Bertahan

Suara decitan pintu rumah membuat Dimas dan Helmi memalingkan pandangannya. Tampak sesosok perempuan berbusana piyama berjalan keluar dari balik pintu. Helmi yang melihat kedatangan kakaknya, langsung berinisiatif untuk masuk ke dalam rumah untuk memberikan ruang dan waktu kepada Dimas dan Gita.

Dimas menatap wanita di hadapannya lekat-lekat. Dari sorot matanya terlihat kerinduan yang begitu mendalam sekaligus rasa sedih yang tak bisa diabaikan. Surai hitam yang tergerai panjang, netra hitam-kecoklatan nan indah, kedua pipi yang merah merona, bibir kemerahan dengan rasio yang proporsional, jari-jari tangan yang lentik, kulit lembut berwarna kuning langsat, kaki yang indah, tampak sempurna di mata Dimas. Ia sangat menyukai setiap detail perempuan pujaannya itu. Mengingat bahwa banyak halangan yang membuat mereka untuk menyatu, seketika dada Dimas terasa sesak. Rasanya menjalar sampai tenggorokkan pria itu. Ia tidak bisa berkata-kata. Saat ini, dengan melihat wanita idamannya secara langsung saja sudah membuat harinya membaik. Tanpa disadar terulas senyuman kecil di wajah pria yang diam terpaku itu.

“Dim? Tadi lo bilang ada yang mau diomongin, apa?”

Dimas buyar dari lamunannya, ia spontan menceritakan semuanya kepada Gita. Begitu juga Gita, ia memberitahukan semuanya, mengenai jawaban untuk Dimas dan semua perasaannya. Tidak ada lagi hal yang terpendam di antara mereka. Seakan-akan perasaan lega menjalari tubuh kedua insan tersebut.

“Git, mau gimana pun, gue bakal berusaha buat batalin semua rencana bokap nyokap gue. Bertahan sebentar lagi ya? Gue mohon.”

Gita hanya mengangguk kecil seraya menundukkan kepalanya, ia tidak mau terlalu berharap kali ini. Sudah berapa kali gadis ini hancur karena harapan yang digantungnya tinggi-tinggi lenyap dibantai oleh kenyataan yang menyakitkan.

“Gue balik dulu, ya. Jangan kacangin chat gue lagi dong.”

“Iyaiya. Dadahh, hati-hati, ya.”