buttwerflies

Sesampainya di kafe, Gita segera mencari meja terdekat dengan panggung. Brian yang sedari tadi membututi Gita hanya bisa mengikuti apa yang perempuan itu inginkan.

Dekorasi yang cukup menarik dan suasana yang nyaman membuat para tamu betah berlama-lama di sana.

Tak lama tampak lelaki yang mengenakan kaus putih dibalut dengan jaket denim di luarnya sedang menaiki panggung. Ia kini sedang bersiap-siap untuk bernyanyi ditemani gitar yang telah dikalungi di badannya.

Wise men say Only fools rush in But I can't help falling in love with you Shall I stay? Would it be a sin

If I can't help falling in love with you? Like a river flows Surely to the sea Darling, so it goes Some things are meant to be

Take my hand Take my whole life too For I can't help falling in love with you

Selama Dimas menyanyikan lagu yang ia bawakan, tatapannya tidak bisa dialihkan dari Gita. Lelaki ini bernyanyi seperti sedang mengeluarkan semua isi hatinya. Jari-jari lentiknya lincah bergerak di atas senar gitar. Suara berat khasnya memenuhi seisi kafe. Semua mata tertuju padanya.

Tak lama setelah Dimas menyelesaikan penamapilannya, tiba-tiba ada seorang gadis dan pria paruh baya menaiki panggung. Dimas yang hendak menuruni panggung, seketika lengannya digenggam oleh pria tadi dan kini Dimas ditarik untuk mengikutinya sampai ke tengah panggung.

“Selamat malam semua. Perkenalkan saya Adrian, pemilik kafe ini. Pertama-tama saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan YME. Kemudian saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua tamu yang telah meluangkan waktunya untuk datang ke grand opening cafe ini. Di sini saya ingin memperkenalkan anak tunggal saya, yaitu Dimas Prayoga dan juga di sebelah kanan saya terdapat perempuan cantik, bernama Citra Lesmani. Ia adalah anak dari Pak Joni yang telah berkerja sama dengan saya dalam bisnis selama 10 tahun. Kini saya ingin mengumumkan pertunangan mereka kepada kalian semua dan diperkirakan 3 bulan lagi mereka akan menikah.”

Mendengar pernyataan ayahnya, Dimas membulatkan matanya tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Dimas ingin sekali memberitahukan kepada semuanya bahwa ia telah jatuh cinta kepada seseorang yang sedang berada di dalam kafe itu. Ia tidak sanggup menatap kedua netra indah milik Gita, Dimas tahu bahwa Gita pasti sangat kecewa dengan keputusan ayahnya.

Gita mematung di tempat, di tangannya ada secarik kertas berisi sebuah jawaban yang dinanti-nantikan Dimas. Padahal hari ini apabila dirinya memberikan kertas tersebut kepada Dimas, maka mereka berdua resmi menjadi pasangan. Namun, takdir berkata lain. Pria yang ia idam-idamkan kini berdiri di depannya bersama calon istrinya kelak. Hancur. Perasaan Gita begitu hancur mengetahui kenyataan yang sedang ia hadapi. Perasaan gembira sebelumnya tergantikan dengan kesedihan yang mendalam. Tangan kanan gadis itu meremuk kertas digenggamannya sedangkan tangan kirinya diletakkan di dadanya. Hatinya begitu sakit, ia sedang mencoba menahan air matanya supaya tidak mengalir.

Dari kejauhan Dimas melirik gadis pujaannya, dirinya kaget dibuat setelah melihat gadis tersebut membawa kertas bagian dari scrapbook yang ia berikan kepada gadis itu. Sejujurnya, Dimas masih menerka-nerka apakah jawabannya. Melihat Gita sedih sudah berhasil membuat dunianya runtuh.

Gita langsung berjalan keluar dari kafe. Brian yang menyadari hal tersebut segera mengikuti gadis itu. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, mereka pergi meninggalkan kafe.

Sesampainya di kafe, Gita segera mencari meja terdekat dengan panggung. Brian yang sedari tadi membututi Gita hanya bisa mengikuti apa yang perempuan itu inginkan.

Dekorasi yang cukup menarik dan suasana yang nyaman membuat para tamu betah berlama-lama di sana.

Tak lama tampak lelaki yang mengenakan kaus putih dibalut dengan jaket denim di luarnya sedang menaiki panggung. Ia kini sedang bersiap-siap untuk bernyanyi ditemani gitar yang telah dikalungi di badannya.

Wise men say Only fools rush in But I can't help falling in love with you Shall I stay? Would it be a sin

If I can't help falling in love with you? Like a river flows Surely to the sea Darling, so it goes Some things are meant to be

Take my hand Take my whole life too For I can't help falling in love with you

Selama Dimas menyanyikan lagu yang ia bawakan, tatapannya tidak bisa dialihkan dari Gita. Lelaki ini bernyanyi seperti sedang mengeluarkan semua isi hatinya. Jari-jari lentiknya lincah bergerak di atas senar gitar. Suara berat khasnya memenuhi seisi kafe. Semua mata tertuju padanya.

