buttwerflies

Bowie Ong 王保为 · Jay Chou 周杰伦 - 雨下一整晚 Rain Whole Night (Acoustic Guitar Instrumental Cover)

in the crowd, millions of people gathered around but all I see was you I knew that pink looks good on you girl in pink I love it

lies lies lies semua yang kamu lihat selama ini derap deru gemuruh pikiranku kacau

benar kata orang, tiada yang menyakitiku, aku sakit karena harapanku sendiri, dikuatkan oleh angan-angan, dijatuhkan oleh kenyataan

aku pikir kita saling mencintai namun, itu semua hanya berlaku di otakku tidak di kehidupan nyata she loves me (not) she loves me (not)

living in a dream never expected this painful losing someone that really important to me just to make everyone happy

hurt her, you hurt me we live in the same body but how can we now be separated? oh I just woke up from my dream

aku kira kita saling ingin berbagi kasih namun, itu semua hanya berlaku di anganku tidak di kehidupan nyata she loves me (not) she loves me (not)

how can loving someone make me this suffocated? I can't choose night or day both are something you really need in life

(say goodbye, bye, my pinky girl) (say goodbye, bye, my favorite girl)

Tubuh Andini terasa kaku, deraian air mata mulai membasahi selimut yang menutupi sebagian besar wajah indahnya. Tiap detik alunan musik yang menari-nari di rungu gadis itu membuat dadanya bagai ditindih batu. Lagu yang diputarnya berkali-kali seakan membawakan pesan tersirat yang dikirimkan dari lelaki kesukaannya. Katakan saja Andini terlalu percaya diri saat itu, ia tidak peduli. Yang ia pedulikan saat ini, bagaimana caranya ia bisa membalas pesan tersebut?

Mata Andini yang sembab masih dapat menangkap pemandangan di depannya. Kedua temannya terpatung sama seperti dirinya saat ini. Tiada sepatah yang keluar dari mulut Risa maupun Talita. Tidak lama kemudian, mereka berdua beranjak mendekati sahabatnya yang kini tengah tenggelam di balik kain tebal berwarna putih.

“Girl on pink, huh?” ucap Risa sembari mengusap rambut panjang Andini.“I think it's you, at the concert, remember?” sambungnya.

Andini tidak menjawab, ia semakin membenamkan wajahnya. Semakin dipikir, semakin rindu dirinya kepada mantan kekasih yang selama ini selalu memiliki ruang khusus di hati gadis itu. Andini ingat sekali saat mereka berdua masih bersama, Ezra selalu membujuk dirinya untuk mengenakan pakaian berwarna pink. Namun, Andini selalu menolak. Gadis itu selalu berkata bahwa pink tidak pernah cocok dengan dirinya. Padahal sudah berkali-kali Ezra mengatakan sebaliknya.

Suatu saat Ezra pernah memberikan Andini hadiah. Tentu saja Andini senang hingga dirinya menemukan tas dan sepatu berwarna merah muda di dalam box tersebut.

“Ayolah, An! Itu bagus banget, loh!” “Ih, Ezraaaa. Aku ga suka pink, aku takut pake warna ini.” “Sayang, liat aku sini. I know you have bad experience about this color in the past. Tapi, aku ga mau kamu jadi terperangkap gini. You used to like it very much. Jangan karena omongan orang-orang jahat yang buat kamu ga mau jadi diri kamu sendiri. Biarin aja mereka ngomong seenak jidat. Kamu cuma punya dua tangan untuk tutup telingamu dan melangkah tanpa memedulikan mereka.”

“Din? Are you okay?”

Andini buyar dari lamunannya, ia segera membalas pertanyaan Talita dengan anggukan.

“Udah, yuk, kita ramein lagunya Alister. Streaming yang banyak biar dia bisa menang, deh.”

“Hu-um.”

Andini dan Ezra saling menukar pandangan. Meja khusus yang dipesan oleh Ezra memiliki pemandangan yang memukaukan, tetapi kedua insan tersebut sibuk menatap satu sama lain. Ezra merasa sangat grogi melebihi saat ia harus berdiri di atas panggung dan disaksikan ribuan orang. Tangannya perlahan ia letakkan di atas punggung tangan Andini. Ia usap lembut sebelum benar-benar digenggamnya.

