buttwerflies

Setiap hari Brian selalu meluangkan waktunya untuk berkunjung ke rumah sakit. Ia tak pernah lupa untuk membawakan makanan karena Brian tahu kalau Gita tidak berani menginjakkan kakinya keluar dari ruang rawat Helmi dikarenakan untuk berjaga-jaga jika Helmi siuman atau membutuhkan sesuatu. Terkadang Brian juga membawakan pakaian milik ibunya untuk dipinjamkan ke Gita supaya gadis itu bisa berganti pakaian, tetapi Gita selalu menolak karena ia tidak ingin merepotkan ibu Brian dalam kehidupannya.

Gadis itu sangat khawatir mengenai adiknya, ia meninggalkan Helmi sendirian di ruangannya hanya jika ia ingin pergi ke toilet. Perempuan yang akrab dipanggil Gita ini bahkan lupa membawa pakaian untuk dirinya dan membawa perlengkapan lainnya. Handphone miliknya sudah kehabisan baterai sejak hari pertama ia menginap di sana. Selama ini ia hanya bisa berdoa supaya Helmi bisa sadarkan dirinya kembali dan bisa beraktivitas seperti dahulu kala.

Brian membuka pintu ruangan itu dengan perlahan, ia mendapati kedua kakak beradik itu sedang tertidur lelap. Dengan hati-hati Brian meletakkan makanan di atas nakas di samping ranjang. Tak jarang ia memerhatikan Gita yang selalu setia menemani adiknya itu. Di saat gadis itu sedang tertidur, Brian mencoba untuk menyingkap rambut yang menghalangi wajah cantik gadis itu dengan jarinya. Cantik. Sudah beribu kali Brian mengatakan itu dalam hatinya. Brian selalu teringat pada Reina tiap kali melihat gadis itu. Pasalnya kedua gadis itu memiliki bentuk wajah serta sifat yang hampir sama.

Ketika Brian hendak keluar dari ruangan tersebut, terdengar suara gumaman dari mulut Gita. Brian menoleh dan menghampiri gadis itu. “Dimas, gue kangen.” Ah, rupanya perempuan itu sedang mengigau. Setelah mendengar hal yang tidak ia harapkan keluar dari mulut Gita, lelaki itu mengambil selimut dan menutupi seluruh badan mungil milik Gita seraya berbisik ke telinga gadis itu, “Git, coba sekali aja lu liat ke arah gue.”

Sesampainya di rumah sakit, Gita dan Brian segera menuju kamar tempat di mana Helmi dirawat.

Ketika memasuki ruangan tersebut, tampak seorang anak laki-laki sepantaran Helmi sedang duduk di samping ranjang. Ia menoleh ke arah Gita dan Brian saat keduanya mendekat ke arahnya.

“Kak Gita? Sini duduk dulu,” Niko segera beranjak dari tempat duduknya.

“Oh iya makasih. Ngomong-ngomong Helmi kenapa bisa kaya gini, dah?”

Tak langsung menjawab, Niko bertukar pandangan dengan Brian sebagai isyarat untuk meminta izin untuk menceritakannya. Brian hanyak membalas tatapannya dan memberikan anggukan kecil.

“Jadi gini, kak. Helmi tadi chat katanya dia bosen di rumah sendirian. Terus gue ajak main ps, dia bilang bosen juga. Gue ajak ngejamming katanya males. Yaudah gue iseng-iseng aja ajak dia balapan. Nah si Helmi langsung ngeiyain tuh. Terus pas lagi balapan, musuhnya Helmi curang. Dia nendang motornya Helmi pas lagi belokan. Yaudah Helminya langsung jatoh dan ga sadarkan diri sampe sekarang.” Niko menelan ludahnya karena ia takut kalau Gita marah kepadanya.

“Loh? Helmi masih balapan?”

“Sebenernya udah engga lagi. Tapi gatau kenapa kemaren dia ngeiyain ajakan gue. Sorry banget ya, kak.”

“Bukan salah lo, kok. Si Helmi aja yang imannya ga kuat.”

Niko mengernyitkan dahinya, ia tidak paham dengan perkataan Gita barusan. “Hubungannya apa ya, kak?”

“Yaa… imannya ga kuat. Buktinya dia tergoda oleh ajakan setan.”