Tak lama setelah Dimas menyelesaikan penamapilannya, tiba-tiba ada seorang gadis dan pria paruh baya menaiki panggung. Dimas yang hendak menuruni panggung, seketika lengannya digenggam oleh pria tadi dan kini Dimas ditarik untuk mengikutinya sampai ke tengah panggung.

“Selamat malam semua. Perkenalkan saya Adrian, pemilik kafe ini. Pertama-tama saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan YME. Kemudian saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua tamu yang telah meluangkan waktunya untuk datang ke grand opening cafe ini. Di sini saya ingin memperkenalkan anak tunggal saya, yaitu Dimas Prayoga dan juga di sebelah kanan saya terdapat perempuan cantik, bernama Citra Lesmani. Ia adalah anak dari Pak Joni yang telah berkerja sama dengan saya dalam bisnis selama 10 tahun. Kini saya ingin mengumumkan pertunangan mereka kepada kalian semua dan diperkirakan 3 bulan lagi mereka akan menikah.”

Mendengar pernyataan ayahnya, Dimas membulatkan matanya tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Dimas ingin sekali memberitahukan kepada semuanya bahwa ia telah jatuh cinta kepada seseorang yang sedang berada di dalam kafe itu. Ia tidak sanggup menatap kedua netra indah milik Gita, Dimas tahu bahwa Gita pasti sangat kecewa dengan keputusan ayahnya.

Gita mematung di tempat, di tangannya ada secarik kertas berisi sebuah jawaban yang dinanti-nantikan Dimas. Padahal hari ini apabila dirinya memberikan kertas tersebut kepada Dimas, maka mereka berdua resmi menjadi pasangan. Namun, takdir berkata lain. Pria yang ia idam-idamkan kini berdiri di depannya bersama calon istrinya kelak. Hancur. Perasaan Gita begitu hancur mengetahui kenyataan yang sedang ia hadapi. Perasaan gembira sebelumnya tergantikan dengan kesedihan yang mendalam. Tangan kanan gadis itu meremuk kertas digenggamannya sedangkan tangan kirinya diletakkan di dadanya. Hatinya begitu sakit, ia sedang mencoba menahan air matanya supaya tidak mengalir.

Dari kejauhan Dimas melirik gadis pujaannya, dirinya kaget dibuat setelah melihat gadis tersebut membawa kertas bagian dari scrapbook yang ia berikan kepada gadis itu. Sejujurnya, Dimas masih menerka-nerka apakah jawabannya. Melihat Gita sedih sudah berhasil membuat dunianya runtuh.

Gita langsung berjalan keluar dari kafe. Brian yang menyadari hal tersebut segera mengikuti gadis itu. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, mereka pergi meninggalkan kafe.

“Yeay… akhirnya kelar juga nih tugas,” ucap Grace seraya menutup laptop di depannya. “Pulang, yuk?”

“Cepet banget? Ga mau main dulu?” tanya Reza, badannya condong ke arah gadis di depannya, tangannya menopang dagu seraya menatap lekat netra kecoklatan milik Grace.

Merasa risih dengan perlakuan lawan bicaranya itu, Grace memundurkan badannya dan bergegas merapihkan semua peralatannya. “Hm.. kayanya engga deh. Nyokap gue udah nyariin hehe.”

Tangan Reza mulai bergerilya mengarah ke arah paha Grace. Tatapannya sudah berubah menjadi seperti singa yang sedang mengincar mangsa. “Udahlah main dulu sebentar sama gue.”

Ingin sekali Grace berteriak minta tolong tetapi dirinya terlalu takut. Terlihat di layar ponselnya nama Jamal memanggilnya. Grace spontan mengirimkan lokasinya kepada lelaki itu.

’Jamal, please help me’

“Mari makan!”

Gita sudah memasak rendang spesial untuk kedua orang tuanya. Tak lupa ia juga sudah menyiapkan sambal hijau, sayur nangka, dan daun singkong. Gadis itu juga menyiapkan puding coklat sebagai makanan penutup. Helmi yang terlihat tergiur akan masakan kakaknya itu segera mengambil sebagian dan memindahkan ke piringnya.

“Eits… where’s your manner?” tanya Marline.

“Eh, iya, mam. Maaf.” Helmi segera menaruh balik rendang yang ia ambil barusan ke tempat semula.

“Eww…. So gross. Ngapain dibalikin? Kalo udah diambil ya jangan ditaro lagi dong. Masa orang makan bekas kamu.”

“Tapi kan aku belom makan rendangnya, mam.”

