Cafe
Pukul 2.30 siang, Gita sudah tiba di tempat di mana mereka berjanji untuk bertemu. Ia memang terbiasa untuk datang lebih awal untuk mengantisipasi adanya suatu hal yang tak terduga ketika di jalan.
KRINGG
Bunyi lonceng yang tergantung di depan pintu kafe menggema di telinga Gita. Ah—terlihat batang hidung sang adam yang menghubunginya malam itu.
“Loh? Itu sama siapa?” ucap Gita dalam hati. “ohhh...”
“Hi, Git. Udah nunggu lama ya? Sorry tadi agak macet di jalan” ucap pria yang mengenakan hoodie hitam di depannya sambil tersenyum.
“Hi, Dimas, ya? Ga kok, baru 5 menit hehehe,” jawabnya bohong supaya mereka tidak perlu merasa bersalah karena ia sudah menunggunya lebih dari setengah jam.
“Ini gue bareng Brian, gapapa kan?”
“Hi, Git. Gue join ya,” sapa Brian renyah.
Setelah Dimas memberikan kunciran milik Gita kepada sang pemiliknya, ketiga pemuda itu asik membicarakan segala hal mulai dari yang sepele hingga membicarakan hal serius.
Brian melihat ke arah jam tangannya. Dia sontak terkejut melihat jam sudah berada di angka 5 sore. Ia dan bandnya ada jadwal latihan sebentar lagi.
“Git, kita pamit dulu ya? Mau latihan,” ucap Brian.
“Eh? Jam berapa emang ini?” tanya Dimas sambil melirik ke arah jam tangannya. “Oh sh*t...” “Git, pamit dulu, ya!”
“Iyaa.... Hati-hati di jalan!”
“You too.”