The Truth Untold

Andini menghentikan langkahnya di depan gerbang yang menjulang tinggi nan besar seperti hendak melahapnya. Rumah berwarna putih dan emas yang terasa familiar bagi gadis itu. Tangan Andini mulai bergerilya mencari ponselnya di dalam tas.

“Zra, gue udah di depan rumah lo.”

Tak lama gerbang raksasa di hadapannya terbuka secara otomatis. Terlihat batang hidung pria yang selama ini membuat dadanya sesak.

“Sini masuk.”


Andini mengeluarkan seluruh alat yang diperlukan untuk memulai perawatan rambut mantan kekasihnya itu. Ruangan yang besar saat itu terasa kosong dan hening. Terasa suasana canggung menyelimuti mereka berdua.

“Zra.”

“An.”

Ucap mereka bersamaan.

“Eh, lu aja duluan, An.”

Nope, you go first, as a customer, so I should listen to you well.

Ezra terkekeh. “Profesional banget, ya?”

“Yaudah deh gue duluan yang ngomong, ya?”

Okay, I’m all ears. Ngomong aja, ya, sambil gue warnain rambut lu.”

Ezra berdeham sebelum mulai berbicara.

“An, do you remember the day that I made your heart into pieces?

Terdapat jeda saat Ezra hendak menyampaikan hal tersebut.

I’m so sorry.” Suaranya berubah menjadi serak.

“Semua itu cuma salah paham. Maaf karena gue ceroboh. I was trying to explain it to you from that day but you never gave me a chance.

How’ve you been? Hopefully you’ve been well.

“Hm… kalo gue… suffering. Days without you feel like hell to me, if you ask.

“Gue harap lu ga menderita kaya gue, ya, An? Because I can’t bear with it. Gue ga sanggup liat lu sedih.”

You know, I always pray for you everyday. Wishing you nothing but the best. Kalo gue ga sengaja ngeliat lu lagi seneng, itu jadi energi buat gue meneruskan hari-hari gue yang berat. You mean a lot in my life.

Andini terpaku. Rasa sesak menggrogoti dadanya. Jika diingat-ingat, dirinya memang egois. Tak pernah sekalipun ia memahami perasaan lelaki itu. Ia sangat menyesal akan perbuatannya yang secara tidak langsung menghancurkan kebahagiaan lelaki itu.

“Zra…”

Belum sempat Andini menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Andini segera mengambil alat tersebut dan mendekatkan di telinganya.

“Halo, Kak Gio?”