buttwerflies

Ikhwan Nusufi · Adera – Muara.mp3

Play this song while reading it.

Andini pov

Sudah 2 menit berlalu, lelaki di depanku masih terpaku meratapi rintik hujan di luar jendela. Aku tidak mempunyai nyali untuk membuka suara, melihat tatapannya yang kosong saja sudah cukup menjelaskan betapa merana dirinya. Tanganku yang kosong meraih cangkir di hadapanku, aku sesap cairan kecoklatan yang berkepulan asap ini dengan perlahan.

“An.” Suara Ezra terdengar getar. Kedua bola mata Ezra masih terpaku melihat ramainya tetesan air di luar. Tidak sedikitpun dirinya menatapku.

Aku mencoba untuk berusaha setenang mungkin membalasnya, “hm? iya, Zra?”

“Lu penggemar 7Miracle, 'kan?”

Aku mengerutkan dahiku, bukankah seharusnya dia tahu bahwa aku Miraculous?

“Iya, dari kalian masih trainee juga kan gue penggemar kalian.”

“Kalau gue?”

“Maksudnya, Zra?”

“Lu penggemar gue ga? Gue as Ezra atau gue as member 7Miracle?”

Pertanyaan apa ini? Apa yang ada di kepala Ezra sehingga dia melucutkan pertanyaan yang bahkan tidak pernah kupikirkan sebelumnya?

Lelaki yang mengenakan jaket denim di depanku, kini menoleh ke arahku. Tangannya diletakkan di atas meja, jari-jarinya menggenggam satu sama lain. Entah mengapa dirinya terlihat gugup.

“Gimana, An? Would you still love me if I'm not in the group anymore? Would you love me as I am, Alister Ezra Zayyan, not 7Miracle's Alister?”

Deg

Aku mematung. Aku yakin, aku tidak salah dengar kata per kata yang Ezra lontarkan barusan. Kepalaku terasa pusing seperti sedang menaiki wahana Tornado. Aku mengalihkan padanganku ke luar jendela. Aku berusaha mencari ketenangan. Jujur saja aku tidak tahu harus berkata apa. Menjadi bagian dari 7Miracle adalah kebahagian yang tidak bisa dijelaskan oleh Ezra. Sejak dahulu, lelaki itu selalu saja tersenyum lebar ketika menceritakan mengenai grup tersebut.

“Arg.” Ezra mengacak-acak rambutnya. Ia terlihat sangat frustrasi. Kini dirinya menggigit kuku ibu jari kanannya.

“Zra... maksudnya lu udah keluar?”

“Iya, An. Gue bukan lagi member 7Miracle.”

Jleb

Hatiku seperti mencelos. Hampa. Ini merupakan hal yang tidak pernah kubayangkan.

Selama ini aku selalu mendengarkan 7 orang bernyanyi dengan suara merdunya di panggung

Selama ini aku selalu melihat 7 orang berusaha menghibur seluruh penggemarnya di semua platform

Selama ini aku selalu menikmati penampilan 7 orang yang tidak pernah gagal membuatku terpana

Kini hanya 6 orang tersisa

Aku harus bisa membiasakan diriku dengan kehilangan seseorang yang fotonya selalu kubawa ketika menonton konser

Aku harus membiasakan diriku untuk melihat merchandise tanpa ada dirinya

Yang terpenting adalah... aku harus membiasakan diri untuk tidak mendengar cerita seru Ezra mengenai kegiatan 7Miracle

“An, gue... minta maaf...” ucap Ezra. Ia tidak sanggup menahan bendungan air matanya lagi. Lelaki itu menangis. Penampilannya sangat tidak karuan. Aku tidak pernah lihat dirinya sekacau ini. Aku tidak boleh ikut larut dalam pilu. Ia membutuhkanku. Lantas apa gunanya diriku di sini kalau kami sama-sama menangis?

