Hope
Seusai Andini membaca pesan dari Ezra, ia segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
“Selamat datang, Kak. Kakak order special treatment ya?”
Gadis yang terlihat masih sangat muda yang sejak tadi menjadi lawan bicara Andini hanya mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk, enggan untuk menatap bola mata Andini.
“Ehm... Kak? A-aku ga patah hati ma-masalah percintaan, tetep boleh ga?” tanyanya dengan terbata-bata
“Boleh donggg. Mind to share your story? Siapa tau aku bisa bantu ringanin beban di pundakmu.”
Selama gadis yang biasa disapa Salma itu bercerita, Andini tetap fokus dengan pekerjaannya sembari mendengarkan keluh kesah Salma. Sesekali Andini menenangkan gadis itu sembari menepuk punggungnya lembut.
“Jadi, kamu sekarang kabur dari rumah?”
“Iya, Kak. Aku sakit hati banget sama papaku yang dengan entengnya ngatain aku di depan umum. Dia bilang ngelukis tuh buang-buang uang aja. Padahal aku selama ini beli alat-alat lukis pake uangku sendiri. Emang saat ini aku belum bisa menghasilkan uang yang banyak dari melukis, cuma aku udah pernah beberapa kali menang lomba gitu kak. Aku bahkan dikatain ga punya masa depan karena mau jadi pelukis.” Salma terisak menatap wallpaper ponselnya yang merupakan lukisan karya Henri Matisse yang selama ini menjadi panutannya. Air matanya membasahi layar gawainya itu. Andini yang menyadari hal tersebut segera memberikan pelukan hangatnya.
“Hey. Look at me.” Andini menatap netra hitam legam milik Salma sambil memegang kedua pundak gadis itu. “Kamu tau ga? Matisse sebelum jadi pelukis terkenal, dia juga pernah ditentang sama ayahnya loh. Awalnya ayahnya emang marah banget, tapi lama kelamaan ayahnya ngedukung dia. In my humble opinion, emang pasti ayahmu kaget banget anaknya mau jadi pelukis. Apalagi di negeri ini masih melekat banget stigma kalo seniman itu pekerjaan ga jelas dan ga mapan. Lambat laun aku yakin ayah kamu ngedukung kamu walau ga ditunjukin secara terang-terangan. Apapun cita-citamu, selama kamu yakin aku percaya kamu bakal sukses. Kamu tuh hebat banget loh udah berani bercita-cita. Anyway selamat ya kamu berhasil menangin lomba-lomba melukis. Pasti karyamu bagus banget deh. Jadi pengen liat lukisanmu.”
“Kak...” Tangis Salma pecah seketika. Hatinya terasa lega, secercah harapan akan masa depannya muncul. Beban yang selama ini ia pikul sendiri terangkat satu per satu. Sudah lama dirinya ingin mendengarkan kalimat tersebut. Kalimat singkat yang mungkin enteng di mata orang lain, namun memiliki makna yang mendalam dan menjadi sumber kekuatannya untuk bertahan.