Awan mengapung bertebaran di langit yang sudah berwarna oranye. Semilir angin sore hari itu membuat bulu kuduk Dimas berdiri. Tawa kecil terdengar dari Gita, ia sedari tadi memerhatikan tingkah lelaki kekar di sampingnya.

“Kenapa ketawa?” tanya Dimas seraya menggesek-gesekkan kedua tangannya untuk menghangatkan diri. Dimas yang hanya mengenakan kaus putih tanpa lengan dengan knitted vest coklat di luarnya—terlihat kedinginan.

“Nih, pake blazer gue.” Dengan cepat Gita meletakkan blazernya ke tubuh Dimas.

“Ih, apaan sih, Git? Gue ga kedinginan, tuh?”

“Hahaha buktinya lu mengigil, tuh!”

“Ga, kok. Tadi digigit nyamuk doang. Gue gapapa, kok.”

Gita tahu betul bahwa Dimas tidak suka terlihat kesulitan di depannya. Seringkali lelaki ini menutup-nutupinya dengan beribu alasan. Padahal Gita menerima Dimas apa adanya, tetapi lelaki ini masih tidak berani menunjukkan kelemahannya. “Yaudah gapapa pake aja. Biar nyamuknya ga ganjen tuh deket-deket lu mulu.”

“Oh jadi lu cemburu sama nyamuk?” goda Dimas seraya mendekatkan wajahnya ke hadapan Gita.

“Apa, sih?” Gita yang terkejut mengetahui bahwa jarak wajahnya dengan Dimas hanyak beberapa senti—kini wajahnya memerah.

Dengan cepat Gita memalingkan wajahnya. “Udah, yuk, pulang. Udah sore, nih. Dingin juga, kan, lama-lama di sini.”

“Oke. Anything you want, princess.”

Sesampainya di taman, Gita berlari kecil kegirangan menyadari bahwa hari ini adalah hari yang akan menjadi hari bersejarah seumur hidupnya.

Embun di atas dedaunan, udara sejuk di pagi hari, pemandangan indah taman di tepi danau, piknik bersama pria kesukaannya. Paket komplit kebahagiaan Gita hari itu.

“Kita duduk di sini aja, ya?” tanya Dimas seraya membentangkan tikar lipat di atas rerumputan. Gita hanya mengangguk kecil sembari menaruh seluruh makanan dan perlengkapan lainnya di atas tikar.

“Git, liat sini deh.” Gita baru saja menolehkan kepalanya tiba-tiba saja muncul cahaya dari kamera pocket milik Dimas.

“Eh? Gue belom pose tau! Coba liat, pasti jelek banget.”

“Hahaha mana ada lu jelek, Git. Cantik, kok. Nih, liat aja kalo ga percaya.” Dimas mengulurkan tangannya yang menggenggam kamera pocket ke arah Gita. Gita yang melihat hasil jepretan Dimas tanpa sadar mengulaskan senyum manis di wajahnya.

“Hehehe iya bagus deh. Banget. Lo pernah belajar fotografi, ya?”

“Ga, sih. Cuma hobi foto-fotoin hal yang gue suka aja,” ungkap Dimas seraya membidikkan lensanya ke arah bunga clematis yang sedang bermekaran. Kemudian ia mengambil beberapa bunga berguguran yang masih terlihat bagus.

“Kok dipungutin, sih? Buat apa?”

“Masih cantik kok bunganya. Mau gue taro di scrapbook.”

“Lu punya scrapbook? Keren bangettt. Mau liat, dong.”

“Ga boleh.”

“Ih kok gitu?” tanya Gita memelas.

“Tunggu waktunya, ya.”

“Mmh. Okay. Sini duduk, Dim. Diri mulu lu daritadi kaya tamu.”

“Iya iya.”

KRINGG KRRINGG

Tepat pukul 5 pagi, suara dering jam waker Gita sudah memenuhi seluruh ruangan. Bunyi yang terdengar kencang itu membuat Gita membuka sedikit kelopak matanya. Dari balik selimut, tangan gadis itu bergerilya mencari sumber suara. Diraihnya jam beker yang terletak di atas nakas putih di samping tempat tidurnya, ia mematikan sumber suara yang menggema di liang telinganya. Masih dalam posisi setengah mengantuk, Gita mencoba melawan rasa malasnya untuk bangun dari tempat tidur. Ia segera membuka gawai miliknya. Tertera sebuah notifikasi di balik layarnya.