“Iya, tapi ga seharusnya kamu balikin apa yang kamu udah ambil, son. Jangan lupa juga sama table manners, ya? Kamu paling kecil, tunggu yang tua ambil makan dulu baru kamu terakhir,” tutur Kenan lembut.

Okay, dad.”

“Ini gaada appetizer ya?” tanya Marline seraya melihat-lihat makanan di hadapannya.

“Oh, iya, mam. Gita lupa bikin.”

“Untung mami bawain makanan dari sana. Angetin vol au vent gih. Tadi mami taro di kulkas paling atas.”

Di saat Gita memasukkan makanan pembuka khas Perancis itu ke dalam microwave. Orang tuanya menghujani Helmi dengan beribu pertanyaan. Adiknya duduk tegang dengan keringat yang mengucur di seluruh badannya, wajahnya tampak pucat ketika menjawab semua pertanyaan.

Son, kok kamu bisa kecelakaan? Kronologisnya gimana?”

“Uhm… gini, dad.. aku bawa motor terus ga sadar kecepatannya melebihi 100km/jam. I-itu kan malem ya, uhm.. jadi rada gelap. Terus a-aku ga sadar di depanku ada pohon, jadi aku… nabrak pohon,” jawab Helmi gelagapan.

“Duhh… liat! Kamu jadi liar mami biarin di sini. Semester ini juga kamu belom laporan ke mami mengenai IP mu. Dulu mami suruh kamu kuliah di Perancis ga mau. Padahal mami sama daddy bisa mantau kamu terus. Kamu juga bisa lebih baik di sana, ga brandalan kaya gini,” ucap Marline dengan nada meninggi.

“Maaf, mam. IP semester ini baru keluar tadi pagi makanya aku belum kasih unjuk ke mami. Nanti abis makan aku kirim ke mami sama daddy, ya?”

“Iya sudah sudah gapapa. Kita di sini mau dinner kan? Kalo mau ribut nanti aja, okay?” ucap Kenan meleraikan mereka berdua. “Git, udah selesai belom?”

“Udah, dad. Aku bawain ke sana, ya.”

Hampir 4 jam mereka membersihkan rumah megah milik keluarga Gita. Semuanya merasa kelelahan dan berbaring di lantai teras depan rumah.

“Sis, kayanya yang dingin-dingin enak, nih.” Helmi menyiku pelan Gita yang berbaring di sampingnya.

“Es doger mau ga?”

“Mau lahhh. Niko sama Bang Brian mau es doger ga?”

“Boleh,” jawab mereka serentak.

Gita meraih ponselnya dan mencari nomor tukang es doger di dalam kontaknya. Ia segera menekan tombol berbentuk gagang telepon dan mendekatkan ponsel ke telinganya.

“Halo, mas? Mau pesen es doger 4 dong yaaaa…. Biasaa yang satu ga pake kacang ya…. Tolong anterin ke rumah… Okee makasih ya mas.”

“Git? Lu mesen es doger delivery? Emang ada?”

“HAHAHAHAHA dia tuh orangnya mageran tapi doyan jajan, bang. Jadi dia sering nyimpenin nomor tukang jualan di depan kompleks biar kalo mau jajan tinggal nelpon. Emang rada aneh kakak gue.”

Modern problems require modern solutions.”

“Halah pembelaan ae lu, sis.”

“Hahaha tapi jenius juga sih cara lu. Gue bahkan ga pernah kepikiran buat minta nomor abang-abang jualan gitu.”

“Yaa gue emang terlahir jenius,” jawab Gita sambil mengibaskan rambutnya.

Wajah Helmi kecut melihat tingkah kakaknya itu. “Nik, lu mau tukeran kakak ga?”

Mendengar ucapan adiknya, Gita spontan menjawab, “idihh songong amat. Lu kata gue juga mau punya adek kaya lu?”

“Yakin luu? Dikata si Brian kaga nyebelin apa?”

“Brian Brian… gini gini gue abang lu,” jawab Brian seraya membuka topinya dan memakaikannya di kepala Niko.

“Tuh… nyebelin! Poni gue nanti rusakkkk,” teriak Niko sambil mengangkat topi yang diberikan kakaknya.

“Misiii…es doger…”

Mendengar teriakan dari luar pagar, Gita spontan berdiri dan melangkah ke sana. “Makasih ya, mas. Nih, uangnya.”

“Makasih ya neng. Tumben rumahnya rame. Biasanya cuma berdua doang,” ujar penjual es doger yang masih berdiri di depan gerbang.

“Hehe iya mas. Lagi pada main aja nih sekalian beres-beresin rumah soalnya besok mami sama daddy mau dateng.”

“Wihhh… akhirnya mereka dateng ya neng. Saya penasaran banget mau liat orang tua neng. Anak-anaknya bisa cakep-cakep pisan gini pasti biangnya juga cakep.”

“Hahaha mas bisa aja.”