Aku bergegas ke arah Ezra. Kini ia tidak lagi di hadapanku, melainkan di sampingku. Tanganku meraih tengkuk yang sudah lembab karena keringat. Aneh. Sudah keringatan masih saja lelaki itu sangat wangi.

Kini kepala Ezra tenggelam di dalam pelukanku. Aku membelai surai lelaki itu dengan lembut. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menghantarkan kehangatan dan kenyamanan. Aku memang sedih mendengar dirinya sudah tidak lagi di 7Miracle, tetapi aku jauh lebih sedih melihat dirinya hancur berantakan.

“An. Maaf. Gue bingung banget, An. Gue beneran buntu kali ini.”

Aku membiarkan Ezra melengkapi ceritanya terlebih dahulu, sembari ku hapus air matanya.

“Semua orang nyalahin gue. Gue dipaksa selalu mengikutin kepentingan publik tanpa memikirkan kepentingan sendiri. Gue cape, An.”

“Gue ga mau 7Miracle bubar karena masalah gue dan gue ga bisa ngelepas lu. Gue... buntu...”

“Udah 3 hari gue ga tidur cuma buat pastiin keputusan gue. Gue plinplan. Gue bodoh. Gue sok-sokan kuat di depan semua member, gue coba ketawa, gue coba terlihat santai. Padahal gue hancur, An! Gue remuk!”

“Gue udah menghabiskan masa remaja gue cuma buat jadi trainee. Gue kadang iri ngeliat orang-orang bisa kuliah. Bisa main sama teman-temannya. Bisa sering kumpul sama keluarganya. Sedangkan gue? Gue cuma bisa berdiri di balik tingginya dinding studio. Setiap hari gue melakukan hal yang sama bareng Bang Gio, Chandra, Richard, Vano, Lino, Azriel. Pas akhirnya gue bisa debut, gue seneng banget. Gue bener-bener sebahagia itu. Lu masih inget ga? Waktu itu gue sampe teriak-teriak kaya udah gila di atas bianglala.”

“Gue merasa bahagia pas gue nyanyi. Gue seneng bisa berdiri di atas panggung, tapi... gue baru sadar satu hal.”

“Di semua kebahagiaan gue itu...selalu ada lu di sana. Waktu gue ga bisa nikmatin semua keseruan masa remaja, lu selalu berhasil menggantikannya. Lu selalu berusaha gue benar-benar merasakan itu semua dengan cara lu sendiri.”

“Gue bahagia banget setiap berdiri di atas panggung karena gue selalu liat lu hadir. Sesibuk apapun kegiatan lu, lu selalu ngeluangin waktu buat gue. Gue seneng banget nyanyi karena lu selalu menikmati suara gue. Lu ga pernah ga muji gue. Itu jadi sebuah motivasi buat gue.”

“Gue merasa bersemangat banget setiap hari sampai hari di mana lu menjauh. Gue merasa kosong. Gue nyanyi tapi hampa. Gue coba melakukan semua kegiatan sehari-hari tapi tetep merasa ada yang kurang. Saat itu gue masih denial sampai akhirnya perasaan gue meledak. Gue salurin amarah gue ke lagu, tapi orang lain malah berlagak bagai cenayang. Menebak tetapi salah, tetapi keras kepala.” Ezra menghebuskan napas panjang. Dirinya tampak lebih lega. Sepertinya ia dari tadi takut untuk mengatakan kalau dia sudah tidak lagi bersama 7Miracle kepadaku.

Aku merasa bersalah tadi sudah berpikir egois. Seharusnya aku lebih bijak lagi bisa mendengarkan seluruh ceritanya terlebih dahulu. Hatiku tersentuh mengetahui alasan di balik ini semua. Aku merasa dicintai oleh Ezra. Sangat dicintai.

Aku tersenyum menatapnya. Pandangannya kini terlihat lebih teduh. Air matanya sudah mengering.

