Muara
Play this song while reading it.
Andini pov
Sudah 2 menit berlalu, lelaki di depanku masih terpaku meratapi rintik hujan di luar jendela. Aku tidak mempunyai nyali untuk membuka suara, melihat tatapannya yang kosong saja sudah cukup menjelaskan betapa merana dirinya. Tanganku yang kosong meraih cangkir di hadapanku, aku sesap cairan kecoklatan yang berkepulan asap ini dengan perlahan.
“An.” Suara Ezra terdengar getar. Kedua bola mata Ezra masih terpaku melihat ramainya tetesan air di luar. Tidak sedikitpun dirinya menatapku.
Aku mencoba untuk berusaha setenang mungkin membalasnya, “hm? iya, Zra?”
“Lu penggemar 7Miracle, 'kan?”
Aku mengerutkan dahiku, bukankah seharusnya dia tahu bahwa aku Miraculous?
“Iya, dari kalian masih trainee juga kan gue penggemar kalian.”
“Kalau gue?”
“Maksudnya, Zra?”
“Lu penggemar gue ga? Gue as Ezra atau gue as member 7Miracle?”
Pertanyaan apa ini? Apa yang ada di kepala Ezra sehingga dia melucutkan pertanyaan yang bahkan tidak pernah kupikirkan sebelumnya?
Lelaki yang mengenakan jaket denim di depanku, kini menoleh ke arahku. Tangannya diletakkan di atas meja, jari-jarinya menggenggam satu sama lain. Entah mengapa dirinya terlihat gugup.
“Gimana, An? Would you still love me if I'm not in the group anymore? Would you love me as I am, Alister Ezra Zayyan, not 7Miracle's Alister?”
Deg
Aku mematung. Aku yakin, aku tidak salah dengar kata per kata yang Ezra lontarkan barusan. Kepalaku terasa pusing seperti sedang menaiki wahana Tornado. Aku mengalihkan padanganku ke luar jendela. Aku berusaha mencari ketenangan. Jujur saja aku tidak tahu harus berkata apa. Menjadi bagian dari 7Miracle adalah kebahagian yang tidak bisa dijelaskan oleh Ezra. Sejak dahulu, lelaki itu selalu saja tersenyum lebar ketika menceritakan mengenai grup tersebut.
“Arg.” Ezra mengacak-acak rambutnya. Ia terlihat sangat frustrasi. Kini dirinya menggigit kuku ibu jari kanannya.
“Zra... maksudnya lu udah keluar?”
“Iya, An. Gue bukan lagi member 7Miracle.”
Jleb
Hatiku seperti mencelos. Hampa. Ini merupakan hal yang tidak pernah kubayangkan.
Selama ini aku selalu mendengarkan 7 orang bernyanyi dengan suara merdunya di panggung
Selama ini aku selalu melihat 7 orang berusaha menghibur seluruh penggemarnya di semua platform
Selama ini aku selalu menikmati penampilan 7 orang yang tidak pernah gagal membuatku terpana
Kini hanya 6 orang tersisa
Aku harus bisa membiasakan diriku dengan kehilangan seseorang yang fotonya selalu kubawa ketika menonton konser
Aku harus membiasakan diriku untuk melihat merchandise tanpa ada dirinya
Yang terpenting adalah... aku harus membiasakan diri untuk tidak mendengar cerita seru Ezra mengenai kegiatan 7Miracle
“An, gue... minta maaf...” ucap Ezra. Ia tidak sanggup menahan bendungan air matanya lagi. Lelaki itu menangis. Penampilannya sangat tidak karuan. Aku tidak pernah lihat dirinya sekacau ini. Aku tidak boleh ikut larut dalam pilu. Ia membutuhkanku. Lantas apa gunanya diriku di sini kalau kami sama-sama menangis?
Aku bergegas ke arah Ezra. Kini ia tidak lagi di hadapanku, melainkan di sampingku. Tanganku meraih tengkuk yang sudah lembab karena keringat. Aneh. Sudah keringatan masih saja lelaki itu sangat wangi.
Kini kepala Ezra tenggelam di dalam pelukanku. Aku membelai surai lelaki itu dengan lembut. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menghantarkan kehangatan dan kenyamanan. Aku memang sedih mendengar dirinya sudah tidak lagi di 7Miracle, tetapi aku jauh lebih sedih melihat dirinya hancur berantakan.
