian ia lanjut bercerita. “Mamsky inget banget pas ada orang asing yang jahilin Carly, Carla langsung ngelindungin Carly. Bahkan dulu Carla ga segan-segan, loh, buat marahin orang itu. Begitu juga Carly, dulu pas Carla kesusahan, pasti Carly selalu bantu. Mamsky jadi kangen masa-masa itu.”

Carla dan Carly saling bertukar pandang. Mereka membenarkan posisi duduk masing-masing untuk menyimak cerita mamsky dengan khidmat. Keduanya tertunduk menyesal, tetapi tidak berani mengucapkan sepatah katapun untuk mengakuinya.

“Nak, if there's something happens between you guys, papsky mohon untuk ceritain ke papsky atau mamsky. Atau kalau kalian ga berani cerita ke kami, please kalian omongin baik-baik.” Rian berkata sambil fokus memegang setir mobil. “Kalian udah gede, loh, masa masih mau kaya anak SD lagi. Papsky jadi nyesel dulu biarin kalian sering ribut, papsky kira karena kalian masih kecil jadi dimaklumin. Eh, taunya sampe gede juga ga akur.”

Suasana di dalam mobil terasa sedikit canggung. Dinyalakannya radio untuk melawan kesunyian yang menyelimuti mereka.


Untung saja cuaca hari itu bersahabat, mereka baru sampai saat matahari hampir tenggelam. Semuanya langsung menuju hotel untuk beristirahat. Carla dan Carly sengaja dipesankan kamar untuk berdua supaya hubungan keduanya bisa lebih erat.

Huft... cape banget deh di jalan lama banget tadi. Mana papsky sama mamsky ceramah mulu, kan jadi malesin.” Carly memecahkan keheningan di ruang tersebut, ia merapihkan barang-barangnya dan langsung menjatuhkan badannya ke atas kasur.

“Hm... tapi betul juga, sih, kita kenapa jadi makin sering berantem, ya?” tanya Carla, ia duduk tepat di samping Carly.

Carly hanya mengangkat bahu kanannya, tidak begitu peduli perkataan kembarannya itu. Gadis itu fokus pada layar ponsel, sesekali ia tersenyum saat jemarinya menari bebas pada layar gawai canggih itu.

Chatting-an sama siapa, sih? Senyum-senyum gitu.”

“Gebetan gue, lah,” jawab Carly percaya diri.

“Cieeee... siapa, tuh?” Carla mencoba untuk mengintip ke layar ponsel yang digenggam Carly.

Carly mengarahkan ponselnya menjauh dari Carla. “Kepo, deh. Lagian lu juga ga bakal kenal dia. Lu kan ansos..”

Dih, coba sebut siapa.”

“Gerald, anak IPS. Pasti lu ga kenal, jadi percuma banget gue kasih tau.”

Carla terdiam sejenak. Otaknya sedang memproses informasi yang baru ditangkapnya. “Gerald??? Yang kemarin makan bareng gue di kaki lima??? Gebetannya Carly???” batin Carla. “Gue kira Gerald—

Nah, kan, diem. Emang males banget gue cerita sama lu. Paling juga lu responnya kaya keong hah hoh hah hoh doang,” sindir Carly sambil melanjutkan kegiatannya.

“Kalian udah sejak kapan deket? Anyway gue tau kok Gerald yang mana.”

Carly melirik ke arah kembarannya dan mengangkat satu alis. “Sejak kapan lu peduli? Jangan bilang lu suka dia, ya?”

“Gue? Enggalah, santai aja.”

TING

Muncul notifikasi dari layar ponsel keduanya

Girlsss, ayo kita keluar nikmatin pantai. Masa udah jauh” cuma mau di kamar aja sih. Sekalian sini kita foto” buat dipamerin ke temen” mamsky hihi

Keduanya menghembuskan napas berat dan beranjak untuk pergi keluar sesuai perintah sang ibu.

Matahari mulai tergelincir, Carla bersiap untuk pergi ke pasar swalayan—yang lokasinya bisa dibilang jauh dari rumahnya. Ia menyalakan mesin mobil dan mulai menginjak pedal gas perlahan.