Aku menggenggam tangan lelaki itu untuk menguatkannya, “Zra, kenapa minta maaf? Lu hebat, Zra. Hebaaaat bangeet. Lu bisa memutuskan sebuah pilihan yang sangat amat berat ini. Lu berani menyuarakan pendapat lu. Lu berani menjadi diri lu sendiri. Gue ga bisa lebih bangga dari ini ke lu, Zra. Menurut gue, lu sebuah anugrah. Kehadiran lu pantas disyukuri. Lu sebagai diri lu, Alister Ezra Zayyan atau Alister 7Miracle, itu sama aja di mata gue. You are you and I love everything about you. Gue bakal dukung lu terus di mana pun lu berada. Lu pasti sedih karena lu melepas salah satu pilihan hidup lu. Don’t be afraid of the storm because one thing that you have to remember, rainbow always comes after storm.”

Ezra menitikkan air mata, bukan karena sedih. Melainkan ia bahagia karena keputusannya kali ini tepat. Ia tidak akan pernah melepaskan Andini. Selamanya.

Ezra menghembuskan napas berat saat kakinya terhenti di depan ruang mewah nan megah tempat Pak Dirga berada. Lelaki itu mengumpulkan seluruh kekuatan dan keberaniannya untuk menemui atasannya yang mengancam 7Miracle bubar.

Gio menepuk pundak temannya itu sebagai tanda pemberi semangat. Ezra hanya menoleh dan tersenyum kecut. Ia harus segera menyelesaikan segalanya sebelum terlambat.

“Gue tunggu di sini, ya? Apapun nanti keputusan lu maupun Pak Dirga, gue hargai dan gue akan coba menerimanya. Good luck.”

Ketika Ezra memasuki ruang tersebut, seluruh petinggi agensi berkumpul di sana untuk mendengarkan langsung mengenai keputusan mutlak Ezra.

Gg

Sudah hampir satu jam Ezra menunggu di dalam mobilnya. Lelaki itu parkir beberapa rumah dari rumah Andini karena di depan rumah wanita itu sudah dipenuhi oleh kendaraan wartawan yang rela menginap di sana. Berkali-kali ia menghubungi Andini namun nihil hasilnya.

kayanya andi lagi ga liat hp

andi lagi ga mau diganggu, ya?

andi marah sama gue deh

apa hpnya andi mati, ya?

Terlalu banyak asumsi yang bermunculan di otak Ezra. Kekhawatirannya sudah memuncak hingga membuat pikirannya tidak jernih. Sempat ia berpikir untuk kembali ke rumahnya, tetapi ia urungkan niatnya. Sudah jauh-jauh ia datang ke kediaman sosok wanita yang kini menjadi musuh penggemarnya dan Bella. Lagipula, Ezra pun sudah menyiapkan mental saat nanti bertemu wartawan.

huft…okay…ayo zra lu pasti bisa

Ezra memberanikan diri untuk keluar dari mobilnya. Tiada ragu dalam langkahnya. Ia hanya ingin meluruskan semuanya, meski konsekuensi yang akan dia emban sangat berat.

Tinggal 3 langkah lagi lelaki itu sampai di rumah Andini, seluruh wartawan berlarian menyerbunya.

Kilauan lampu sorot yang mengenai matanya mampu membuat Ezra menyipit. Di depannya sudah berjejer kamera dan mikrofon. Kumpulan wartawan itu tidak mau saling kalah melemparinya pertanyaan.

“Alister? Kenapa Anda datang ke sini?”

“Apa benar seluruh berita yang sedang dibicarakan?”

“Bagaimana hubunganmu dengan Andini?”

“Mengapa kamu menuliskan lagu She Loves Me (not) untuk wanita lain selain Bella?”

“Apa iya Bella dan Anda sudah menjalin hubungan selama 4 bulan?”

Masih banyak lagi pertanyaan yang tidak tertangkap oleh indra pendengaran Ezra. Kepalanya mulai pusing dengan keributan yang mengelilinginya. Ia menghembuskan napasnya perlahan dan mengumpulkan kekuatannya.

