Bel pulang sekolah telah berbunyi, seluruh siswa berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing. Semua insan di sana terlihat bahagia, terkecuali gadis malang bernama Carla. Ia harus pergi menemui OSIS. Tidak tahu kenapa dirinya dipanggil, ia hanya turuti perintah kakak kelasnya.
“Wihii… Siapa, nih, yang dateng?” Sorak salah satu anggota OSIS ketika melihat kehadiran Carla.
Tanpa pikir panjang, Gina langsung menutup pintu dan jendela ruang itu rapat-rapat. Ditariknya Carla ke tengah ruang OSIS yang berukuran 3x3. Seluruh anggota OSIS beranjak melingkari Carla. Terlihat tatapan menakutkan di netra seluruh orang di sana kecuali Carla. Tatapannya sendiri yang menunjukkan ketakutan.
Dengan detak jantung yang tak karuan, Carla memberanikan diri untuk bertanya, “maaf, kak, kenapa saya dipanggil ke sini, ya?”
Tari—salah satu anggota OSIS menyahuti pertanyaan tersebut dan tertawa sinis. “Wah? Dia ga sadar diri rupanya.”
“Gini, ya, Carla si ratu onar. Kita panggil lo ke sini buat negur lo. Awalnya, sih, mau negur secara baik-baik, tapi pas liat tingkah lo kaya gini gue jadi kesel.”
Pyo mendekati Carla dan memegang kerah seragam gadis tersebut, “lo masih kelas 10 ga usah banyak laga! Ga kasian sama kembaran lo, tuh, namanya jadi ikut tercemar gara-gara lo. Cewe ga tau diri!” Pyo segera menghempaskan kerah seragam Carla dan mendorong tubuh mungil itu ke belakang.
Dari luar terdengar jelas suara pukulan meja dan teriakan seseorang di dalam ruangan OSIS. Gerald yang sedari tadi menguping, merasa tidak tega mengetahui seseorang harus menerima hukuman yang bukan dari kesalahannya sendiri. Ia sudah berkali-kali meminta kakaknya untuk tidak menyakiti Carla, tetapi hasilnya nihil. Setiap hari hampir semua siswa kelas 11 dan 12 merundung gadis tersebut. Gerald ingin menolongnya, tetapi selalu ditahan oleh Gina supaya dirinya tidak ikut kena masalah.
Saat pintu ruang OSIS terbuka, tampak Carla keluar dari sana dalam keadaan lusuh. Seragamnya terlihat sudah terkoyak dan—oh!—ada memar di tangan kanannya. Gerald ingin menghampiri gadis tersebut, tetapi langkahnya tertahan oleh suara yang terdengar dari dalam ruangan.
“Heh! Jalannya yang bener, jangan sok dilemah-lemahin gitu! Kalo ada yang liat lo kaya gitu nanti yang ada kita semua dalam masalah. Awas aja kalo sampe lo lapor ke orang lain, gue ga akan maafin lo dan bakal gue bikin hidup lo menderita.”
Carla hanya mengangguk tak berdaya. Ia kuatkan langkahnya menuju rumah. Tidak ada lagi supir yang menjemput dirinya. Pak Ruslan sudah pergi terlebih dahulu bersama Carly. Baterai telepon genggamnya sudah habis, terpaksa ia harus berjalan kaki sampai rumah.
Gerald dengan motornya mendekat ke arah Carla yang sedang berjalan kaki sendirian.
“Ekhem..” Gerald pura-pura batuk untuk mendapati perhatian sang gadis. Carla menoleh ke sumber suara, lalu melanjutkan langkahnya lagi.
Merasa usahanya tidak berbuah, Gerald mencoba untuk mencari cara lain. Lelaki itu mematikan mesin motornya dan mendorongnya sampai mendekati Carla. Dengan lagaknya yang terlihat kaku, Gerald mencoba membuka percakapan.
“Anak Tunas Bangsa, ya?” Gerald menyamakan tempo langkah kaki Carla.
“Iya,” jawab Carla singkat.
“Mau pulang?”
Carla hanya membalas pertanyaan Gerald dengan anggukan. Dirinya tidak ingin membuang-buang tenaganya lagi.
“Sama dong. Mau bareng ga? Gue anterin pake motor”
“Bareng gimana? Itu motor lu aja mogok, kan? but thanks ya udah nawarin gue.” Carla tersenyum sebagai ucapan terima kasih atas tawaran yang diajukan Gerald.
Melihat senyuman Carla yang manis, Gerald merasa ada yang aneh dalam dirinya. Dirinya salah tingkah, ia memalingkan wajah ke samping supaya Carla tidak melihat merahnya wajah lelaki itu dibuatnya.
“Ini ga mogok kok.”
“Terus kenapa didorong?”
“Tadi bosen naik motor aja, jadi didorong.” Gerald bingung hendak menjawab apa.
Carla menaikkan satu alisnya, tubuhnya berbalik ke samping untuk melihat lelaki yang sedari tadi berusaha untuk mendorong motornya yang besar. “Kalo bosen mah udahan aja, cari yang lain,” canda Carla.
Mereka berdua berjalan sambil berbincang-bincang dan sesekali diselingi candaan. Tak terasa Carla sudah berada di depan rumahnya.
“Gue udah sampe, nih. Rumah lu di sekitar sini juga?” tanya Carla.
“Eh? Iyaa.. eh.. engga deh,” jawab Gerald terbata-bata. Sebenarnya rumah lelaki ini terletak berlawanan arah dari rumah Carla, tetapi demi menjaga gadis itu supaya pulang dengan selamat, ia rela berjalan mengikuti arah langkah gadis itu.
“Ih! Gimana, sih? Mau gue pesenin ojek ga? Biar ga pegel jalan.”
“Ga usah gapapa. Ini kayanya gue udah baikan sama motor gue. Lu masuk aja ke dalem.”
“Hahaha jujur lu aneh banget. Yaudah gue masuk dulu, ya.” Ketika Carla hendak membuka gerbang, langkahnya terhenti mengingat sesuatu. “Ohiya, kita bahkan belom kenalan. Gue Carla dari X MIPA A, lu?”
“Gue Gerald dari X IPS C.”
“Gerald? Namanya bagus. Gue masuk dulu, ya. Makasih udah mau ngobrol sama gue tadi sepanjang jalan.”
Tubuh Gerald terpaku di tempat. Ia bisa merasakan kupu-kupu di perutnya. ”Nama gue bagus katanya,” batin Gerald. Ingin sekali ia melompat kegirangan di sana, tetapi terdapat banyak orang jadi ia mengurungkan niatnya. Usaha Gerald kali ini tidak sia-sia, ya, walau pada awalnya ia ingin mengantar Carla dengan motornya, berakhir dengan ia harus mendorong motornya sejauh 5 KM. Yang paling penting ia berhasil mengantar pulang Carla dengan selamat, sekarang saatnya ia pulang dengan selamat.