“Selamat pagi, Git. See you very soon, ya.” Kalimat singkat tetapi dapat mengukir senyum manis di wajah Gita. Setelah membalas pesan dari Dimas, ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Diambilnya blouse putih gading andalannya dipadukan dengan blazer berwarna beige yang membuat kesan nyaman dan rapih, serta dikenakannya celana tailored cut berwarna khaki yang menambah kesan semi formal. Kali ini Gita tidak mencatok rambutnya, ia membiarkan rambutnya bergelombang di bagian bawah supaya tidak memberikan kesan kaku pada dirinya. Tak lupa Gita menyemprotkan parfume kesukaannya yang beraroma bunga moringa. Setelah semua telah siap, gadis itu meletakkan kunciran di pergelangan tangannya untuk persiapan jika ia ingin mengikat rambutnya nanti.

Gita segera keluar dari kamarnya dan menuju dapur untuk memasak makanan yang akan ia bawa nanti. Satu per satu anak tangga ia lalui, sesampainya di lantai dasar Gita menggumam sendiri, “Duh kenapa gue ga masak dulu baru siap-siap, ya? Kalo kaya gini nanti pakaian gue bisa kotor.” Setelah penyesalannya berlangsung selama beberapa menit, Gita memutuskan untuk melepaskan blazernya saja dan menggunakan apron untuk melindungi pakaiannya.

Dapur rumah Gita bak kapal pecah setelah ia jajah untuk memasak makanan spesial pikniknya itu. Seluruh permukaan meja dapur tertutup oleh tepung terigu yang ia gunakan untuk membuat kue untuk piknik pertamanya nanti. Hatinya terasa berbunga-bunga ketika mengingat bahwa dirinya akan pergi piknik bersama orang yang berhasil mengisi tempat di relung hatinya. Dengan bantuan tutorial dari Youtube, kini gadis itu telah menyelesaikan tugasnya—memasak berbagai makanan yang ia anggap lezat.

Tidak lama setelah ia berhasil memasukkan seluruh makanannya ke dalam keranjang piknik, bel rumah pun berdering menandakan kehadiran tamu di depan rumahnya.

“Haloo,” sapa si pemilik rumah. “Hai, Git. Wow… itu di muka lu—“ ucap Dimas terhenti ketika ia melihat ada noda tepung yang mengotori wajah cantik wanita di hadapannya.

“Kenapa muka gue?”

“Sorry, ya,” ujar Dimas sembari mengusapkan ibu jarinya ke pipi Gita untuk membersihkan wajah wanita itu. Walau hanya sepersekian detik tindakan Dimas barusan berhasil membuat jantung Gita berdetak tidak karuan.

“Oh—hehehe makasih, Dim. Oh iya, ini semua makanan buat piknik nanti ya,” ucap Gita sambil menunjukkan keranjang pikniknya.

“Banyak banget, Git. Ini lu yang masak sendiri semuanya?”

“Iya dong. Ga lupa dengan bantuan guru gue.”

“Guru? Siapa?”

“Youtube hehe. Gue masak sambil liat tutorialnya di youtube biar ga salah bahan-bahannya.”

“Ya ampun haha. Yaudah, yuk, jalan.”

“Ayo.”

Sejuknya angin malam yang menerpa tubuh mungil Gita membuatnya merinding kedinginan. Dengan sigap Brian menghentikan motornya di pinggir jalan dan memberikan jaket yang ia kenakan kepada Gita.

“Ih, apaan sih lo? Gue kuat elah,” ujar Gita meyakinkan Brian.

“Kuat kuat apaan. Badan lu menggigil, tuh. Udah diem aja gausah banyak gerak,” balas Brian sembari mengenakan jaketnya ke wanita di hadapannya.

“Yuk, lanjut lagi, ya. Kalo lu liat ada abang cilor langsung kasih tau gue aja.”

Tanpa menunggu lebih lama lagi Brian langsung menaiki motornya disusul oleh Gita yang duduk di jok belakang motornya.