“Yaudah neng. Saya lanjut jualan dulu, ya. Salam buat temen-temen neng.”

“Oke, mas.”

Setelah menutup gerbang rumahnya, Gita melangkah ke arah teras dan meletakkan plastik putih berisikan es doger itu ke lantai. “Nih, yaa.”

“Sisss, kok semuanya ada kacang?”

“Eh? Masa, sih? Tadi gue udah bilang satu ga pake kacang dah. Yaudah siniin es lu.” Dengan teliti Gita memindahkan satu per satu kacang yang berada di es doger Helmi.

“Lu ga suka kacang, Mi?” tanya Niko sambil menyuapkan es ke dalam mulutnya.

“Gue alergi.”

“Ohh gituu. Yaudah kapan-kapan gue beliin kue kacang aja kali ya buat ultah lu?” ledek Niko

Mendengar perkataan Niko barusan, kedua mata Helmi membulat. “Sialan lo!”

“Nahh udah abis nih kacangnya. Sono makan.” Gita mengangkat tubuhnya dan meregangkan otot-ototnya karena terlalu lama menunduk untuk menyingkirkan kacang.

“Asikk… thank you sisturrrr.”

Brian yang melihat kedua kakak adik itu tersenyum simpul. Niko yang menyadari tingkah kakaknya spontan menyiku pelan. “Kenapa lu senyum-senyum?”

“Gapapa. Emang ga boleh?” tanya Brian balik.

“Engga.”

“Dih.”

Guyss…. Foto dulu yukk, nyokap gue minta pap nihh.” Gita segera memegang ponsel dan mengarahkan kameranya ke mereka. Semuanya spontan memasang pose andalannya. “1.. 2.. 3..”

“Kak, gue boleh liat ga?”

“Boleh, nih.” Gita memberikan ponselnya kepada Niko.

“Ihh, gue jelek banget. Boleh ulang ga? Hehehe.”

Mendengar permintaan adiknya, Brian menjitak pelan kepala adiknya. “Nik, lu gausah aneh-aneh.”

“Boleh, kok,” balas Gita singkat.

Niko menjulurkan lidahnya ke arah Brian dan langsung memasang pose terbaiknya.

“Nahhh ini baru cakepp. BTW ini ada filter kucing, kak? Gue nyoba selfie ya.”

Brian mendengus. Ia memalingkan pandangannya ke arah kolam ikan.

“Bang, si Niko keknya satu frekuensi anehnya sama kakak gue dah. Lu liat mereka akrab banget hahaha.” Helmi duduk di sebelah Brian dan ikut menatapi kolam ikan.

Brian hanya tertawa kecil mendengar perkataan Helmi barusan.

“Briiii… coba liat siniiii.”

Merasa namanya dipanggil, Brian spontan menengok ke arah Gita.

“HAHAHAHAHAHA lo gemes banget, bang. Biasanya sangar tapi pake filter kucing jadi imut,” ledek Niko.

“Kalian iseng banget sumpah. Apus dongg.”

“Mohon maaf. Akan saya abadikan momen langka ini,” ucap Gita dengan nada bicara meniru operator provider ponsel.

Niko tertawa lepas melihat kakaknya tidak berdaya seperti itu di hadapan Gita. Helmi yang melihat tingkah kedua orang usil itu hanya bisa menatap miris. “Yang sabar ya, bang.”

Dimas melangkah masuk ke dalam ruangan bernuansa minimalis modern itu. Matanya menjuru ke segala arah. Seluruh barang tersusun rapih di tempatnya masing-masing. Warna putih dan coklat muda memenuhi dinding kamar tersebut.

Terlihat Gita duduk di ujung ranjang memandang ke luar jendela. Dari balik punggungnya tampak gadis itu sedang menyembunyikan sejuta perasaan yang sedang ia rasakan.

Mendengar langkah kaki seseorang memasuki ruangan, tanpa menoleh Gita segera membuka suara. “Jangan deket-deket! Di situ aja, okay?”

Mendengar perintah dari sang pemilik kamar, Dimas langsung menghentikan langkahnya.

“Git… kalo mau marah sama gue, marah aja gapapa. Kalo lu mau pukul gue, pukul aja. Gue ga bakal menghindar.”

Perempuan itu bangkit dari ranjangnya, kedua tangannya terkepal kencang. Dimas yang melihat hal tersebut menelan ludahnya dan menyiapkan dirinya apabila Gita memukuli dirinya. Ia mengeraskan otot-otot perut dan lengannya untuk berjaga-jaga.

Gita membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah Dimas yang terlihat mematung di sudut kamarnya. Pria itu tertegun melihat kedatangan wanita itu. Ia menutup matanya erat-erat. Wajahnya mengerut bersiap-siap menahan sakit yang akan ia rasakan.