Sebelum Ezra melontarkan kalimat yang telah disusun sebelumnya, ia menarik napas dalam-dalam. “An, sebelumnya gue mau ngucap makasih buat lu udah mau kenal sama gue, mau nemenin gue dari gue bukan siapa-siapa, mau suport gue, dan mau ngeluangin waktu buat malem ini. Gue sangat amat bersyukur gue ke kafe itu dan bertemu sama lu. It was the best accident I've ever experienced in my life. Dengan hadirnya lu di kehidupan gue buat hidup gue berubah 180 derajat. Gue merasa jadi lebih hidup.” Ezra menghembuskan napas kasar. Bulir peluh kian menghiasi wajah tampannya.

Ezra memejamkan matanya sejenak untuk mengumpulkan ketenangan. “Maaf, gue pernah buat lu sedih. Gue ga bisa janji, tapi gue berusaha yang terbaik buat ga ngelakuin hal itu lagi. Gue suka—bukan, gue cinta sama lu, An. So—.” Ezra belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba cahaya dari ratusan drone mengalihkan pandangan Andini.

Ratusan drone tersebut terbang membentuk kalimat, “ANDINI, WOULD YOU BE MINE?”

Air mata mengalir di pipi Andini, bukan karena bahagia, tetapi karena ia sangat sedih. Hatinya sangat sakit melihat semua usaha yang telah Ezra lakukan untuk mendapatkan hatinya. Tangisannya semakin terdengar jelas ketika Ezra menanyakan jawabannya. Ezra mengambil sapu tangan dari sakunya dan menyeka buliran air yang turun dari mata gadis pujaannya.

“Zra,” panggil Andini dengan suara yang sedikit serak. Gadis itu memberanikan diri untuk mengeluarkan kata per kata yang sudah seharusnya ia katakan sejak awal. Kedua netra Andini menatap bola mata Ezra lekat. Tangannya mengepal untuk menahan seluruh rasa cemasnya. Dengan sekali napas, Andini menyelesaikan kalimatnya.

I'm so sorry. We are meant to meet, but not to be together.

Andini memaksakan melukis senyum manis di bibirnya. Sebelum ia meninggalkan Ezra sendiri di sana, ia berbisik, “Thank you, Zra. I wish you nothing but happiness.

Ezra melaju dengan kecepatan di atas batas normal. Pikirannya sangat kacau. Pasalnya dia baru saja melakukan kesalahan fatal yang membuat nama grupnya menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Memang saat di panggung, konsentrasi Ezra sudah buyar mengingat Andini dan ibunya saat ini. Lelaki itu sangat mengkhawatirkan sosok gadis yang biasa ia panggil Andi. Ia tidak sanggup apabila melihat gadis itu runtuh.

Sesampainya di rumah sakit, Ezra segera menuju ruangan di mana ibu Andini di rawat. Saat membuka pintu kamar, lelaki itu melihat Andini sedang meringis meratapi nasib perempuan paruh baya yang sedang terbaring lemah di atas ranjang. Tidak sampai hati Ezra melihat pemandangan itu. Hatinya seperti ditusuk oleh tombak. Tangannya lemas seperti orang yang belum makan satu bulan. Ini kedua kalinya ia menyaksikan air mata Andini mengalir di wajah cantiknya.

Ezra memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan. Ia melangkahkan kakinya perlahan sampai akhirnya dirinya berada tepat di samping Andini.

“An…”

Andini yang sadar akan kehadiran Ezra segera bangkit dari tempat duduknya. Ia memeluk erat tubuh Ezra, membiarkan baju lelaki itu basah karena air matanya.

“An… it’s okay. Gue di sini sekarang. Lu boleh bagi rasa sedih lu sama gue, ya? Gue yakin ibu bakal segera sadar,” ucap Ezra pelan sembari mengelus punggung Andini lembut.

