Pertemuan Dua Keluarga
Adrian beserta keluarganya sudah sampai di tempat yang mereka reservasi—Wolfgang’s Steakhouse. Pemandangan kota Jakarta di malam hari dari lantai 6 gedung Elysee memang tidak ada tandingannya. Gemerlap lampu kendaraan yang berlalu lalang ditemani dengan cahaya terang terpancar dari gedung-gedung membuat siapa saja jatuh hati melihatnya.
Tak lama berselang dari kedatangan Adrian, tibalah pria separuh baya dengan setelan jas hitam bersama dua wanita cantik di sebelahnya.
“Drian, my friend! Makin keren aja kalo diliat-liat,” sapa pria yang bernama Joni sambil menjabat tangan Adrian.
“Ah bisa aja. Situ juga makin gagah, nih. Sini silakan duduk.”
“Dim, sapa dong.” bisik Adrian sembari menyiku anak tunggalnya.
Dimas acuh tak acuh akan kehadiran keluarga yang bisa dibilang dari calon istrinya kelak. Ia bangkit dari kursinya sembari mengembuskan napas berat, “Halo, om. Saya Dimas, salam kenal.”
“Nak Dimas! Ganteng banget ya, cocok deh sama anak saya yang cantik ini.”
Dimas hanya tersenyum kecut mendengar perkataan Joni barusan. Selama pertemuan ini, ia hanya meratapi makanan di depannya miris sambil memainkan sendok yang telah disediakan. Tidak minat dengan apa yang dibicarakan.
“Gimana, Dim? Kamu setuju kan, nak?” tanya mama Dimas.
Merasa namanya dipanggil, Dimas tersadar dari lamunannya, “Hm? Maaf, kenapa, ma?”
“Kan kamu tahun ini wisuda. Nah, rencana pernikahan kamu sama Citra dimajuin abis kamu wisuda. Gimana? Kamu setuju, 'kan?”
“Apa ga kecepetan? Dimas masih muda loh ma. Masih mau nikmatin masa-masa muda Dimas.”
“Ya kan bisa nikmatin masa-masa mudamu bareng Citra. Lagian juga kalo udah ketemu jodohnya mah ngapain nunda-nunda nikahnya.”
“Cih. Serah,” jawab Dimas ketus seraya memutar bola matanya.
Di tengah-tengah suasana tidak menyenangkan itu, Citra yang daritadi menyantap makanannya, tiba-tiba batuk tersengal-sengal.
“Are you alright, my baby?” tanya wanita paruh baya di sampingnya.
Citra tidak menjawab, ia masih sibuk menelan makanannya yang tersangkut di kerongkongannya sembari melirik Dimas.
“Dim, bantu Citra tuh, dia lagi kesulitan.”
“Ya tinggal minum, susah amat.”
“Heh kamu tuh ga gentle banget. Bawa dia ke RS gih.”
“Tapi... dia kan cuma keselek...”
“Cepet sana.”
Hening. Terdapat dua insan di dalam kendaraan beroda 4 berwarna hitam metalik yang berlari dalam kecepatan tinggi, tapi tidak ada yang mengeluarkan suara. Dimas memutuskan untuk menyambungkan audio mobilnya dengan ponselnya. Seperti biasa, ia memutar lagu Cigarettes After Sex. Lagu yang mengingatkannya pada gadis favoritnya, Gita.
“Ih ini lagu apa, sih? Kok gini banget?” protes Citra.
“Maksudnya?”
“Ya... Kok aneh banget sihh. Terlalu melow deh. Aku ganti, ya?”
“Sekalian aja lu pindah mobil, gimana?”
“Kok?”
“Gue tau lu drama kan tadi? Biar apa sih?”
“Negative thinking banget sih? Terlepas beneran atau engga, apa salahnya aku nyari perhatian ke calon pasangan hidupku kelak?” ujar gadis yang duduk di kursi penumpang itu. Ia mendekat ke arah Dimas, mencoba untuk meraih lengan pria itu.
“Lo lama-lama gue turunin, ya?”
“Jahat banget, sih? Aku harus gimana biar kamu bisa liat ke aku?”
“Ga bisa. Hati gue cuma buat satu orang.”
“Siapa, sih? Spesialnya dia apa? Ada kah wanita yang lebih sempurna daripada aku?”
“Narsistik.”
“Palingan cewe itu genit kan? Tukang goda cowo-cowo. Cantik karena make up yang tebel. Sok terlihat baik di depan orang padahal dia busuk sampe dia bikin calon suami orang lain ga bisa lepas dari dia.”
Kesabaran Dimas habis, ia mencengkram stir mobilnya erat-erat dan menggertakkan giginya. Seketika pria itu menghentikan mobilnya. “Turun.”
“Dim?”
“Mumpung gue bilangnya masih baik-baik. Turun, Cit. Gue bener-bener muak sama lu.”
“Ga mau.”
“Turun sendiri atau gue paksa?”
“Dim, kamu udah tersihir sama nenek lampir itu kah? Sampe kamu segila ini.”
Tanpa menjawab perkataan Citra barusan, Dimas keluar dari mobilnya. Ia membuka pintu mobil di sisi satunya, membiarkan Citra keluar sendiri dari mobil. Namun, nihil hasilnya. Gadis itu bergeming di tempat duduknya.
“Cit, keluar!”
Merasa takut akan amarah yang dirasakan datang dari Dimas, Citra segera keluar dari mobil. Merasa dirinya direndahkan, ia sangat marah tetapi bukan kepada Dimas. Citra marah kepada wanita yang berhasil mencuri hati pujaannya itu.
“Liat aja ya, Dim! Aku bakal nyari tau siapa yang berani buat kamu kaya gini! Bakal aku kasih pelajaran!” teriak Citra ke arah Dimas yang sudah melaju kencang dengan mobilnya.