Dengan kecepatan sedang, Carla menikmati waktu sendirinya di jalan. Tak lupa gadis itu memutar lagu kesukaannya—Summertime by Niki. Jari telunjuk gadis itu mengetuk-ngetuk setir mobil mengikuti irama lagu.

Sesampainya di pasar swalayan, Carla tidak mengambil keranjang karena ia hanya belanja sedikit. Ia pergi ke arah bagian face wash terlebih dahulu. Setelah mendapatkan barangnya, Carla melangkah ke bagian obat-obatan. Ia menilik satu per satu barang di depannya. Gadis itu tidak familiar dengan bagian obat-obatan karena ia jarang pergi ke tempat itu. Ketika ia menemukan titipan ibunya, Carla segera mengambil barang tersebut.

Tap

“Eh? Sorry…

Di saat yang sama, ada seseorang yang juga mengambil obat herbal itu. Ketika tangan mereka bersentuhan, Carla refleks menarik tangannya ke arah dirinya dan ia sedikit membungkukkan badannya untuk mengucapkan permintaan maaf.

“Iya… maaf juga, ya?” Orang tersebut menghentikan ucapannya sejenak dan memerhatikan lawan bicaranya. “Carla?”

Carla sedikit terkejut mendengar orang tersebut mengenali dirinya. Gadis itu memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat wajah seseorang di hadapannya.

“Ini gue,” ucap orang tersebut seraya melepaskan tudung hoodie yang ia kenakan.

Carla menyipitkan kedua matanya. “Gerald?” tebak gadis itu.

“Yup! Akhirnya kita ketemu.”

“Hm? Maksudnya?” tanya Carla heran.

“Eh engga…engga. Maksudnya udah lama ga ketemu gitu hehe.” Gerald menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah di depan gadis itu.

“Mau beli TolakAngin juga?” ucap Gerald sembari memberikan produk tersebut kepada Carla.

“Iya, makasih.” Carla meraih barang yang sudah diulurkan ke arahnya.

“Lu suka minum ini, ya?”

“Bukan gue, tapi papsky gue, tuh, dikit-dikit masuk angin, jadi dia sering minum ini.”

Mereka berdua berbincang-bincang sambil berjalan menuju kasir. Saat keduanya sudah membayar belanjaan masing-masing, mereka berpamitan satu sama lain.

Carla sudah menjalankan mobilnya, disusul oleh Gerald dari belakang. Lelaki itu sengaja berada di belakang Carla untuk memastikan gadis itu selamat sampai tujuan.

Tak lama, Carla menyadari hal tersebut. Ia meminggirkan mobilnya dan membuka kaca. Kepalanya dikeluarkan sedikit menghadap ke belakang.

“GERALDDDD NGAPAINNN?” Carla sengaja berteriak supaya suaranya terdengar.

Gerald memajukan kepalanya dan mencoba membaca bibir gadis tersebut. Ia tidak bisa mendengar perkataan Carla barusan. Kepalanya sudah dikeluarkan ke jendela mobil.

“KENAPAAA? GA DENGERRR.”

Carla segera turun dari mobil dan berjalan ke arah Gerald. Gerald, yang menyadari gadis itu melangkah ke arahnya, segera turun dari mobil.

“Lu ngapain? Kok ngikutin gue?” tanya Carla tanpa basa basi.

“Ohhh… ga, kok. Kan gue pulang ke arah yang sama.”

“Bukannya rumah lu deket sekolah?”

“Hah? Kok tau?”

“Tau lah, kan gue sering liat lu pas pulang.”

Wajah Gerald seketika memerah, ia merasa malu sekaligus salah tingkah karena Carla ternyata memerhatikan dirinya.

“Oh gitu. Berarti gue ke arah mana dong?”

“Lah, kok nanya gue?”

“Terus nanya ke siapa?”

“Peta.”

“Haha lucu juga lu.”