“Gue takut, Zra. Gue ga mau ibu kenapa-napa.” Andini mengeratkan pelukannya. Ezra bisa merasakan ketakutan yang dirasakan Andini. Tubuh gadis itu bergetar. Tangannya meremas bagian punggung jaket milik Ezra. Saat itu, Ezra hanya bisa menenangkan Andini sebisa mungkin. Pikirannya terfokus hanya untuk gadis itu. Seakan-akan dunianya berputar mengelilingi Andini.

Sinar matahari mulai mengintip melalui gorden abu-abu yang menutupi jendela kamar Andini. Burung-burung di luar pun mulai bersahut-sahutan. Gadis yang memiliki netra seindah permata itu mulai mengumpulkan kesadarannya. Tangan kanan gadis itu mengusap-usap kedua mata, sementara tangan kirinya bebas meregangkan otot tubuhnya.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Andini beranjak dari tempat tidurnya. Bukannya menuju kamar mandi melainkan langkah kakinya menuju meja tempat ponselnya berada. Senyumnya merekah begitu melihat nama Ezra muncul di layar ponselnya.

Selamat pagi, princess. Gimana tidurnya? Semoga nyenyak ya! Hari ini kita pergi bareng lagi kaya dulu hehe. Jujur gue deg-degan. Rasanya kaya mimpi. Kalo bener ini mimpi, tolong jangan dibangunin ya. Gue ga mau bangun dari mimpi indah ini. See you soon, cantik

Andini dibuat salah tingkah di pagi hari oleh lelaki bernama Ezra. Kedua ujung bibirnya tidak bisa berhenti tertarik sampai ke ujung wajah. Ia menjatuhkan dirinya kembali ke kasur, kepalanya ditenggelamkan di dalam bantal yang sudah dirapikan. Sebelum membalas pesan dari Ezra, Andini mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.

Sembari menunggu balasan dari Ezra, Andini segera mandi dan bersiap-siap untuk pergi bersama Ezra. Gadis itu mengenakan baju terbaiknya dan berdandan semenarik mungkin. Ia ingin terlihat cantik hari ini. Setidaknya di mata Ezra.

“Nakk! Ini udah ditungguin Ezra,” teriak ibu Andini dari bawah.

Andini segera menuju lantai bawah dan menemui Ezra. Tidak bisa dipungkiri, Ezra terlihat sangat menawan. Dengan jaket denim dipadukan dengan kaus putih dan celana jeans panjang navy membuat aura Ezra semakin kuat. Keduanya saling menatap terkesima. Ezra merasa sangat bersyukur bisa mengenal sosok bernama Andini. Andai Andini tahu, Ezra tidak bisa tidur sejak semalam memikirkan hari ini. Debaran jantungnya pun tidak beraturan, semakin cepat ketika melihat paras Andini yang rupawan.

“Yuk?” ajak Ezra lembut sembari menawarkan tangannya kepada Andini.

Andini tersenyum sembari menyambar tangan Ezra tanpa ragu. “Yuk”

Andini yang baru saja keluar dari kamarnya dikejutkan oleh gelak tawa riang dari ruang tamu. Gadis itu mempercepat langkah kakinya—tak sabar melihat apa yang sedang terjadi. Langkahnya terhenti ketika melihat kedua orang tuanya serta Liam sedang bersenda gurau bersama Ezra. Tanpa disadari, sebuah senyum terukir di wajah cantik gadis itu. Jika diingat-ingat Ezra memang sangat dekat dengan keluarganya, bahkan ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungannya, Ezra terkadang masih bertukar kabar dengan orang tuanya serta Liam.

“Ngobrolin apa, sih? Kayanya seru banget,” seru Andini sembari menghampiri Ezra.

“Eh, pemeran utamanya dateng,” sahut Ibu Andini.

“Noona, liat deh! Dikasih pc Winter.” Liam menyeringai sembari menunjukkan semua photocard yang baru saja ia terima dari Ezra.

“Kamu kok dandan lama banget, sih? Kasian tuh si Ezra nunggu lama,” ucap Ayah Andini sembari mengangkat dagunya ke arah Ezra.