“An. Maaf. Gue bingung banget, An. Gue beneran buntu kali ini.”
Aku membiarkan Ezra melengkapi ceritanya terlebih dahulu, sembari ku hapus air matanya.
“Semua orang nyalahin gue. Gue dipaksa selalu mengikutin kepentingan publik tanpa memikirkan kepentingan sendiri. Gue cape, An.”
“Gue ga mau 7Miracle bubar karena masalah gue dan gue ga bisa ngelepas lu. Gue... buntu...”
“Udah 3 hari gue ga tidur cuma buat pastiin keputusan gue. Gue plinplan. Gue bodoh. Gue sok-sokan kuat di depan semua member, gue coba ketawa, gue coba terlihat santai. Padahal gue hancur, An! Gue remuk!”
“Gue udah menghabiskan masa remaja gue cuma buat jadi trainee. Gue kadang iri ngeliat orang-orang bisa kuliah. Bisa main sama teman-temannya. Bisa sering kumpul sama keluarganya. Sedangkan gue? Gue cuma bisa berdiri di balik tingginya dinding studio. Setiap hari gue melakukan hal yang sama bareng Bang Gio, Chandra, Richard, Vano, Lino, Azriel. Pas akhirnya gue bisa debut, gue seneng banget. Gue bener-bener sebahagia itu. Lu masih inget ga? Waktu itu gue sampe teriak-teriak kaya udah gila di atas bianglala.”
“Gue merasa bahagia pas gue nyanyi. Gue seneng bisa berdiri di atas panggung, tapi... gue baru sadar satu hal.”
“Di semua kebahagiaan gue itu...selalu ada lu di sana. Waktu gue ga bisa nikmatin semua keseruan masa remaja, lu selalu berhasil menggantikannya. Lu selalu berusaha gue benar-benar merasakan itu semua dengan cara lu sendiri.”
“Gue bahagia banget setiap berdiri di atas panggung karena gue selalu liat lu hadir. Sesibuk apapun kegiatan lu, lu selalu ngeluangin waktu buat gue. Gue seneng banget nyanyi karena lu selalu menikmati suara gue. Lu ga pernah ga muji gue. Itu jadi sebuah motivasi buat gue.”
“Gue merasa bersemangat banget setiap hari sampai hari di mana lu menjauh. Gue merasa kosong. Gue nyanyi tapi hampa. Gue coba melakukan semua kegiatan sehari-hari tapi tetep merasa ada yang kurang. Saat itu gue masih denial sampai akhirnya perasaan gue meledak. Gue salurin amarah gue ke lagu, tapi orang lain malah berlagak bagai cenayang. Menebak tetapi salah, tetapi keras kepala.” Ezra menghebuskan napas panjang. Dirinya tampak lebih lega. Sepertinya ia dari tadi takut untuk mengatakan kalau dia sudah tidak lagi bersama 7Miracle kepadaku.
Aku merasa bersalah tadi sudah berpikir egois. Seharusnya aku lebih bijak lagi bisa mendengarkan seluruh ceritanya terlebih dahulu. Hatiku tersentuh mengetahui alasan di balik ini semua. Aku merasa dicintai oleh Ezra. Sangat dicintai.
Aku tersenyum menatapnya. Pandangannya kini terlihat lebih teduh. Air matanya sudah mengering.
Aku menggenggam tangan lelaki itu untuk menguatkannya, “Zra, kenapa minta maaf? Lu hebat, Zra. Hebaaaat bangeet. Lu bisa memutuskan sebuah pilihan yang sangat amat berat ini. Lu berani menyuarakan pendapat lu. Lu berani menjadi diri lu sendiri. Gue ga bisa lebih bangga dari ini ke lu, Zra. Menurut gue, lu sebuah anugrah. Kehadiran lu pantas disyukuri. Lu sebagai diri lu, Alister Ezra Zayyan atau Alister 7Miracle, itu sama aja di mata gue. You are you and I love everything about you. Gue bakal dukung lu terus di mana pun lu berada. Lu pasti sedih karena lu melepas salah satu pilihan hidup lu. Don’t be afraid of the storm because one thing that you have to remember, rainbow always comes after storm.”
Ezra menitikkan air mata, bukan karena sedih. Melainkan ia bahagia karena keputusannya kali ini tepat. Ia tidak akan pernah melepaskan Andini. Selamanya.