“Apaan, sih?” Carla mendengus sembari melayangkan pukulan ringan ke lengan Gerald.

“Udah makan belom? Gue laper, nih. Ada rekomendasi tempat makan ga di sekitar sini? Ya… berhubung ini deket rumah lu gitu. Pasti tau lah tempat makan yang top markotop.”

Carla berpikir sejenak, tiba-tiba muncul sebuah ide di otaknya. “Ada! Makanannya enak, tapi ga tau lu suka tempatnya apa engga.”

“Kalo ada lu mah gue suka-suka aja.”

Pardon?

“Kagaa. Ayo lah gas ke sana, keburu gue pingsan kelaperan, nih.”

“Sebelum ujian, mari kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa dimulai. Selesai,” ucap Edo saat hendak mengerjakan ujian.

Seluruh peserta ujian fokus dengan soalnya masing-masing. Tangan mereka terlihat bergerak-gerak mengarsir lembar jawaban. Berbagai macam ekspresi wajah ditemukan di sana. Ada yang mengerutkan dahi karena kebingungan, ada yang fokus menunduk ke arah soal, bahkan ada yang sedang melihat sekeliling untuk mencari kesempatan mencontek.

Saat Carla sedang berusaha menjawab soal tiap soal. Tiba-tiba ia mendengar ada bisikan memanggil dirinya. Ya, itu adalah suara Carly. Gadis itu terlihat gelisah karena tidak tahu menjawab apa, sementara waktu ujian akan berakhir. Dikarenakan Carla tidak jua menoleh untuk memberikan jawaban, Carly mencoba melempar penghapus ke arah kembarannya itu.

“Siapa itu yang melempar penghapus?” Pengawas ujian melihat perbuatan Carly barusan. Guru itu melangkah mendekati Carly.

“Ngapain kamu barusan? Nyari contekan?” Tangan pengawas tersebut mencoba membuka tangan Carly yang sedang menutupi lembar jawabannya.

“Hah? Kamu baru jawab segini? Kamu tau, kan, 5 menit lagi ujian berakhir. Kalo kaya gini kamu ga akan selesai. Oh—makanya kamu cari-cari jawaban, ya?”

Carly hanya bisa menunduk malu. Dirinya tidak berani melihat sekeliling karena seluruh mata menuju ke dirinya. Ia tidak bisa mengatasnamakan Carla sebagai pelaku dalam kejahatan yang ia perbuat karena di atas tiap meja tertera nama peserta ujian yang menempati tempat tersebut.

Pengawas ruangan mereka tetap berdiri di samping Carly untuk memastikan gadis itu tidak bertindak curang lagi.

Bunyi bel tanda ujian berakhir berdering. Semua peserta ujian mengumpulkan jawaban dan soal ke depan.

Seperti biasanya, usai ujian beberapa murid ada yang membahas soal, tapi ada juga yang langsung pulang untuk melupakannya. Carly yang sedang menahan malu setengah mati, segera beranjak pulang. Ia tidak menghiraukan sapaan teman-temannya lagi. Yang ia inginkan kali ini hanyalah berteriak dan memejamkan mata untuk menenangkan diri.

Pukul 5 sore, seluruh kegiatan ekstrakurikuler di sekolah telah usai. Masih ada beberapa murid yang berada di sekolah, biasanya mereka masih mengerjakan tugas, mengobrol dengan teman-teman, atau bahkan ada yang sekedar membuang waktu. Di lapangan belakang, terlihat beberapa anak laki-laki yang masih bermain bola. Mereka bermain secara asal hanya untuk hiburan semata. Carly, yang sedari tadi duduk di pinggir lapangan, menghampiri Dipta yang telah berganti pakaian.

Nih, minum dulu. Pasti tadi cape banget, kan?” ucap Carly sambil mengulurkan tangan yang memegang sebotol minuman ke arah Dipta.

Dipta segera mengambil botol tersebut dan meminum isinya. “Makasih, ya. Maaf, tadi lama.”