“Gapapa kok, Yah. Liat tuh si Andini kan sekarang jadi cantik banget, walaupun udah dari lahir cantik sih,” gombal Ezra sembari tersenyum bangga melihat betapa cantiknya penampilan Andini saat ini.

Andini tidak heran perihal Ezra memanggil orang tuanya “Ayah” dan “Ibu” karena memang orang tuanya yang menyuruh Ezra untuk seperti itu. Yang ia heran adalah keluarganya lebih dekat dengan Ezra daripada dirinya.

“Aku sama Andini berangkat dulu ya, Yah, Bu.”

“Pamit dulu, Yah, Bu, Dek.”

Sebelum Ezra dan Andini pergi, tak lupa mereka mencium kedua tangan orang tua Andini.

Bro, gue pergi dulu, ya.” Ezra mengadukan kepalan tangannya dengan Liam.


Sebelum Ezra turun dari mobil, ia mengenakan masker dan topi untuk melindung wajahnya supaya tidak dikenali orang-orang di sana. Andini melirik sekilas sembari terkekeh. “Duh, susah banget, ya, jadi orang terkenal.”

Ezra membalas ucapan Andini dengan tawa kecil. “Tunggu dulu, An.”

“Kenapa?”

Lelaki itu tidak menjawab, ia segera turun dari mobil dan pergi ke arah Andini. Ezra membukakan pintu Andini dan membantu gadis itu turun dari mobil.

“Ya ampun, Zra. Kirain apa. Thanks ya, gentleman,” ledek Andini.

Keduanya berjalan dengan tangan—yang sesekali—bersentuhan satu sama lain. Ingin sekali rasanya Ezra menggenggam tangan Andini saat itu, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko jika Andini tidak nyaman atau jika ada penggemarnya yang menyadari kehadirannya.

“Zra, liat deh. Lagu lu diputer di toko itu. Cari sepatunya di situ aja, yuk.”

Ezra meratapi punggung Andini yang berjalan menjauhi dirinya. Melihat Andini bersemangat dan bahagia cukup menghangatkan hati Ezra yang sudah lama beku tanpa kehadiran gadis itu di sisinya. Kini Ezra berjanji untuk tidak akan membuat kesalahan seperti dahulu dan akan selalu membuat gadis itu bahagia.

Seusai Andini membaca pesan dari Ezra, ia segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

“Selamat datang, Kak. Kakak order special treatment ya?”

Gadis yang terlihat masih sangat muda yang sejak tadi menjadi lawan bicara Andini hanya mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk, enggan untuk menatap bola mata Andini.

“Ehm... Kak? A-aku ga patah hati ma-masalah percintaan, tetep boleh ga?” tanyanya dengan terbata-bata

“Boleh donggg. Mind to share your story? Siapa tau aku bisa bantu ringanin beban di pundakmu.”

Selama gadis yang biasa disapa Salma itu bercerita, Andini tetap fokus dengan pekerjaannya sembari mendengarkan keluh kesah Salma. Sesekali Andini menenangkan gadis itu sembari menepuk punggungnya lembut.

“Jadi, kamu sekarang kabur dari rumah?”

“Iya, Kak. Aku sakit hati banget sama papaku yang dengan entengnya ngatain aku di depan umum. Dia bilang ngelukis tuh buang-buang uang aja. Padahal aku selama ini beli alat-alat lukis pake uangku sendiri. Emang saat ini aku belum bisa menghasilkan uang yang banyak dari melukis, cuma aku udah pernah beberapa kali menang lomba gitu kak. Aku bahkan dikatain ga punya masa depan karena mau jadi pelukis.” Salma terisak menatap wallpaper ponselnya yang merupakan lukisan karya Henri Matisse yang selama ini menjadi panutannya. Air matanya membasahi layar gawainya itu. Andini yang menyadari hal tersebut segera memberikan pelukan hangatnya.

