Jelek
Dimas melangkah masuk ke dalam ruangan bernuansa minimalis modern itu. Matanya menjuru ke segala arah. Seluruh barang tersusun rapih di tempatnya masing-masing. Warna putih dan coklat muda memenuhi dinding kamar tersebut.
Terlihat Gita duduk di ujung ranjang memandang ke luar jendela. Dari balik punggungnya tampak gadis itu sedang menyembunyikan sejuta perasaan yang sedang ia rasakan.
Mendengar langkah kaki seseorang memasuki ruangan, tanpa menoleh Gita segera membuka suara. “Jangan deket-deket! Di situ aja, okay?”
Mendengar perintah dari sang pemilik kamar, Dimas langsung menghentikan langkahnya.
“Git… kalo mau marah sama gue, marah aja gapapa. Kalo lu mau pukul gue, pukul aja. Gue ga bakal menghindar.”
Perempuan itu bangkit dari ranjangnya, kedua tangannya terkepal kencang. Dimas yang melihat hal tersebut menelan ludahnya dan menyiapkan dirinya apabila Gita memukuli dirinya. Ia mengeraskan otot-otot perut dan lengannya untuk berjaga-jaga.
Gita membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah Dimas yang terlihat mematung di sudut kamarnya. Pria itu tertegun melihat kedatangan wanita itu. Ia menutup matanya erat-erat. Wajahnya mengerut bersiap-siap menahan sakit yang akan ia rasakan.
Ketika Gita lari menghampirinya, kaki kanan Dimas bergerak melangkah ke belakang karena menahan beban yang ia terima. Hangat. Pria itu tidak merasakan sakit sedikitpun, ia merasa ada kehangatan yang menjalar ke tubuhnya. Dimas segera membuka kedua kelopak matanya. Ia menemukan Gita sedang memeluk dirinya dan membenamkan wajah cantiknya ke dalam dada bidang milik pria tersebut.
“Git, are you okay?”
Terdengar isakan tangis dari wanita di hadapannya. Tangan kanan Dimas memeluk kepala wanita tersebut, tangan kirinya menepuk-nepuk lembut punggung gadis itu.
“Dim, gue takut. Banyak banget yang chat gue, mereka ngata-ngatain gue bahkan ada yang nyumpahin gue mati. Hari ini udah lebih dari 10 nomor ga dikenal nelpon gue. Pas gue angkat, dia cuma ngatain gue murahan lah ada yang ngatain gue jalang lah. Beberapa ada yang udah dilaporin ke polisi sama Tris karena mereka sampe lemparin batu ke rumah gue,” ucap Gita diselingi isakan tangis yang makin lama makin mengeras.
Dimas mengeratkan dekapannya. Ia terkejut mendengar kejahatan orang-orang yang timbul akibat perbuatan cerobohnya. Padahal pria ini berencana menyanyikan lagu spesial untuk mengekspresikan perasaannya dan berharap wanita pujaannya itu senang, tetapi malah sebaliknya yang ia dapatkan.
“Git, sorry, ya? Gue ga ada niatan buat lu dihujat abis-abisan sama orang lain. Lu ga perlu takut lagi. Gue bakal lindungin lu, gue janji,” tutur Dimas seraya mengelus pelan pucuk kepala gadis di dekapannya.
Sudah berlalu beberapa menit, mereka masih mempertahankan posisi tersebut. Kedua lengan Gita masih melingkari torso pria di hadapannya. Dimas membiarkan kausnya kuyup akibat air mata yang membanjiri wajah Gita. Kini lelaki itu menempatkan dagunya di atas kepala wanita di pelukannya itu.
“Git.”
“Hm.”
“Lu pernah denger ga ada yang bilang kalo orang lagi senyum tuh lidahnya ga bisa nyentuh langit-langit mulutnya, bener ga sih? Coba deh.”
Merasa penasaran, Gita mencoba mempraktikan apa yang Dimas katakan barusan.
“Bisa kok.”
“Masa, sih? Coba liat.”
Tanpa berpikir panjang, Gita menghadapkan wajahnya ke atas. Dipasangnya senyuman manis di wajah wanita itu. “Nih, bisa, Dim.”
“Nah kan… cantik.”
Mendengar perkataan Dimas barusan, dengan cepat Gita melepaskan pelukannya. “Ih, apaan sih, Dim?” Wajahnya memerah bak tomat yang sudah matang. “Lagi jelek tauuu,” ujar Gita sambil memalingkan wajahnya.
“Mana coba liat yang katanya jelekk? Liat sini dong, mau liat jeleknya,” ledek Dimas seraya meraih jari jemari Gita dan menariknya lembut sehingga tubuh mungil itu menghadap ke arahnya.
Dimas memegang kedua dengkulnya, tubuh pria itu membungkuk, wajahnya di angkat mendekat ke arah wajah Gita. Mata pria itu menelusuri seluruh wajah indah di hadapannya. “Hm… iya, Git. Bener. Jelek bangeeett. Kok bisa, sih, jadi sejelek ini? Ya ampunnn, Git, Git.”
“IHHH DIMASS NYEBELIN BANGETT!!!”