“Gapapa, kok. Lagian gue kan—aaakhhh...” Tiba-tiba bola melayang ke arah wajah Carly, gadis itu refleks berteriak dan menutup mukanya.

DUK

Dengan wajah ketakutan, Carly mencoba membuka kedua netranya. Ia menangkap sosok pria sedang menangkis bola dengan menggunakan tangannya dan membawa bola tersebut ke tengah lapangan.

“Siapa dia? Apakah dia malaikat? ganteng banget...dan baik, udah mau ngelindungin gue,” batin Carly.

“Carl? Carly!”

Carly mengerjap terkejut. Dipta yang sedari tadi mengayunkan tangannya di depan kedua bola mata gadis itu, terlihat khawatir. “Lu gapapa, kan?”

“Iya, gue gapapa, kok

Yuk, pulang.”

“Lu duluan jalan ke parkiran, ya? Gue mau ngambil sesuatu, gitu, ada yang ketinggalan,” sahut Carly sembari berlari masuk ke dalam gedung sekolah.

“Oh...oke.” Dipta mengangkat sebelah alisnya, heran akan tingkah Carly barusan. Kemudian ia berjalan ke arah parkiran kendaraan.


Usai mengganti pakaiannya, Gerald keluar dari ruang ganti dan berjalan ke arah ruang kelasnya. Dari sana, ia melihat Carla baru saja keluar dari kelas. Gadis itu tampak sedang kesusahan membawa buku yang bisa dibilang cukup banyak. Tubuh Carla terlihat huyung ke kanan dan ke kiri. Keseimbangannya mulai kacau hingga buku-buku yang ia bawa jatuh satu per satu ke lantai. Gerald tertawa kecil melihat tingkah Carla yang ia anggap lucu. Dengan langkah kaki yang lebar, Gerald menghampiri Carla untuk menolongnya. Belum sampai ke tujuannya, tiba-tiba saja tampak seorang gadis menghadang dirinya.

“Uhm...maaf ngehalangin jalan lu, tapi ini... tolong terima, ya.” Gadis tersebut memberikan sebuah kantung plastik yang berisi makanan dan minuman.

Bukannya mengambil bungkusan tersebut, Gerald hanya mengangkat alis kanannya dan memiringkan kepalanya. Ia heran kenapa tiba-tiba dirinya diberikan hadiah padahal lelaki itu sedang tidak berulang tahun.

“Eh? Bukan maksud apa-apa. Ini sebagai ucapan terima kasih tadi udah mau nolong gue di lapangan.”

Gerald mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa menit lalu setelah kegiatan ekskul usai. “Oh! Oke, thanks

Saat gadis itu hendak melangkah pergi, ia berbalik badan sejenak ke arah Gerald. “Oh, iya. Nama gue Carly. Lu bisa hubungin gue kalo butuh sesuatu, ya. Nomor gue ada di dalem plastik itu.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Carly berlari ke arah parkiran kendaraan.

Setelah gadis itu pergi, Gerald ingin melanjutkan niatnya. Namun, sayang sekali, Carla sudah menghilang dari pandangannya. “Sial, baru juga mau ngedeketin.”

Lelaki itu terlihat sedikit frustrasi. Kemudian, netranya menatap ke dalam kantung plastik digenggamannya. Tangannya bergerilya masuk ke dalam plastik sampai menemukan secarik kertas berisikan nomor ponsel. Gerald berpikir sejenak dan teringat perkataan Lino di chat. Lelaki itu menyeringai. “Oke, saatnya bermain.”

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Carly beserta teman-temannya—termasuk Dipta—siap pergi menuju ke tempat makan all you can eat yang sudah dijanjikan Carly.

Sesampainya di restoran yang bernama Kintan Buffet, mereka semua segera mencari bangku yang kosong. “Mba, pesen yang special wagyu buffet untuk 7 orang, ya,” ucap Carly kepada pelayan yang berdiri tepat di sampingnya.

“Wah, gila lu, Ly. Itu kan paketan yang paling mahal. Gue aja paling kalo ke sini pesennya yang reguler,” tutur Farrel takjub.