Suasana malam itu terasa berbeda dibanding malam-malam sebelumnya. Sebenarnya ini kali pertamanya Gita berkeliling kota Jakarta di malam hari menggunakan motor bersama seorang pria. Ia baru menyadari bahwa kota kelahirannya terlihat begitu indah di malam hari. Aroma blackberry berpadu dengan bay leaf dan cedarwood yang menguar dari tengkuk Brian akibat terbawa angin mulai memasuki indra penciuman Gita. Aroma yang bisa membuat gadis itu merasakan nyaman dan tenang ketika menghirupnya.

“Git, lu ga mau nyari yang lain? Sate padang gitu. Kita udah jalan kemana-mana juga ga nemu cilor,” protes Brian.

“Tapi gue lagi mau makan cilor, gimana dong?”

“Nyari di mana lagi, Git? Apa perlu gue bangunin abang cilornya?”

“Ih, dulu gue pernah beli cilor di deket pabrik tua gitu. Cuma rada angker dah.”

“Yaudah, deh, gapapa. Mau angker atau engga, yang penting dapet dulu cilornya. Lu arahin gue aja, ya.”

Setelah sampai di tempat yang Gita maksud, Brian sedikit terkejut dikarenakan tempat itu adalah tempat rahasia Brian dan Reina selama mereka berpacaran. Dahulu mereka selalu mampir ke pabrik tua yang sudah tidak terpakai lagi untuk berteduh di kala hujan. Walau sudah terlihat tua, tetapi bangunan pabrik tersebut dapat dibilang cukup menarik dan suasananya begitu sunyi sehingga membuat kedunya menjadikan pabrik itu sebagai tempat untuk menghindari ramainya kota. Di sana, Reina bisa sepuasnya mencurahkan isi hatinya kepada Brian, gadis itu bahkan seringkali menunjukkan kesedihannya tanpa takut ada yang melihatnya menangis. Brian selalu membawa gitar setiap mereka mengunjungi pabrik itu dan memainkan beberapa lagu kesukaan Reina untuk menghibur hatinya.

Setelah Reina telah tiada, Brian hanya mengunjungi pabrik itu sebulan sekali sambil membawa gitar kesayangannya. Ia selalu memainkan lagu kesukaan gadis itu tiap ia berkunjung di malam hari. Lagu yang mengingatkannya pada kenangan manis mereka berdua di kala bersama.

“Bri??? Halooo? Kok bengong? Lo bisa kesurupan setan musisi di sini,” ujar Gita sambil melambaikan tangannya ke depan wajah Brian.

“Hah? Setan musisi apaan, sih?”

“Dulu gue pernah jalan di sini sekitar jam 2 pagi, terus ada suara-suara orang main gitar gitu di dalem pabrik ini. Padahal di sini sepi banget ga ada orang. Kan serem banget. Gue samperin kan suaranya, tapi gue malah jatoh kesandung. Yaudah gue lari aja tuh, takut ketauan. Nanti yang ada gue bisa digentayangin selamanya.”

Brian tidak segera menjawabnya, ia mencoba mencerna tiap kata yang dilontarkan Gita. Ah—ia ingat kejadian yang barusan Gita ceritakan.

“Ternyata lu, toh…”

“Hah? Apaan?”

“Jam 2 pagi, ada orang ngintip di balik semak-semak terus abis itu jatoh, itu lu?”

“Jangan bilang lo pelakunya ya? Lo setan musisi yang gue maksud, kan?”

“Setan apaan, sih? Orang gue manusia.”

“Ya… lagian jam 2 pagi di tempat angker kaya gini lo ngapain malah main gitar. Aneh.”

“Lo yang aneh. Ngapain coba ngintip-ngintip, terus sekarang ngidam cilor. Coba mana abangnya?”

“Lah, waktu itu gue liat ada di sini…”

“Gue sering ke sini ga pernah liat ada tukang jualan, loh. Sama sekali.”

“Hah? Terus waktu itu gue liat apa…?”

DING DONG

Mendengar suara bel rumah berbunyi, Gita segera keluar menghampiri pagar rumahnya. Terlihat pria sedang bersandar di sebelah motor vespa merah, sedang menunggu kehadiran sang pemilik rumah.

