Girl in Pink
in the crowd, millions of people gathered around but all I see was you I knew that pink looks good on you girl in pink I love it
lies lies lies semua yang kamu lihat selama ini derap deru gemuruh pikiranku kacau
benar kata orang, tiada yang menyakitiku, aku sakit karena harapanku sendiri, dikuatkan oleh angan-angan, dijatuhkan oleh kenyataan
aku pikir kita saling mencintai namun, itu semua hanya berlaku di otakku tidak di kehidupan nyata she loves me (not) she loves me (not)
living in a dream never expected this painful losing someone that really important to me just to make everyone happy
hurt her, you hurt me we live in the same body but how can we now be separated? oh I just woke up from my dream
aku kira kita saling ingin berbagi kasih namun, itu semua hanya berlaku di anganku tidak di kehidupan nyata she loves me (not) she loves me (not)
how can loving someone make me this suffocated? I can't choose night or day both are something you really need in life
(say goodbye, bye, my pinky girl) (say goodbye, bye, my favorite girl)
Tubuh Andini terasa kaku, deraian air mata mulai membasahi selimut yang menutupi sebagian besar wajah indahnya. Tiap detik alunan musik yang menari-nari di rungu gadis itu membuat dadanya bagai ditindih batu. Lagu yang diputarnya berkali-kali seakan membawakan pesan tersirat yang dikirimkan dari lelaki kesukaannya. Katakan saja Andini terlalu percaya diri saat itu, ia tidak peduli. Yang ia pedulikan saat ini, bagaimana caranya ia bisa membalas pesan tersebut?
Mata Andini yang sembab masih dapat menangkap pemandangan di depannya. Kedua temannya terpatung sama seperti dirinya saat ini. Tiada sepatah yang keluar dari mulut Risa maupun Talita. Tidak lama kemudian, mereka berdua beranjak mendekati sahabatnya yang kini tengah tenggelam di balik kain tebal berwarna putih.
“Girl on pink, huh?” ucap Risa sembari mengusap rambut panjang Andini.“I think it's you, at the concert, remember?” sambungnya.
Andini tidak menjawab, ia semakin membenamkan wajahnya. Semakin dipikir, semakin rindu dirinya kepada mantan kekasih yang selama ini selalu memiliki ruang khusus di hati gadis itu. Andini ingat sekali saat mereka berdua masih bersama, Ezra selalu membujuk dirinya untuk mengenakan pakaian berwarna pink. Namun, Andini selalu menolak. Gadis itu selalu berkata bahwa pink tidak pernah cocok dengan dirinya. Padahal sudah berkali-kali Ezra mengatakan sebaliknya.
Suatu saat Ezra pernah memberikan Andini hadiah. Tentu saja Andini senang hingga dirinya menemukan tas dan sepatu berwarna merah muda di dalam box tersebut.
“Ayolah, An! Itu bagus banget, loh!” “Ih, Ezraaaa. Aku ga suka pink, aku takut pake warna ini.” “Sayang, liat aku sini. I know you have bad experience about this color in the past. Tapi, aku ga mau kamu jadi terperangkap gini. You used to like it very much. Jangan karena omongan orang-orang jahat yang buat kamu ga mau jadi diri kamu sendiri. Biarin aja mereka ngomong seenak jidat. Kamu cuma punya dua tangan untuk tutup telingamu dan melangkah tanpa memedulikan mereka.”
“Din? Are you okay?”
Andini buyar dari lamunannya, ia segera membalas pertanyaan Talita dengan anggukan.
“Udah, yuk, kita ramein lagunya Alister. Streaming yang banyak biar dia bisa menang, deh.”
“Hu-um.”