“Hey. Look at me.” Andini menatap netra hitam legam milik Salma sambil memegang kedua pundak gadis itu. “Kamu tau ga? Matisse sebelum jadi pelukis terkenal, dia juga pernah ditentang sama ayahnya loh. Awalnya ayahnya emang marah banget, tapi lama kelamaan ayahnya ngedukung dia. In my humble opinion, emang pasti ayahmu kaget banget anaknya mau jadi pelukis. Apalagi di negeri ini masih melekat banget stigma kalo seniman itu pekerjaan ga jelas dan ga mapan. Lambat laun aku yakin ayah kamu ngedukung kamu walau ga ditunjukin secara terang-terangan. Apapun cita-citamu, selama kamu yakin aku percaya kamu bakal sukses. Kamu tuh hebat banget loh udah berani bercita-cita. Anyway selamat ya kamu berhasil menangin lomba-lomba melukis. Pasti karyamu bagus banget deh. Jadi pengen liat lukisanmu.”

“Kak...” Tangis Salma pecah seketika. Hatinya terasa lega, secercah harapan akan masa depannya muncul. Beban yang selama ini ia pikul sendiri terangkat satu per satu. Sudah lama dirinya ingin mendengarkan kalimat tersebut. Kalimat singkat yang mungkin enteng di mata orang lain, namun memiliki makna yang mendalam dan menjadi sumber kekuatannya untuk bertahan.

“Yeayy finally udah sampeee.”

“An.”

“Iya?”

“Hmm gapapa hehe.”

“Apa, sih?”

“Gapapa dibilang. Udah sana masuk.”

“Okay, thanks ya. Hati-hati di jalan.”

“Loh kok ga balik?”

“Lu masuk dulu aja, nanti gue baru balik.”

“Oh my gosh. Okay. Bye.”

Andini menyesap cairan berwarna coklat yang mengepulkan asap di udara. Pandangannya diarahkan ke jendela yang menampilkan jalanan ibu kota yang padat kendaraan. Sesekali ia melihat jam tangan, seperti sedang menanti kehadiran seseorang. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang gadis itu sesuaikan dengan alunan musik yang mengisi rungu Andini.

“Apa dia ga dateng, ya?”

Sudah hampir dua jam Andini duduk dengan penuh harap di kafe tempat pertama kali dirinya bertemu dengan sosok yang dinanti. Wajah Andini mulai terlihat lesu. Kegelisahan mulai menghujam dirinya. Sudah berapa banyak lagu yang ia dengarkan dengan Airpods.

“Liat aja lo, ga gua maafin buat gue nunggu lama banget.”

Kini ia membereskan barang-barang yang berhamburan di atas meja. Saat gadis itu tengah sibuk dengan seluruh barangnya, tiba-tiba saja ada seseorang yang melepaskan Airpods yang ia kenakan di telinga kanannya.

“Lagi denger lagu apa, sih?”

Andini refleks menoleh ke arah sebelah kanannya. Pupil matanya membesar saat mendapati pelaku yang mengambil paksa Airpodsnya. Gadis itu tidak bisa mengontrol debaran jantungnya yang makin cepat. Sial, hanya melihat kehadiran Ezra, seluruh kekesalan Andini lenyap seperti dibawa angin topan.

“Oh. Lagu gue.” Ezra yang sedari tadi memasangkan Airpods Andini ke telinganya, kini menyeringai. Kepalanya menunduk ke bawah untuk menutupi ekspresi senangnya. Lelaki itu mengangkat kepalanya lalu melepaskan topi yang ia kenakan.

Andini merengus. Dengan tangannya yang disilangkan ke dada, Andini memutar bola matanya. Ia memajukan bibirnya dan menggerutu pelan. Ezra dibuat gemas melihat kelakuan gadis tersebut. Lelaki itu terkekeh sembari mengacak-acak rambut Andini.

“Kenapa, sih? Cemberut gitu?”

“Ya, lu liat aja sekarang udah jam be—”

Tidak sempat Andini melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba Ezra menarik Andini masuk ke dalam dekapannya. Andini terkejut akan tindakan tanpa aba-aba itu. Ia merasakan kehangatan Ezra menyaluri tubuhnya.