“Mana cilornya?”

“Sini naik dulu, gue bawa 2 helm”

“Siapa coba yang mau jalan sama lu dih”

“Yaudah cilornya ga jadi”

“Aaah elah!”

Terlihat air mata yang mengaliri pipi merah gadis cantik yang sedang berada di dekapan Brian.

“Rei, are you serious?” Tanya Brian sambil menatap lekat mata hitam-kecoklatan sang kekasih.

“Ya, aku udah mikirin keputusanku dari jauh-jauh hari dan menurutku ini yang terbaik untuk kita.”

“We’ve been together for 3 years and we end up… just like this? Is it because of him? Dimas? What did he say to you?”

“Emang kita aja udah ga sejalan lagi, Bri! Aku merasa kita udah ga cocok. Akhir-akhir ini kita selalu berantem, apa kamu ga cape? Dimas selalu ada setiap aku sedih kalo lagi berantem sama kamu, dia selalu support aku in every way. Kita sampai di sini aja ya? Makasih buat 3 tahunnya. It’s been a roller coaster ride, Bri. Nice to know you,” ucap Reina sambil melangkah pergi dari Brian.

Asal Reina tahu, Dimas sudah mengaguminya sejak pertama kali mereka bertukar pandang tepatnya saat Brian dan Reina merayakan hari jadi mereka yang ke-2 tahun.

Sejak saat itu, Dimas selalu mencari celah untuk bisa merebut Reina dari Brian. Setiap Brian dan Reina adu argumen, Dimas selalu menghampiri Reina dan mendukungnya supaya gadis itu bisa merasakan kenyamanan di sisi sang adam.


6 bulan sudah Dimas dan Reina bersama, tanpa disadari Dimas sudah tidak memperlakukan Reina layaknya seorang pacar. Ia mulai berpaling ke perempuan lain yang menurutnya lebih menawan.

Di saat Reina sudah menjadikan Dimas sebagai rumahnya, di saat itu lah Dimas pergi meninggalkannya.

Kini perempuan malang itu sudah tidak memiliki tumpuan lagi. Orang tua, saudara, bahkan pacarnya meninggalkannya seorang diri. Ingin sekali ia kembali kepada Brian karena hanya Brian yang mengerti tentangnya dan ialah satu-satunya yang tidak pernah meninggalkannya. Reina tahu bahwa terkadang Brian masih sering menanyakan kabarnya melalui teman-temannya. Namun, Reina tidak memiliki keberanian untuk kembali kepada Brian karena pasalnya ialah yang telah memutuskan hubungannya.

Kain putih telah terikat di langit-langit kamar Reina, ia sudah menyerah pada hidupnya. Perempuan ini pun menggantungkan dirinya sampai pada akhirnya wajah gadis itu terlihat pucat tidak bernyawa lagi.

Setelah mendengar kabar duka dari Reina, Brian segera pergi ke rumah gadis itu dan memeluknya untuk terakhir kalinya. Di saat petugas memeriksa tempat kejadian, Brian menemukan selembar kertas yang berisi curahan hati Reina selama ini. Brian merasa sangat marah kepada sahabatnya, Dimas. Kini ia berjanji untuk melindungi siapapun yang ingin Dimas dekati supaya kejadian yang menimpa sang mantan kekasih tidak terulang kembali.

Pukul 2.30 siang, Gita sudah tiba di tempat di mana mereka berjanji untuk bertemu. Ia memang terbiasa untuk datang lebih awal untuk mengantisipasi adanya suatu hal yang tak terduga ketika di jalan.

KRINGG

Bunyi lonceng yang tergantung di depan pintu kafe menggema di telinga Gita. Ah—terlihat batang hidung sang adam yang menghubunginya malam itu.

“Loh? Itu sama siapa?” ucap Gita dalam hati. “ohhh...”

“Hi, Git. Udah nunggu lama ya? Sorry tadi agak macet di jalan” ucap pria yang mengenakan hoodie hitam di depannya sambil tersenyum.

“Hi, Dimas, ya? Ga kok, baru 5 menit hehehe,” jawabnya bohong supaya mereka tidak perlu merasa bersalah karena ia sudah menunggunya lebih dari setengah jam.

“Ini gue bareng Brian, gapapa kan?”