“Saya dan Bella hanya rekan kerja. Selama ini kami tidak menjalin hubungan spesial sama sekali. Saya hanya membantunya beberapa kali ketika Bella sedang kesusahan. Untuk Andini, ya, dia adalah mantan terindah saya. Dia yang dari dulu menemani saya dari nol hingga saat ini. Bukan dia yang meminta saya untuk tidak move on, tetapi memang saya sendiri yang tidak mau. Lagu itu saya buat untuk Andini karena saat itu saya benar-benar sedih kalau mengingat kenyataan bahwa saya dan Andini sulit bersatu karena keadaan.” Ezra menarik napas sejenak. Seluruh wartawan tampak terkejut mendengar pernyataannya barusan.

Tidak lama, Ezra melanjutkan perkataannya, “saya benar-benar mencintai Andini. Sejauh ini memang belum ada penggantinya dan memang saya tidak mencarinya karena hanya dialah yang saya butuhkan. Sebelumnya kami memang pernah jalan bersama dan entah kenapa ada orang lain memotret kami tanpa izin dan menyebarkan berita palsu. Lalu apa akibatnya? Andini dihujat abis-abisan sama semua penggemar saya. Asal kalian tahu, Andini sedih, saya pun demikian. Kalau kalian mau menghancurkan dia sama saja kalian hancurkan saya. Memangnya salah saya menyukai gadis itu? Biarkan saya melakukan apa yang saya mau. Saya bukanlah boneka kalian yang seenaknya dapat kalian kontrol. Saya cuma manusia biasa, tolong pengertiannya. Apa dosa Andini yang buat kalian sampai sejahat itu ke dia? Kalau kalian memang penggemar saya, tolong hargai saya. Tolong cintai karya saya, bukan mengekang saya. Banyak penyanyi, aktris, aktor, penari di luar sana yang hidupnya tidak bisa bebas dan selalu mendapat komentar menyakitkan. Kami bukan dewa yang sempurna. Kami bisa melakukan kesalahan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin di bidang kami. Oleh karena itu fokuslah di sana dan jangan mencampuri urusan di luar itu seperti hal privasi kami. Biarkanlah kami menjalani hari-hari kami dengan tenang.” Tenggorokan Ezra mulai serak, ia berusaha menelan air liurnya tetapi tidak berhasil, malah membuat tenggorokannya perih.

Tidak seperti sebelumnya, wartawan yang mengelilingi laki-laki itu menjadi hening. Mereka saling menatap merasa bersalah. Tidak ada pertanyaan lagi. Beberapa dari mereka mulai menutup kamera dan membereskan peralatannya. Tidak lama kemudian terdengar sirine mobil polisi menghampiri depan rumah Andini. Semua orang di sana termasuk Ezra terlihat bingung akan kedatangan polisi.

“AYO SEMUANYA STERILKAN AREA INI”

Mendengar perintah tersebut, semuanya berlarian memasuki mobil masing-masing. Mereka tidak mau ambil risiko berurusan dengan polisi. Ketika Ezra hendak masuk ke mobilnya, terdengar suara perempuan memanggilnya. Ia menoleh sekilas dan mendapati Andini sedang berlarian kecil menghampirinya. Ezra tidak jadi masuk ke dalam mobil hitam yang terpakir rapih di pinggir jalan itu, ia segera menutup pintu mobilnya kembali dan menyambut kedatangan Andini.

Ezra terkejut ketika Andini berlari masuk ke pelukannya. Pupilnya membesar, jantungnya berdebar tidak karuan, tangannya tampak gemetar ketika hendak membelai rambut Andini. Ia memanfaatkan waktu ini untuk melepaskan seluruh rindu dan kecemasannya terhadap perempuan itu. Ezra eratkan dekapannya seakan ingin menghancurkan tubuh mungil perempuan itu.