“Maaf, ya, udah buat lu nunggu kelamaan. Tadi ada manajer mau ngomongin acara musik buat bulan depan, makanya gue ga bisa langsung berangkat.”

Ezra membelai lembut kepala Andini. Rasanya lelaki itu ingin menyerap semua kekesalan yang dibuatnya. Setelah dirasa Andini sudah mulai tenang, Ezra melepaskan dekapannya. Tangan lelaki itu menggenggam kedua tangan gadis di hadapannya.

“Zra... sorry gue sama Kak Gio—”

Ezra menggelengkan kepalanya, ia mencoba menghentikan perkataan Andini. “No no no, ga perlu minta maaf. Toh lu ga salah. Gue udah diceritain semuanya sama Bang Gio. Dia bener-bener cerita dari awal sampe akhir.” Ezra memberi jeda sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “gue malah berterima kasih banget sama lu. Lu udah mau bantuin Bang Gio. Gue aja yang temen deketnya ga tau apa-apa masalah dia, tapi lu tau. Cewe gue hebat banget sih.”

“Hah?” Andini segera melepaskan genggaman Ezra setelah mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan lelaki itu. Ezra tertawa jahil sambil menatap Andini.

“Kenapa? Oh... soon ya?”

Andini memukul pelan lengan Ezra. “Ih.. Ezra... apaan sih!”

Andini menyesap cairan berwarna coklat yang mengepulkan asap di udara. Pandangannya diarahkan ke jendela yang menampilkan jalanan ibu kota yang padat kendaraan. Sesekali ia melihat jam tangan, seperti sedang menanti kehadiran seseorang. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang gadis itu sesuaikan dengan alunan musik yang mengisi rungu Andini.

“Apa dia ga dateng, ya?”

Sudah hampir dua jam Andini duduk dengan penuh harap di kafe tempat pertama kali dirinya bertemu dengan sosok yang dinanti. Wajah Andini mulai terlihat lesu. Kegelisahan mulai menghujam dirinya. Sudah berapa banyak lagu yang ia dengarkan dengan Airpods.

“Liat aja lo, ga gua maafin buat gue nunggu lama banget.”

Kini ia membereskan barang-barang yang ia hamburkan di atas meja. Saat gadis itu tengah sibuk dengan seluruh barangnya, tiba-tiba saja ada seseorang yang melepaskan Airpods yang ia kenakan di telinga kanannya.

“Lagi denger lagu apa, sih?”

Andini refleks menoleh ke arah sebelah kanannya. Pupil matanya membesar saat mendapati pelaku yang mengambil paksa Airpodsnya. Gadis itu tidak bisa mengontrol debaran jantungnya yang makin cepat. Sial, hanya melihat kehadiran Ezra, seluruh kekesalan Andini lenyap seperti dibawa angin topan.

“Oh. Lagu gue.” Ezra yang sedari tadi memasangkan Airpods Andini ke telinganya, kini menyeringai. Kepalanya menunduk ke bawah untuk menutupi ekspresi senangnya. Lelaki itu mengangkat kepalanya lalu melepaskan topi yang ia kenakan.

Andini merengus. Dengan tangannya yang disilangkan ke dada, Andini memutar bola matanya. Ia memajukan bibirnya dan menggerutu pelan. Ezra dibuat gemas melihat kelakuan gadis tersebut. Lelaki itu terkekeh sembari mengacak-acak rambut Andini.

“Kenapa, sih? Cemberut gitu?”

“Ya, lu liat aja sekarang udah jam be—”

Tidak sempat Andini melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba Ezra menarik Andini masuk ke dalam dekapannya. Andini terkejut akan tindakan tanpa aba-aba itu. Ia merasakan kehangatan Ezra menyaluri tubuhnya.

“Maaf, ya, udah buat lu nunggu kelamaan. Tadi ada manajer mau ngomongin acara musik buat bulan depan, makanya gue ga bisa langsung berangkat.”