“Hi, Git. Gue join ya,” sapa Brian renyah.

Setelah Dimas memberikan kunciran milik Gita kepada sang pemiliknya, ketiga pemuda itu asik membicarakan segala hal mulai dari yang sepele hingga membicarakan hal serius.

Brian melihat ke arah jam tangannya. Dia sontak terkejut melihat jam sudah berada di angka 5 sore. Ia dan bandnya ada jadwal latihan sebentar lagi.

“Git, kita pamit dulu ya? Mau latihan,” ucap Brian.

“Eh? Jam berapa emang ini?” tanya Dimas sambil melirik ke arah jam tangannya. “Oh sh*t...” “Git, pamit dulu, ya!”

“Iyaa.... Hati-hati di jalan!”

“You too.”

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore hari. Gita selaku LO dari BLKM Band, segera mengarahkan mereka untuk naik ke atas panggung.

“Check check 1..2..3”

Rangga selaku vocalist, mulai mengeluarkan suara merdunya diiringi oleh alunan musik. Seluruh penonton dibuat takjub oleh penampilan mereka tak terkecuali para juri.

Setelah penampilan BLKM Band selesai, kini saatnya pengumuman hasil pemenang yang akan dibacakan oleh MC.

“Gimana nihh masih pada semangat gaaa?” tanya MC dengan semangat.

“masihhh!” sorak ramai penonton.

“Kita di sini mau ngumumin nih siapa sihh yang jadi pemenang Neo Music Culture tahun ini. Kira-kira ada yang udah tahu belom nihh siapaa?”

“Sevenity kakkkk!” “BLKM kakkk!” “WonderWhy kakkk!” “The 45Guy!” “Morty kkakk!” seluruh penonton meneriaki band jagoan mereka.

“Tanpa menunggu lebih lama, kita bacain aja kali ya untuk pemanangnya.”

Seketika semuanya terdiam, hati mereka satu persatu menyebutkan nama band yang tampil hari ini—menebak siapa pemenangnya.

“Untuk juara 3, jatuh kepadaaa....WonderWhy!”

“Juara ke 2 jatuh kepadaaa.... The 45Guy!”

“Dannn pengumuman yang paling ditunggu-tunggu nihhh. Untuk juara pertama... dimenangkan olehhh...” masih tersisa beberapa band yang belum dipanggil menjadi juara—masing-masing berharap bahwa merekalah pemenang lomba ini.

“…BLKM Band! Selamat kepada seluruh pemenang, diharapkan untuk naik ke atas panggung dan kita foto bersama.”


Ketika acara telah usai, Gita selaku LO dari pemenang tahun ini segera menghampiri BLKM Band untuk mengucapkan selamat dan berpamitan. Ia melangkahkan kakinya sedikit lebih cepat sambil mencoba untuk mengikat rambut panjangnya itu.

“Hi guysss. You did it. Keren banget sih kaliann,” Ucap Gita tersengal-sengal.

“Hahaha Git, tarik napas dulu coba. Sini minum dulu,” Balas Vikal sambil menyodorkan sebuah botol air mineral.

“Makasih ya Git,” Ujar Brian singkat.

Mendengar ucapan singkat Brian, Gita yang sedang minum mencoba untuk menganggukkan kepalanya sebagai balasan untuk Brian.

“Ohiya sebelum kita pamitan, gue minta maaf ya kalo selama ini gue jadi LO kalian masih kurang becus.”

Dimas yang sedari tadi diam, mecoba untuk bersuara, “Ga kok, malah lo ngebantu banget sampe tadi lo panas-panasan buat nyari pick gitar gue yang jatoh di parkiran.”

“Hehe itu udah jadi tanggung jawab gue buat ngurus kalian. Ohiya sebelum kalian pulang, cek lagi ya barang-barang kalian takutnya ada yang ketinggalan.”

“Oke udah semua diperiksa nih. Kita cabut dulu ya” ucap Rangga kemudian dia menjulurkan kepalan tangannya ke Gita.

“Eh?”

“fist bump dulu dong.”

“oh...” ucap Gita bingung

“bye!”

Setelah semuaya melakukan fist bump dengan Gita, mereka langsung melangkah pergi dari ruangan tersebut.