Ketika Gita lari menghampirinya, kaki kanan Dimas bergerak melangkah ke belakang karena menahan beban yang ia terima. Hangat. Pria itu tidak merasakan sakit sedikitpun, ia merasa ada kehangatan yang menjalar ke tubuhnya. Dimas segera membuka kedua kelopak matanya. Ia menemukan Gita sedang memeluk dirinya dan membenamkan wajah cantiknya ke dalam dada bidang milik pria tersebut.

“Git, are you okay?”

Terdengar isakan tangis dari wanita di hadapannya. Tangan kanan Dimas memeluk kepala wanita tersebut, tangan kirinya menepuk-nepuk lembut punggung gadis itu.

“Dim, gue takut. Banyak banget yang chat gue, mereka ngata-ngatain gue bahkan ada yang nyumpahin gue mati. Hari ini udah lebih dari 10 nomor ga dikenal nelpon gue. Pas gue angkat, dia cuma ngatain gue murahan lah ada yang ngatain gue jalang lah. Beberapa ada yang udah dilaporin ke polisi sama Tris karena mereka sampe lemparin batu ke rumah gue,” ucap Gita diselingi isakan tangis yang makin lama makin mengeras.

Dimas mengeratkan dekapannya. Ia terkejut mendengar kejahatan orang-orang yang timbul akibat perbuatan cerobohnya. Padahal pria ini berencana menyanyikan lagu spesial untuk mengekspresikan perasaannya dan berharap wanita pujaannya itu senang, tetapi malah sebaliknya yang ia dapatkan.

“Git, sorry, ya? Gue ga ada niatan buat lu dihujat abis-abisan sama orang lain. Lu ga perlu takut lagi. Gue bakal lindungin lu, gue janji,” tutur Dimas seraya mengelus pelan pucuk kepala gadis di dekapannya.

Sudah berlalu beberapa menit, mereka masih mempertahankan posisi tersebut. Kedua lengan Gita masih melingkari torso pria di hadapannya. Dimas membiarkan kausnya kuyup akibat air mata yang membanjiri wajah Gita. Kini lelaki itu menempatkan dagunya di atas kepala wanita di pelukannya itu.

“Git.”

“Hm.”

“Lu pernah denger ga ada yang bilang kalo orang lagi senyum tuh lidahnya ga bisa nyentuh langit-langit mulutnya, bener ga sih? Coba deh.”

Merasa penasaran, Gita mencoba mempraktikan apa yang Dimas katakan barusan.

“Bisa kok.”

“Masa, sih? Coba liat.”

Tanpa berpikir panjang, Gita menghadapkan wajahnya ke atas. Dipasangnya senyuman manis di wajah wanita itu. “Nih, bisa, Dim.”

“Nah kan… cantik.”

Mendengar perkataan Dimas barusan, dengan cepat Gita melepaskan pelukannya. “Ih, apaan sih, Dim?” Wajahnya memerah bak tomat yang sudah matang. “Lagi jelek tauuu,” ujar Gita sambil memalingkan wajahnya.

“Mana coba liat yang katanya jelekk? Liat sini dong, mau liat jeleknya,” ledek Dimas seraya meraih jari jemari Gita dan menariknya lembut sehingga tubuh mungil itu menghadap ke arahnya.

Dimas memegang kedua dengkulnya, tubuh pria itu membungkuk, wajahnya di angkat mendekat ke arah wajah Gita. Mata pria itu menelusuri seluruh wajah indah di hadapannya. “Hm… iya, Git. Bener. Jelek bangeeett. Kok bisa, sih, jadi sejelek ini? Ya ampunnn, Git, Git.”

“IHHH DIMASS NYEBELIN BANGETT!!!”

Jamal mengikat tali sepatunya kuat-kuat sebelum ia benar-benar meninggalkan rumah. Tak lupa lelaki ini pamit kepada kedua orang tuanya tiap kali ia ingin pergi.

“Ayah, bunda, aku mau olahraga dulu ya sama Yanu,” ucap Jamal seraya menyium punggung tangan kedua orang tuanya.

“Hati-hati ya, nak. Jangan macem-macem kamu di luar sana.”

“Siap, bun.”

Terlihat ada tukang sayur beserta ibu-ibu yang sedang berkumpul di sana. Mereka sibuk memilih sayuran sambil bercakap-cakap mengenai perilaku manusia—gossip. Saat Jamal melewati kumpulan tersebut, semua mata tertuju padanya, bahkan tukang sayur pun ikut tidak berkedip melihat paras tampan Jamal. Semua mulut ibu-ibu serentak terbuka. Matanya lekat mengarah ke lelaki itu dari bawah sampai atas. Jamal yang menyadari akan hal itu hanya bisa menyapa singkat kerumunan orang tersebut dan segera mempercepat langkahnya, “Permisi, ibu-ibu. Semoga keluarganya sehat selalu.”


