Senja
Awan mengapung bertebaran di langit yang sudah berwarna oranye. Semilir angin sore hari itu membuat bulu kuduk Dimas berdiri. Tawa kecil terdengar dari Gita, ia sedari tadi memerhatikan tingkah lelaki kekar di sampingnya.
“Kenapa ketawa?” tanya Dimas seraya menggesek-gesekkan kedua tangannya untuk menghangatkan diri. Dimas yang hanya mengenakan kaus putih tanpa lengan dengan knitted vest coklat di luarnya—terlihat kedinginan.
“Nih, pake blazer gue.” Dengan cepat Gita meletakkan blazernya ke tubuh Dimas.
“Ih, apaan sih, Git? Gue ga kedinginan, tuh?”
“Hahaha buktinya lu mengigil, tuh!”
“Ga, kok. Tadi digigit nyamuk doang. Gue gapapa, kok.”
Gita tahu betul bahwa Dimas tidak suka terlihat kesulitan di depannya. Seringkali lelaki ini menutup-nutupinya dengan beribu alasan. Padahal Gita menerima Dimas apa adanya, tetapi lelaki ini masih tidak berani menunjukkan kelemahannya. “Yaudah gapapa pake aja. Biar nyamuknya ga ganjen tuh deket-deket lu mulu.”
“Oh jadi lu cemburu sama nyamuk?” goda Dimas seraya mendekatkan wajahnya ke hadapan Gita.
“Apa, sih?” Gita yang terkejut mengetahui bahwa jarak wajahnya dengan Dimas hanyak beberapa senti—kini wajahnya memerah.
Dengan cepat Gita memalingkan wajahnya. “Udah, yuk, pulang. Udah sore, nih. Dingin juga, kan, lama-lama di sini.”
“Oke. Anything you want, princess.”