Like We Used to Be
Andini menyesap cairan berwarna coklat yang mengepulkan asap di udara. Pandangannya diarahkan ke jendela yang menampilkan jalanan ibu kota yang padat kendaraan. Sesekali ia melihat jam tangan, seperti sedang menanti kehadiran seseorang. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang gadis itu sesuaikan dengan alunan musik yang mengisi rungu Andini.
“Apa dia ga dateng, ya?”
Sudah hampir dua jam Andini duduk dengan penuh harap di kafe tempat pertama kali dirinya bertemu dengan sosok yang dinanti. Wajah Andini mulai terlihat lesu. Kegelisahan mulai menghujam dirinya. Sudah berapa banyak lagu yang ia dengarkan dengan Airpods.
“Liat aja lo, ga gua maafin buat gue nunggu lama banget.”
Kini ia membereskan barang-barang yang berhamburan di atas meja. Saat gadis itu tengah sibuk dengan seluruh barangnya, tiba-tiba saja ada seseorang yang melepaskan Airpods yang ia kenakan di telinga kanannya.
“Lagi denger lagu apa, sih?”
Andini refleks menoleh ke arah sebelah kanannya. Pupil matanya membesar saat mendapati pelaku yang mengambil paksa Airpodsnya. Gadis itu tidak bisa mengontrol debaran jantungnya yang makin cepat. Sial, hanya melihat kehadiran Ezra, seluruh kekesalan Andini lenyap seperti dibawa angin topan.
“Oh. Lagu gue.” Ezra yang sedari tadi memasangkan Airpods Andini ke telinganya, kini menyeringai. Kepalanya menunduk ke bawah untuk menutupi ekspresi senangnya. Lelaki itu mengangkat kepalanya lalu melepaskan topi yang ia kenakan.
Andini merengus. Dengan tangannya yang disilangkan ke dada, Andini memutar bola matanya. Ia memajukan bibirnya dan menggerutu pelan. Ezra dibuat gemas melihat kelakuan gadis tersebut. Lelaki itu terkekeh sembari mengacak-acak rambut Andini.
“Kenapa, sih? Cemberut gitu?”
“Ya, lu liat aja sekarang udah jam be—”
Tidak sempat Andini melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba Ezra menarik Andini masuk ke dalam dekapannya. Andini terkejut akan tindakan tanpa aba-aba itu. Ia merasakan kehangatan Ezra menyaluri tubuhnya.
“Maaf, ya, udah buat lu nunggu kelamaan. Tadi ada manajer mau ngomongin acara musik buat bulan depan, makanya gue ga bisa langsung berangkat.”
Ezra membelai lembut kepala Andini. Rasanya lelaki itu ingin menyerap semua kekesalan yang dibuatnya. Setelah dirasa Andini sudah mulai tenang, Ezra melepaskan dekapannya. Tangan lelaki itu menggenggam kedua tangan gadis di hadapannya.
“Zra... sorry gue sama Kak Gio—”
Ezra menggelengkan kepalanya, ia mencoba menghentikan perkataan Andini. “No no no, ga perlu minta maaf. Toh lu ga salah. Gue udah diceritain semuanya sama Bang Gio. Dia bener-bener cerita dari awal sampe akhir.” Ezra memberi jeda sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “gue malah berterima kasih banget sama lu. Lu udah mau bantuin Bang Gio. Gue aja yang temen deketnya ga tau apa-apa masalah dia, tapi lu tau. Cewe gue hebat banget sih.”
“Hah?” Andini segera melepaskan genggaman Ezra setelah mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan lelaki itu. Ezra tertawa jahil sambil menatap Andini.
“Kenapa? Oh... soon ya?”
Andini memukul pelan lengan Ezra. “Ih.. Ezra... apaan sih!”
