Night Riding

Sejuknya angin malam yang menerpa tubuh mungil Gita membuatnya merinding kedinginan. Dengan sigap Brian menghentikan motornya di pinggir jalan dan memberikan jaket yang ia kenakan kepada Gita.

“Ih, apaan sih lo? Gue kuat elah,” ujar Gita meyakinkan Brian.

“Kuat kuat apaan. Badan lu menggigil, tuh. Udah diem aja gausah banyak gerak,” balas Brian sembari mengenakan jaketnya ke wanita di hadapannya.

“Yuk, lanjut lagi, ya. Kalo lu liat ada abang cilor langsung kasih tau gue aja.”

Tanpa menunggu lebih lama lagi Brian langsung menaiki motornya disusul oleh Gita yang duduk di jok belakang motornya.

Suasana malam itu terasa berbeda dibanding malam-malam sebelumnya. Sebenarnya ini kali pertamanya Gita berkeliling kota Jakarta di malam hari menggunakan motor bersama seorang pria. Ia baru menyadari bahwa kota kelahirannya terlihat begitu indah di malam hari. Aroma blackberry berpadu dengan bay leaf dan cedarwood yang menguar dari tengkuk Brian akibat terbawa angin mulai memasuki indra penciuman Gita. Aroma yang bisa membuat gadis itu merasakan nyaman dan tenang ketika menghirupnya.

“Git, lu ga mau nyari yang lain? Sate padang gitu. Kita udah jalan kemana-mana juga ga nemu cilor,” protes Brian.

“Tapi gue lagi mau makan cilor, gimana dong?”

“Nyari di mana lagi, Git? Apa perlu gue bangunin abang cilornya?”

“Ih, dulu gue pernah beli cilor di deket pabrik tua gitu. Cuma rada angker dah.”

“Yaudah, deh, gapapa. Mau angker atau engga, yang penting dapet dulu cilornya. Lu arahin gue aja, ya.”

Setelah sampai di tempat yang Gita maksud, Brian sedikit terkejut dikarenakan tempat itu adalah tempat rahasia Brian dan Reina selama mereka berpacaran. Dahulu mereka selalu mampir ke pabrik tua yang sudah tidak terpakai lagi untuk berteduh di kala hujan. Walau sudah terlihat tua, tetapi bangunan pabrik tersebut dapat dibilang cukup menarik dan suasananya begitu sunyi sehingga membuat kedunya menjadikan pabrik itu sebagai tempat untuk menghindari ramainya kota. Di sana, Reina bisa sepuasnya mencurahkan isi hatinya kepada Brian, gadis itu bahkan seringkali menunjukkan kesedihannya tanpa takut ada yang melihatnya menangis. Brian selalu membawa gitar setiap mereka mengunjungi pabrik itu dan memainkan beberapa lagu kesukaan Reina untuk menghibur hatinya.

Setelah Reina telah tiada, Brian hanya mengunjungi pabrik itu sebulan sekali sambil membawa gitar kesayangannya. Ia selalu memainkan lagu kesukaan gadis itu tiap ia berkunjung di malam hari. Lagu yang mengingatkannya pada kenangan manis mereka berdua di kala bersama.

“Bri??? Halooo? Kok bengong? Lo bisa kesurupan setan musisi di sini,” ujar Gita sambil melambaikan tangannya ke depan wajah Brian.

“Hah? Setan musisi apaan, sih?”

“Dulu gue pernah jalan di sini sekitar jam 2 pagi, terus ada suara-suara orang main gitar gitu di dalem pabrik ini. Padahal di sini sepi banget ga ada orang. Kan serem banget. Gue samperin kan suaranya, tapi gue malah jatoh kesandung. Yaudah gue lari aja tuh, takut ketauan. Nanti yang ada gue bisa digentayangin selamanya.”

Brian tidak segera menjawabnya, ia mencoba mencerna tiap kata yang dilontarkan Gita. Ah—ia ingat kejadian yang barusan Gita ceritakan.

“Ternyata lu, toh…”

“Hah? Apaan?”

“Jam 2 pagi, ada orang ngintip di balik semak-semak terus abis itu jatoh, itu lu?”

“Jangan bilang lo pelakunya ya? Lo setan musisi yang gue maksud, kan?”

“Setan apaan, sih? Orang gue manusia.”

“Ya… lagian jam 2 pagi di tempat angker kaya gini lo ngapain malah main gitar. Aneh.”

“Lo yang aneh. Ngapain coba ngintip-ngintip, terus sekarang ngidam cilor. Coba mana abangnya?”

“Lah, waktu itu gue liat ada di sini…”

“Gue sering ke sini ga pernah liat ada tukang jualan, loh. Sama sekali.”

“Hah? Terus waktu itu gue liat apa…?”