Andini membenamkan kepalanya di dada lelaki itu. “Zra… maaf tadi ga liat chat dari lu.”

“Huh? Gimana, An? Maaf ga kedengeran,” ujar Ezra polos.

Andini segera melepaskan pelukannya dan menghempaskan Ezra pelan, “Ih lu mah!”

Ezra terkekeh melihat wajah Andini yang tampak kesal.

“Gimana tadi cantik? Maaf ya kurang denger, boleh diulangin lagi ga?”

Perempuan itu tidak pernah bisa marah kepada Ezra. Selalu ada 1001 cara lelaki itu meluluhkan hatinya. Andini menatap Ezra lekat-lekat dan memastikan pria itu mendengarkannya kali ini.

“Maaf tadi gue ga liat chat lu soalnya gue ga boleh pegang hp sama Talita sampe bokapnya sama ajudannya ke sini.”

“Oh—jadi itu bokapnya Talita?”

Andini hanya membalas Ezra dengan anggukan, “Lita udah muak banget sama semua wartawan yang ga pernah mau pergi dari rumah gue sampe akhirnya harus bokapnya yang turun tangan. Beberapa hari ke depan pun bakal dikirim polisi ke sini buat jagain gue.”

“Ya ampun gue harus berterima kasih banget sama Talita. Tolong disampein, ya! Bilang ke dia makasih udah nolongin cewe gue.”

Andini refleks memukul lengan Ezra, “apaan sih, Zra?”

Ezra hanya tertawa melihat Andini salah tingkah.

“Zra…makasih, ya?”

“Buat apa?”

“Tadi lu udah mau ngelurusin ke orang-orang. Makasih banget lu udah berani speak up. Maaf tadi gue cuma bisa liatin lu dari jauh. Gue ga berani buat ketemu wartawan.”

Mendengar hal tersebut, hati lelaki itu terasa hangat. Ia mengulaskan senyuman ke perempuan di depannya.

“Kalau mau berterima kasih, kiss dulu dong,” ledek Ezra sembari mengacak-acak rambut Andini.

“Ihh mulai kan gilanya.”

“Hehe bercanda, tapi kalo mau beneran boleh banget kok.”

“Engga ya!!”

“Engga apa iya nih?”

“ENGGA EZRA!”

Di tengah-tengah pertikaian kedua belah insan tersebut, datang sosok pria gagah mendekati mereka. “Mohon maaf mbak, mas. Untuk sementara, kami izin untuk berpatroli di sekitar sini. Apabila nanti ada yang masih mengganggu, tolong kabari saya.”

“Iya, siap, pak! Terima kasih banyak mau membantu kami. Tolong jaga Andini, ya, pak? Dia berharga banget, loh!”

“Zra!” Andini memutar bola matanya saat mendengar gombalan Ezra yang tiada hentinya itu.

Saat membaca pesan dari sang adik, Andini tahu betul apa yang adiknya ingin katakan. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar Liam.

Kamar yang berada sekitar 7 langkah dari kamarnya, kini terlihat terbuka sebagian. Andini mencoba untuk mengintip ke dalam sebelum memasuki kamar tersebut. Tampak seorang laki-laki bersandar di samping kasur dengan tatapan kosong. Pandangannya hanya lurus ke luar jendela, entah apa yang ia lihat. Dengan penuh hati-hati, Andini mendekati laki-laki itu.

Andini berdiri persis di samping Liam, tetapi laki-laki tersebut belum menyadari keberadannya. Andini miris melihat adiknya kaku seperti patung tanpa ekspresi. Belaian lembut Andini yang dapat membuat patung itu bergerak menatapnya.

“Kak…,” belum sempat Liam menyelesaikan kalimatnya, Andini memeluknya tanpa aba-aba. Rasa sesak di dalam dada Liam tiba-tiba saja timbul kembali. Laki-laki itu tidak sanggup untuk menahan air matanya sehingga semuanya turun membasahi baju kakaknya.