Sesampainya ia di kediaman sahabat kecilnya, Yanu, Jamal langsung menekan bel yang berada di luar pagar besar di hadapannya

DING DONG

“Ya… sebentar,” teriak Yanu dari balik pagar.

Setelah Yanu berhasil keluar dari pagar rumah itu, ditatapnya Jamal dari ujung kaki hingga ujung kepala, “Waduh… sobat gue ganteng banget, nih. Lu ga mau pake masker sama kacamata item gitu? Sebel deh gue tiap kali jogging sama lu pasti ada ajalah cewe-cewe minta nomor lu. Padahal kan gue dah siap-siap nyebutin nomor gue kalo pada minta. Etapi, ga ada yang minat dah.”

“Hahaha ya udah nanti kalo ada yang minta nomor gue, gue kasih nomor lu aja, ya?” balas Jamal seraya berjalan cepat.

Sambil menyamakan langkahnya dengan Jamal, Yanu berkata, “ga mau, ah. Walaupun gue sableng gini, gue ga mau boongin orang. Nanti kalo ketauan yang ada malah berabe.”

“Halah sok-sokan ga mau nipu orang, kemaren lu nipu gue. Mana pas gue beli softex ke indoaprilnya diliatin emak-emak. Tukang Gojknya ngetawain pas gue nitip tulisin pake sticky note. Terus malemnya chat gue malah dikacangin. Sial deh pokoknya.”

“HAHHAHA. Sob, jujur aja gue emang ga ada pengalaman. Lagian kan lu yang bilang kalo nyokap lu lagi mens, dia suka beli softex.”

“Tapi si Grace lagi ga mens, Nu!”

“Ah, masa, sih? Udah lu cek?”

“MAKSUD LU? LO PIKIR GUE COWO MACEM APA ANJER?”

“Lah, kan ngeceknya ga harus ngeliat anu langsung, lu kan bisa nanya ke dia atau liat kalender periodnya. Haduhhh… Jamal udah dewasa sekarang. Pikirannya jadi kemana-mana.”

Merasa malu, kini Jamal mempercepat langkahnya. Ia memalingkan pandangannya ke pohon-pohon yang berdiri berbaris di tepi jalan. Yanu yang tertinggal cukup jauh mulai meneriaki nama pemberian kedua orang tua Jamal.

“JAMAL!!! Tunggu, gue cape. Lu kebelet boker, ya? Buru-buru amat, sih. Kaya mau digrebek sama satpol pp.”

Jamal tak mengindahkan ocehan sahabatnya itu. Dikeluarkannya airpods dari dalam saku celananya. Ia memilih-milih lagu untuk didengarnya. Ardhito Pramono tertera di layar handphone. Penyanyi kesukaannya itu selalu berhasil membuat Jamal terhanyut di dalam lagu-lagunya.


Jam sudah menunjukkan pukul 11.00. Jamal dan Yanu beristirahat sejenak sambil menikmati es krim puter rasa coklat di pinggir jalan.

“Mal,” ucap Yanu memecahkan keheningan di antara mereka berdua.

“Hm?” jawab singkat Jamal seraya menyerok es krim dengan sendok plastik kecil digenggamannya.

“Lu tuh beneran suka sama si Grace Grace itu, kah?”

“Kenapa emang?”

“Ya… gapapa. Cuma gue bangga aja ternyata lu masih punya perasaan.”

“Sialan lu.”

“Kita udah sahabatan kurang lebih 15 tahun, tapi ga pernah sekalipun gue liat lu tergila-gila sama cewe.”

“Udah puber kali gue.”

“Yeee emang kemaren-kemaren lu belom puber? Kan udah juga.”

Bingung menjawab perkataan Yanu barusan, Jamal hanya mengangkat bahunya.

“Lu udah jadian sama doi?”

“Belom.”

“Lah, lu nunggu apa lagi, sih? Dia udah tau belom lu aslinya kaya gimana?”

“Udah. Gue udah cerita semuanya.”

“Terus? Tanggapannya gimana? Dia ilfeel ga?”

“Ga, sih.”

“Nah, gas ngeng aja itu mah.”

“Gue takut. Gue takut menjalin hubungan sama orang.”

“Terus? Lu mau gantungin anak orang? Mal mal. Muka boleh ganteng, tapi attitudenya juga harus ganteng dong.”

Mobil sedan hitam masih terparkir rapih sendirian di basement. Tidak nampak mobil lain di sana. Hampir semua orang sudah pulang. Gita yang berhasil menemukan mobil itu langsung berlari kecil menghampirinya. Dimas yang menyadari kehadiran Gita segera membukakan pintu untuk perempuan itu.

“Silakan, nyonya.”

“Hahaha apa sih, Dim? Gue bisa buka sendiri tau!” ujar Gita seraya masuk ke dalam mobil tersebut.