“Ih, gapapa. Gue pengen kasih ke kalian yang terbaik aja,” jawab Carly.

“Oke, Kak. Waktu makannya 90 menit, ya. Untuk order dagingnya bisa melalui scan barcode di sini. Apabila sudah 60 menit, pemesanan dagingnya akan ditutup, ya.” Pelayan restoran memberitahukan mengenai tata cara makan di sana sembari menempelkan secarik kertas berisi barcode di meja tempat Carly dan teman-teman singgahi.

90 menit telah usai. Semua orang dalam keadaan kenyang. Kini, saatnya Carly membayar tagihan untuk makan sore mereka semua. Dengan percaya diri, ia ayunkan kakinya ke arah kasir. Saat Carly mendapatkan bill, pupil matanya membesar, mulutnya terbuka lebar. Ia terkejut. Sungguh terkejut saat melihat nominal yang tertera di sana. Carly mencoba memutar otaknya, ia menemukan ide. Akhirnya, gadis itu berpura-pura untuk pergi ke toilet dan mencoba menghubungi kembarannya.

Bel pulang sekolah telah berbunyi, seluruh siswa berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing. Semua insan di sana terlihat bahagia, terkecuali gadis malang bernama Carla. Ia harus pergi menemui OSIS. Tidak tahu kenapa dirinya dipanggil, ia hanya turuti perintah kakak kelasnya.

“Wihii… Siapa, nih, yang dateng?” Sorak salah satu anggota OSIS ketika melihat kehadiran Carla.

Tanpa pikir panjang, Gina langsung menutup pintu dan jendela ruang itu rapat-rapat. Ditariknya Carla ke tengah ruang OSIS yang berukuran 3x3. Seluruh anggota OSIS beranjak melingkari Carla. Terlihat tatapan menakutkan di netra seluruh orang di sana kecuali Carla. Tatapannya sendiri yang menunjukkan ketakutan.

Dengan detak jantung yang tak karuan, Carla memberanikan diri untuk bertanya, “maaf, kak, kenapa saya dipanggil ke sini, ya?”

Tari—salah satu anggota OSIS menyahuti pertanyaan tersebut dan tertawa sinis. “Wah? Dia ga sadar diri rupanya.”

“Gini, ya, Carla si ratu onar. Kita panggil lo ke sini buat negur lo. Awalnya, sih, mau negur secara baik-baik, tapi pas liat tingkah lo kaya gini gue jadi kesel.”

Pyo mendekati Carla dan memegang kerah seragam gadis tersebut, “lo masih kelas 10 ga usah banyak laga! Ga kasian sama kembaran lo, tuh, namanya jadi ikut tercemar gara-gara lo. Cewe ga tau diri!” Pyo segera menghempaskan kerah seragam Carla dan mendorong tubuh mungil itu ke belakang.

Dari luar terdengar jelas suara pukulan meja dan teriakan seseorang di dalam ruangan OSIS. Gerald yang sedari tadi menguping, merasa tidak tega mengetahui seseorang harus menerima hukuman yang bukan dari kesalahannya sendiri. Ia sudah berkali-kali meminta kakaknya untuk tidak menyakiti Carla, tetapi hasilnya nihil. Setiap hari hampir semua siswa kelas 11 dan 12 merundung gadis tersebut. Gerald ingin menolongnya, tetapi selalu ditahan oleh Gina supaya dirinya tidak ikut kena masalah.

Saat pintu ruang OSIS terbuka, tampak Carla keluar dari sana dalam keadaan lusuh. Seragamnya terlihat sudah terkoyak dan—oh!—ada memar di tangan kanannya. Gerald ingin menghampiri gadis tersebut, tetapi langkahnya tertahan oleh suara yang terdengar dari dalam ruangan.

“Heh! Jalannya yang bener, jangan sok dilemah-lemahin gitu! Kalo ada yang liat lo kaya gitu nanti yang ada kita semua dalam masalah. Awas aja kalo sampe lo lapor ke orang lain, gue ga akan maafin lo dan bakal gue bikin hidup lo menderita.”

