Her Weakness
“Kalian pulang duluan aja, gue mau ke toilet dulu. Tadi kebanyakan minum kopi kayanya,” ucap Gita seraya melambaikan tangannya kepada Lila dan Olivia.
Gita mempercepat langkahnya menuju toilet. Kafein selalu berhasil membuatnya sering buang air kecil.
Suasana kampus saat itu sudah mulai sepi mengingat matahari mulai menghilang di bawah garis cakrawala. Tiada orang di toilet sehingga Gita tidak perlu mengantre untuk mendapatkan giliran.
“Ah... leganya,” bisik gadis itu pelan. Selang beberapa detik, terdengar langkah kaki masuk ke dalam toilet. Suaranya semakin lama semakin terdengar jelas. Gita tidak terlalu menghiraukan kedatangan orang tersebut hingga terlihat bayangan kaki berdiri di depan bilik toilet yang ia pakai saat itu.
Krekk
“Eh? Siapa itu?” teriak Gita sembari membuka kunci bilik toilet. Deg. Ia terkunci di dalamnya. Perempuan itu paling tidak suka berada di tempat sempit sendirian terlalu lama. Ia mencoba mendobrak pintu di hadapannya. Namun, hasilnya nihil.
“Siapapun, tolong!! Ga lucu sumpah. Bukain, dong!” Tak ada sautan dari siapapun. Kini pelaku yang mengunci bilik toiletnya tadi, menekan saklar lampu kamar mandi. Gelap. Ketakutan Gita lainnya yaitu kegelapan.
Pikiran Gita langsung tertuju pada masa lalunya. Ruang sempit dan kegelapan adalah traumanya saat ia masih kecil. Ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja, mereka menitipkan anaknya kepada pengasuh yang bisa dikatakan tegas. Sengaja orang tuanya memilih pengasuh tersebut supaya Gita dan Helmi bisa menjadi anak yang disiplin. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. Pengasuh itu memberikan kenangan buruk untuk anak-anaknya, ia selalu mengurung Gita dan Helmi di gudang dengan keadaan gelap gulita tiap kali mereka berdua membuat kesalahan walau hanya berupa kesalahan kecil seperti lupa mencuci piring sehabis makan. Keduanya selalu menangis supaya mendapatkan belas kasihan.
Ketika dihukum seperti itu, mereka berdua selalu berpelukan untuk memberi kenyamanan satu sama lain. Namun, kali ini Gita hanya seorang diri. Tidak ada yang bisa menyalurkan rasa nyaman ke dalam tubuhnya. Bajunya sudah basah dipenuhi keringat yang bercucuran dari badannya. Tangan dan kaki perempuan malang itu sudah mulai lemas, ia tidak bisa lagi menopang massa tubuhnya sendiri. Netranya bergetar memancarkan ketakutan yang amat besar. Suasana dingin dan lembab menambah rasa tidak nyaman yang dialami Gita. Napasnya mulai tidak beraturan dikarenakan pasokan oksigen yang masuk ke dalam pernapasannya berkurang. Tangannya meraih tas yang digantungkan di dinding bilik toilet. Jari jemarinya mulai bergerilya mencari keberadaan ponsel.
Gita menekan nomor adiknya dan mendekatkan gawai tersebut ke dekat telinganya. Tidak diangkat. Ia mencoba untuk terus menghubungi Helmi, tetapi pria tersebut tetap tidak menjawab panggilannya. Gita menelusuri kontak dan melihat nama Dimas tertera di sana. Sempat ragu sejenak sebelum ia menekan lambang telepon di layar ponselnya.
Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.
Kali ini ia mencoba menghubungi teman-temannya, Olivia, Trisha, dan Lila. “Please, siapapun angkat.”
Tidak lama setelahnya, terdengar suara Trisha dari balik ponsel milik Gita. “Halo, Git? Kenapa? Haloo?” Belum sempat Gita menjawab, seketika suara Trisha menyambar pendengarannya. “Yaa... yaa.. tunggu sebentar ya, bu. Git? Chat aja ya kalo ada apa-apa, gue lagi di toko kue nyokap, lagi banyak pelanggan. Bye.”
Gerakannya sudah tak selincah biasanya. Otaknya tidak bisa berpikir jernih lagi. Gita hanya duduk tak berdaya di atas kloset. Satu nomor terakhir yang menjadi harapannya.
“Halo, Git?” Suara rendah milik Brian memasuki rungu perempuan yang menghubunginya. Gita memberikan seulas senyum mendengar seseorang menjawab panggilannya.
“Git...? Lo kenapa? Git... jaw—”
“Tolong.” Kata terakhir yang bisa dikeluarkan dari mulut perempuan itu sebelum ia kehilangan kesadarannya.