“Gimana tadi penampilan gue?”

“Keren banget. Lu nyanyi, ya, tadi? Tumben banget.”

“Hahaha iya. Cocok ga gue nyanyi?”

“Lu cocok ngapain aja, Dim.” Tanpa sadar Gita mengatakan hal yang memalukan baginya. Ia segera memalingkan wajahnya ke arah jendela.

Sama halnya dengan Dimas. Mukanya memerah bak tomat yang telah matang. Tiba-tiba teringat mengenai jawaban dari sang wanita akan perasaannya, pikiran Dimas jadi kacau tak karuan. Sudah seminggu ia digantung oleh Gita, tapi pria ini tidak ada nyali untuk menanyakan perihal tersebut. “Argh.”

“Eh? Kenapa, Dim?” Gita segera menoleh ke arah sang adam yang sedang fokus menyetir itu.

“Gapapa, kok. Kita dengerin lagu aja, ya? Mau request lagu apa?”

“Cigarettes After Sex – Affection.”

“Hahaha okay.”

Tiap kali mendengar alunan lagu dari band favoritnya, pikiran Gita menjadi tenang seketika. Ia menutup kedua matanya untuk menghayati lagu yang sedang diputar itu. Jarinya bergerak mengikuti irama. Mulutnya bergumam melantunkan lirik lagu tersebut.

Dimas yang sedari tadi mencoba fokus untuk melihat jalan yang sudah gelap, menoleh sekilas ke arah gadis di sampingnya. Tak disadari, kedua sudut bibir Dimas tersungging ke atas. Pikirannya segera memulih. Hanya melihat gadis kesukaannya senang saja, ia merasa lebih tenang.

Keduanya terdiam sambil meresapi lagu band favorit mereka. Asik dalam dunianya masing-masing. Wangi kopi dari pengharum mobil Dimas mendukung suasana nyaman saat itu. Gita yang merasa dirinya terlarut dalam lagu, segera membuka kedua matanya dan membalikkan tubuhnya ke arah Dimas. Ditatapnya pria itu lekat-lekat. Ia memperhatikan lelaki di sampingnya dengan seksama. Gaya rambut comma hair, yang ditata melengkung sempurna ke samping kanan dan kiri. Kaus putih dipadu dengan celana jeans berwarna khaki. Sepatu adidas Stan Smith berwarna putih dengan corak hitam. Wajahnya yang terlihat sangat menawan ketika sedang berkonsentrasi. Tubuhnya yang proporsional. Semua terlihat sempurna. Gita memikirkan betapa beruntungnya ia apabila berpacaran dengan lelaki yang tidak ada cacat di matanya. Padahal hari itu merupakan hari yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang diberikan Dimas di dalam scrapbooknya. Namun, dikarenakan Gita terburu-buru saat merapihkan barang-barangnya ketika hendak berangkat ke kampus, ia lupa membawa kertas yang telah diisinya itu.

Merasa dirinya diperhatikan oleh orang di sampingnya, Dimas menoleh ke arah Gita. “Kenapa, Git? Ada yang aneh, ya?”

“Eh? Engga, kok.”

“Dim…” Sejujurnya Gita ingin mengatakan bahwa ia bersedia menjadi pacar pria itu secara langsung, tetapi ia tidak sanggup mengungkapkannya karena baru memanggil nama sang pujaan saja jantungnya berdetak tak karuan. Gita mengurungkan niatnya dan berniat mencari waktu lain yang tepat untuk mengatakannya.

“Iya, Git? Kenapa?” Pikiran Dimas menjadi tak karuan. Dirinya berharap Gita bisa menjawab perasaannya saat itu. Ia menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut Gita selanjutnya. Semoga kali ini adalah kata-kata yang ia harapkan.

Tidak tahu harus menjawab apa, Gita yang sudah kepalang pusing menjawab asal dari pertanyaan Dimas barusan. “Ehh lu tau ga keju mozzarella khas malang yang terkenal di Instagram itu?”

Ada sedikit rasa kecewa mendengar kalimat Gita barusan. Namun, Dimas tidak ada hak untuk memaksakan perasaan orang lain. Lalu ia menanggapi perempuan itu seperti biasa. “Keju mozzarella?”

“Iyaa. Khas malang. Yang viral di IG, loh.”

“Gue kan ga main IG.”

“Lo ga punya IG? Kok bisa, sih?”

“Dulu punya, tapi lupa password jadi ga bisa gue buka lagi deh.”

“Ih, payah. Padahal fiturnya keren-keren, loh.”

“Mana coba liat.”

“Nih. Coba aja.”

Dokter segera datang untuk memeriksa sekaligus melihat kondisi Helmi saat itu. Gita menggigit ibu jarinya menyaksikan punggung pria berjas putih itu dari belakang. Tentu saja wanita ini gugup ketika dokter hendak memberitahu mengenai kondisi adiknya itu. Brian yang berada tepat di sebelahnya hanya bisa merangkul dan mengelus perlahan bahu wanita itu supaya ia merasa tenang.