Carla hanya mengangguk tak berdaya. Ia kuatkan langkahnya menuju rumah. Tidak ada lagi supir yang menjemput dirinya. Pak Ruslan sudah pergi terlebih dahulu bersama Carly. Baterai telepon genggamnya sudah habis, terpaksa ia harus berjalan kaki sampai rumah.

Gerald dengan motornya mendekat ke arah Carla yang sedang berjalan kaki sendirian. “Ekhem..” Gerald pura-pura batuk untuk mendapati perhatian sang gadis. Carla menoleh ke sumber suara, lalu melanjutkan langkahnya lagi.

Merasa usahanya tidak berbuah, Gerald mencoba untuk mencari cara lain. Lelaki itu mematikan mesin motornya dan mendorongnya sampai mendekati Carla. Dengan lagaknya yang terlihat kaku, Gerald mencoba membuka percakapan.

“Anak Tunas Bangsa, ya?” Gerald menyamakan tempo langkah kaki Carla.

“Iya,” jawab Carla singkat.

“Mau pulang?”

Carla hanya membalas pertanyaan Gerald dengan anggukan. Dirinya tidak ingin membuang-buang tenaganya lagi.

“Sama dong. Mau bareng ga? Gue anterin pake motor”

“Bareng gimana? Itu motor lu aja mogok, kan? but thanks ya udah nawarin gue.” Carla tersenyum sebagai ucapan terima kasih atas tawaran yang diajukan Gerald.

Melihat senyuman Carla yang manis, Gerald merasa ada yang aneh dalam dirinya. Dirinya salah tingkah, ia memalingkan wajah ke samping supaya Carla tidak melihat merahnya wajah lelaki itu dibuatnya.

“Ini ga mogok kok.”

“Terus kenapa didorong?”

“Tadi bosen naik motor aja, jadi didorong.” Gerald bingung hendak menjawab apa.

Carla menaikkan satu alisnya, tubuhnya berbalik ke samping untuk melihat lelaki yang sedari tadi berusaha untuk mendorong motornya yang besar. “Kalo bosen mah udahan aja, cari yang lain,” canda Carla.

Mereka berdua berjalan sambil berbincang-bincang dan sesekali diselingi candaan. Tak terasa Carla sudah berada di depan rumahnya.

“Gue udah sampe, nih. Rumah lu di sekitar sini juga?” tanya Carla.

“Eh? Iyaa.. eh.. engga deh,” jawab Gerald terbata-bata. Sebenarnya rumah lelaki ini terletak berlawanan arah dari rumah Carla, tetapi demi menjaga gadis itu supaya pulang dengan selamat, ia rela berjalan mengikuti arah langkah gadis itu.

“Ih! Gimana, sih? Mau gue pesenin ojek ga? Biar ga pegel jalan.”

“Ga usah gapapa. Ini kayanya gue udah baikan sama motor gue. Lu masuk aja ke dalem.”

“Hahaha jujur lu aneh banget. Yaudah gue masuk dulu, ya.” Ketika Carla hendak membuka gerbang, langkahnya terhenti mengingat sesuatu. “Ohiya, kita bahkan belom kenalan. Gue Carla dari X MIPA A, lu?”

“Gue Gerald dari X IPS C.”

“Gerald? Namanya bagus. Gue masuk dulu, ya. Makasih udah mau ngobrol sama gue tadi sepanjang jalan.”

Tubuh Gerald terpaku di tempat. Ia bisa merasakan kupu-kupu di perutnya. ”Nama gue bagus katanya,” batin Gerald. Ingin sekali ia melompat kegirangan di sana, tetapi terdapat banyak orang jadi ia mengurungkan niatnya. Usaha Gerald kali ini tidak sia-sia, ya, walau pada awalnya ia ingin mengantar Carla dengan motornya, berakhir dengan ia harus mendorong motornya sejauh 5 KM. Yang paling penting ia berhasil mengantar pulang Carla dengan selamat, sekarang saatnya ia pulang dengan selamat.