Sedih, kesal, takut. Semua perasaannya bercampur aduk menjadi satu menghancurleburkan dirinya perlahan. Liam merasa dunia sangat tidak adil. Ia bahkan tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi mengapa semua orang membenci dirinya? Bahkan tidak sedikit yang mendoakan dirinya celaka.

I’m sorry, ini semua gara-gara gue. Harusnya lu ga ngalamin hal kaya gini,” ucap Andini sambil mengelus lembut punggung adiknya.

“Kak, gue takut banget. Takut ke sekolah, tapi udah hampir seminggu gue ga sekolah. Takut ketemu orang…takut bersosialisasi sama orang-orang… Liam takut…takut…takut kak…” Liam mengacak-acak rambutnya, terlihat frustrasi. Netranya menatap lekat poster Winter Aespa yang terpajang di dinding kamarnya. Semakin dilihatnya, semakin sedih terasa baginya. Liam menjadikan Winter sebagai sumber energinya, tanpa disadari semua orang menganggapnya aneh dan tidak wajar. Memang selama ini banyak gadis yang mengagumi Liam. Setiap valentine, Liam selalu mendapatkan coklat misterius yang terletak di atas meja di sekolahnya. Sayangnya, Liam tidak pernah tertarik akan hal itu. Ia selalu disibukkan oleh kegiatannya menjadi fan boy dari salah satu member Aespa.

Andini duduk di samping Liam dan merangkulnya, pandangannya mengikuti arah tatapan Liam, “Li, nanti gue kasih tau ayah sama ibu buat homeschool-in lu aja, ya? Lebih enak juga kan kalo sekolah di rumah, ga perlu cape-cape berangkat pagi, tinggal duduk manis aja tunggu guru dateng.”

Mendengar hal tersebut, Liam melepaskan rangkulan kakaknya untuk memberikan tatapan penuh tanda tanya kepada kakaknya. “Ayah sama ibu kan ga tau kak kita kaya gini. Kasian banget mereka lagi dinas keluar kota tapi malah kita repotin sama masalah ini.”

“Gue juga ga mau bilang sekarang, pasti mereka langsung panik lah. Nanti pas udah redaan nih berita dan ayah ibu udah pulang tuhh baru gue kasih tau.”

“Terus selama itu gue harus ngapain?”

“Bantuin bersih-bersih rumah. Nyapu, ngepel, cuci pir—“

“AH YANG BENER AJAA..” teriak Liam sambil memutarkan bola matanya. Mendengar perkataan kakaknya saja sudah membuatnya letih.

“Terus maunya ngapain?”

“Maunya nonton Ae—eh ga deh, maksudnya mau belajar aja. Liam mau ujian semesteran soalnya.” Liam segera meralat ucapannya. Ia berusaha untuk mengurangi kegiatan yang dikata orang-orang “aneh” dan menjadi laki-laki “normal”.

Andini terdiam sementara saat menyadarinya. Tidak biasanya adiknya mengutamakan belajar daripada menonton idolanya. Akan tetapi, ia tidak mau bertanya kepada Liam terkait hal tersebut karena Andini sudah mengetahui alasannya.

“Wih tumben banget belajar. Akhirnya otak lu ga berdebu,” ledek Andini.

“Sialan lu kak!” ucap Liam sebal.

“Mau makan ga? Kayanya di kulkas masih ada rendang tuh. Nanti gue angetin dulu ya.”

“Ga ah, males. Nanti gue disuruh cuci piring.”

“Engga elahhh. Gue deh yang cuci semua.”

Liam menampilakan deretan giginya usai mendengar respon dari kakaknya, semangatnya mulai kembali perlahan. “Oke, yuk makan.”

Setelah menerima pesan dari Andini, Ezra segera bergegas menuju tempat di mana wanita itu seharusnya berada. Lelaki itu memakai syal hitam yang rapi melingkar di lehernya—bukannya untuk menghangatkan diri, tetapi untuk menutupi sebagian wajahnya.