“Gimana, dok? Helmi gapapa kan?” tanya Gita dengan suara bergetar.

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh perempuan di belakangnya, sang dokter segera membalikkan tubuhnya dan melepaskan stetoskop yang terpasang di telinganya.

“Untuk TTV dari saudara Helmi ini hampir semuanya normal, hanya tekanan darahnya yang menurun. Kemungkinan ia pingsan karena saat kecelakaan Helmi kehilangan hormon yang disebut adrenalin dan endorphine. Saudara Helmi juga perlu dilakukan pemeriksaan lab untuk melihat kadar gula darahnya karena pasca kecelakaan tak jarang orang bisa kekurangan kadar gula darah sehingga detak jantungnya juga turun disertai respons rasa bingung. Nanti juga kami akan melakukan pengambilan CT Scan kepala untuk melihat apakah ada cedera pada kepalanya atau tidak.”

“Untuk saat ini, Helmi hanya perlu banyak istirahat. Saudari Gita tidak perlu terlalu khawatir mengenai adiknya. InsyaAllah kami akan melakukan yang terbaik.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, terlihat senyum ramah sang dokter untuk memberikan rasa tenang kepada Gita. Kemudian ia dan beberapa perawat yang sedari tadi menemaninya segera keluar dari ruangan tersebut.

Brian menundukkan kepalanya untuk melihat wajah gadis mungil di sampingnya.

“Git? Gita!” Brian mengguncangkan pelan tubuh perempuan itu. “Jangan bengong, Helmi gapapa kok. Tenang aja, ya?”

“Oh? Iya iya…” Gita mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah pria di sampingnya.

Merasa dirinya diperhatikan oleh gadis kesukaannya, Brian segera menoleh ke arah gadis itu. “Kenapa?”

“Ada charger hp ga? Mau ngabarin ortu.”

Brian merogoh tas kecil miliknya dan mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak kecil yang tersambung kabel berwarna putih. “Nih, gue bawa powerbank. Pake aja.”

Tidak lama setelah itu, terdengar getaran dari gawai canggih milik Brian. Terpampang nama Rangga jelas di layarnya. Seusai menjawab panggilan dari temannya itu, Brian segera pamit kepada Gita karena ia harus latihan untuk acara kampus.

Sudah 4 hari Helmi dirawat di rumah sakit, tetapi ia masih belum siuman. Gita sudah merasa sedikit putus asa ketika melihat adiknya yang terbaring tidak berdaya itu. Ingin sekali Gita menghubungi orang tuanya dan memberikan kabar mengenai Helmi, tetapi handphone miliknya sudah tidak bisa menyalah lagi karena kehabisan baterai. Tidak ada hiburan di sana, yang ia lakukan hanyalah menatap ke arah luar jendela untuk melihat keramaian di halaman rumah sakit atau terkadang ia mengganti bunga di ruangan itu ketika sudah layu. Setiap Brian atau Niko berkunjung, timbul perasaan senang dari dalam dirinya. Pasalnya gadis itu jadi memiliki teman untuk mengobrol. Gita sangat berterima kasih kepada kedua orang tersebut karena merekalah yang selalu menjaga dan merawat dirinya dikala si empunya badan tidak memedulikan keadaannya.

“Git?”

“Hm?”

“Helmi masih belom sadar?”

“Belum nih.” Gita menunduk sambil memainkan jari jemari Helmi. Dingin. Ia merasakan dingin di telapak tangan Helmi. Hatinya sakit sekali melihat keadaan Helmi yang tidak kunjung membaik. “Helmi, kalo lo bangun, nanti gue kabulin apa aja yang lo mau. Gue janji.” Air mata mulai mengalir membasahi kedua pipi Gita. Brian yang melihatnya miris segera memberikan sehelai tisu kepada wanita di hadapannya. Brian yang tidak tega melihat gadis itu menangis, mencoba menenangkannya. “Git, dia bakal bangun. Percaya sama gue.” Kedua lengan Brian meraih tubuh perempuan di depannya, ia merengkuh torso Gita untuk didekapnya, supaya membuat gadis itu nyaman. Brian mengelus lembut pucuk kepala gadis itu dan mengeratkan pelukannya, “Dia ga bakal ninggalin lu, gue pun juga.”

Seketika rasa hangat menjalari tubuh Gita. Ia merasa tenang didekapan pria itu. Ia bisa merasakan aroma manis yang menguar dari badan Brian. Rasanya Gita tidak ingin melepaskan tubuhnya dari pelukan lelaki itu, ia terlanjur nyaman di sana sampai akhirnya ia melihat jari telunjuk Helmi bergerak perlahan.