Ezra membelai lembut kepala Andini. Rasanya lelaki itu ingin menyerap semua kekesalan yang dibuatnya. Setelah dirasa Andini sudah mulai tenang, Ezra melepaskan dekapannya, tetapi tangan lelaki itu menggenggam kedua tangan gadis di hadapannya.

“Zra... sorry gue sama Kak Gio—”

Ezra menggelengkan kepalanya, ia mencoba menghentikan perkataan Andini. “No no no ga perlu minta maaf. Toh lu ga salah. Gue udah diceritain semuanya sama Bang Gio. Dia bener-bener cerita dari awal sampe akhir.” Ezra memberi jeda sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “gue malah berterima kasih banget sama lu. Lu udah mau bantuin Bang Gio. Gue aja yang temen deketnya ga tau apa-apa masalah dia, tapi lu tau. Cewe gue hebat banget sih.”

“Hah?” Andini segera melepaskan genggaman Ezra. Lelaki itu tertawa jahil sambil menatap Andini.

“Kenapa? Oh... soon ya?”

Andini memukul pelan lengan Ezra. “Ih.. Ezra... apaan sih!”

Musik Indie Indonesia · Nadir – Fiersa Besari

Play this song while reading this chapter

Andini baru saja meletakkan tasnya di atas meja. Ia menghembuskan napasnya berat. Setiap hari terasa seperti nano nano, rame rasanya. Setiap hari selalu ada cerita baru dari pelanggannya.

Andini menatap lurus ke arah cermin di hadapannya, meratapi betapa lusuhnya ia hari itu. Lingkaran hitam yang mengelilingi bola mata indahnya itu semakin terlihat jelas. Semalam gadis itu tidak bisa tidur. Pikirannya dihantui oleh rasa bersalah dan menyesal. Sial, lagi-lagi Ezra menjadi pelaku yang membuat dirinya merasa kebingungan untuk melangkah.

Jari-jari lentiknya menuju ke arah pita berukuran sedang yang terikat di dadanya. Ia merapikan letak pita tersebut supaya terlihat lurus.

Tiba-tiba saja ingatan perihal Ezra masuk tanpa izin di dalam pikirannya.

An, you know that I will always be here. Whenever you change your mind, don’t ever hesitate to run to me. Whenever you feel empty, I will accompany you and fill your day with happiness. When there’s nobody be by your side, I’ll be the man who’s standing alone just for you. It’s not a hogwash. Trust me this time. I really mean it.

Berkali-kali Andini menepuk pipinya untuk menyadarkan dirinya yang masih terasa setengah sadar—selama ini ia merasakan sedang bermimpi.

“Kak, ada yang dateng, tuh.”

Pandangannya beralih ke arah Kesha—salah satu karyawan salonnya. Andini mengangkat alisnya sebelah. Salonnya baru saja tutup, tetapi mengapa ada yang datang?

“Siapa?”

“Biasa, Kak. Si mas mas ganteng itu.”

“Oh, oke. Makasih, ya.”

Sebelum Andini meninggalkan ruangan itu, ia membenarkan pakaiannya dan juga merapikan rambutnya terlebih dahulu. Gadis yang memiliki iris hitam kecoklatan itu menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman. Sekali, dua kali, ia melatih senyumannya di depan cermin. Setelah Andini merasa sudah siap, ia segera melangkah keluar.

“Hai, Kak!”

Are you ready? Yuk!” ucap pria yang biasa disapa Gio. Tanpa aba-aba, lengan pria itu merangkul bahu Andini.

Dari luar bangunan yang bertulisan “Plus Heureux” tampak 2 pasang mata mengintai kedua insan yang baru saja keluar dari bangunan tersebut. Setelah melihat Gio dan Andini memasuki mobil dan melaju ke arah selatan, Ezra hanya bisa tersenyum masam. Air mukanya terlihat hampa namun tidak bisa berbuat apa-apa.

“Ster, udah, yuk? Mending kita ke tempat lain aja.”

Ezra hanya mengangguk sebagai tanda setuju atas ajakan Vano.

Maybe I’m not as good as him. You deserve better, An.