Studio tampak begitu sibuk sore itu. Hiruk pikuk yang biasanya sudah menjadi rutinitas, kini bertambah dua kali lipat karena kasusnya dengan Bella yang masih menjadi topik hangat di media sosial. Seluruh staf sedang memutar otak supaya kasus yang melanda artis naungan agensinya tidak menjatuhkan nama baik mereka. Dari dalam ruang rekaman, Ezra menyelinap keluar diam-diam. Dirinya melalui semua orang di sana bak orang yang sedang tidak tahu menahu apa yang sedang terjadi. Kaki jenjangnya melangkah keluar dari kericuhan itu dengan cepat. Tanpa disadari ada sosok yang membututinya.

Sesampainya di depan bangunan bertuliskan “Plus Hereux”, Ezra memantapkan hatinya sebelum kakinya melangkah masuk ke dalam bangunan tersebut.

KRING

“Selamat da—”

Andini—sosok wanita yang selama ini menjadi sumber cahayanya—kini berdiri tepat di hadapannya. Kedua matanya menatap netra Ezra yang kini sudah dipenuhi cairan bening yang siap untuk tumpah membasahi pipinya.

Tanpa aba-aba Ezra menuju Andini dan melingkarkan lengannya di tubuh wanita itu. Tangannya meraih rambut hitam beraroma manis yang selalu menjadi favoritnya ketika tak sengaja terhirup saat dirinya dekat dengan wanita kesukaannya itu.

Andini bergeming, tubuhnya seperti sedang berada di dalam lemari es—kaku.

Ezra melepaskan pelukannya dan menatap lekat kedua bola mata yang selalu indah untuk dipandangi. Tangannya beralih ke kedua bahu Andini. “An, kali ini dengerin gue, ya? Please,” ucap Ezra gemetar.

KRING

“Kak Ali? Ngapain di situ? Aku cariin dari tadi, loh“

Pandangan semua orang tertuju pada sumber suara tak terkecuali Ezra dan Andini.

“Well, that's explain everything.” Andini berusaha melepaskan kedua tangan Ezra dari bahunya. Ia segera membalikan badannya menjauh dari kedua pasangan yang menjadi asupan publik.

Lengan Ezra menyambar pergelangan tangan Andini dengan cepat, ia tidak ingin wanita itu pergi dari sisinya. Saat itu, pikiran Ezra sedang membabi buta ingin memberitahu yang sesungguhnya kepada Andini. “An, lagu itu...,” potong Ezra sembari menelan salivanya. Pria itu sempat berpikir agensi yang menaunginya serta Bella akan kerepotan karena dihujani pertanyaan dari semua media. Namun, ia sudah tidak peduli lagi akan semua yang menghakiminya nanti. “...She loves me (not) itu buat lu. Ya...girl in pink itu lu pas di konser.”

Kedua mata Bella membelalak mendengar pengakuan Ezra. Dirinya merasa sangat malu berdiri di sana dengan tatapan nanar ditujukan dari semua orang. Bola mata wanita itu bergerak ke kanan dan kiri kebingungan. Ia segera menundukkan kepalanya dan mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. Wanita yang baru saja namanya dikenal khalayak banyak itu, tidak mau kejadian ini menjadi buah bibir di kalangan penggemarnya. Tanpa ia sadari, di dalam salon milik Andini terdapat sepasang wanita yang merupakan wartawan yang sedari tadi merekam seluruh kejadian.

“Sini sini, kita foto dulu. Pake lightstick, ya. Eh... cahol gue juga keliatan dong. Soalnya ini cahol gemes edisi Gio.”

Talitha yang melihat kedua sahabatnya sedang sibuk berfoto hanya bisa menghela napasnya. Perempuan itu memang tidak terlalu suka dirinya dipotret dan disebarkan di media sosial.

Seusai Andini dan Risa mengambil gambar, ketiga sahabat itu mulai mengantre untuk memasuki venue. Dari luar mereka sudah bisa mendengar suara teriakan seluruh penggemar 7Miracle. Hal tersebut membuat ketiga orang ini semakin bersemangat untuk segera menikmati konser boyband kesukaan mereka.

Saat Andini memasuki venue, tiba-tiba dadanya berdebar. Dirinya menghirup udara dalam-dalam dan segera mengeluarkannya lagi. Melihat tingkah temannya yang sedikit aneh, Risa segera menenangkan Andini. Ia mengelus pelan punggung Andini, “are you okay? Kalo emang belum siap, ga usah dipaksa, ya? Gue gapapa kok kalo ga nonton.”

Mendengar kekhawatiran Risa akan dirinya membuat Andini mengulas senyum tipis. Ia menghadapkan dirinya ke arah Risa. “Gue gapapa kok. Lagian cuma ngeliat dari jauh.”

Sudah lama sekali Andini tidak melihat kehadiran Ezra secara langsung. Terakhir mereka bertemu tepat 1 tahun yang lalu ketika Ezra berusaha untuk menjelaskan perkaranya dengan Bella. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Bagai orang asing, kedua insan tersebut tidak lagi saling bertukar sapa. Perasaan cinta yang dahulu menggerogoti diri perempuan itu, kini sudah mulai sirna. Namun, bukan berarti perempuan itu berhenti mengagumi sang lelaki. Dirinya tetaplah menjadi penggemar berat lelaki yang biasa disapa seluruh orang “Alister”. Kini sapaan “Ezra” sudah tidak lagi ia gunakan. Andini sudah sepenuhnya menjadi penggemar biasa. Tidak ada lagi keistimewaan di dalam dirinya. Tidak ada lagi spoiler di saat 7Miracle hendak mengeluarkan lagu baru. Tidak ada lagi kartu id untuk memasuki belakang panggung. Tidak ada lagi merchandise gratis. Tidak ada lagi syair merdu yang selalu dilantunkan khusus untuknya.

Andini cukup bahagia dengan kehidupannya saat ini. Ia senang melihat Alister berhasil menggapai mimpinya untuk menjadi idol internasional. Alister dan teman-temannya selalu menduduki peringkat pertama dalam music chart. Dengan seluruh pencapaian mereka, Andini merasa lega atas keputusannya di kala itu.

Cahaya warna-warni mulai menerangi seluruh venue—pertanda konser akan segera dimulai. Seluruh penonton berteriak histeris ketika anggota 7Miracle keluar dari balik layar. Ezra—bukan—Alister terlihat sangat menawan dari sudut pandang Andini. Mata perempuan itu berbinar-binar saat idolanya berdiri di hadapannya.

Ketika konser hendak usai, seluruh anggota 7Miracle menghampiri penggemar sambil melambai-lambaikan tangan. Tanpa sengaja penglihatan Alister menangkap sosok Andini. Saat kedua mata mereka bertemu, Alister memberikan perempuan itu senyum hangat. Tentu saja, Andini menyadari hal tersebut. Andini membalas senyuman lelaki itu, kemudian ia menunduk malu. Tak lama setelah itu, Alister pergi ke belakang panggung. Andini hanya bisa melihat punggung lelaki itu semakin menjauh...menjauh...dan kemudian sirna.

Andini sadar bahwa semesta hanya mengizinkan dirinya menganggumi Alister, bukan untuk memilikinya. Mereka berdua tidaklah berpisah, tetapi kembali menjadi yang sebagaimana mestinya.

fin

“Kak Ali? Ngapain di situ? Aku cariin dari tadi, loh”

Seketika tubuhku tidak bisa bergerak. Pikiranku membuncah. Jujur saja, emosi yang kian menumpuk hampir meledak saat itu. Kayanya ada yang salah sama isi otaknya cewe itu?

“Kak?” perempuan yang bahkan aku tidak sudi menyebut namanya itu berusaha meraih tanganku untuk mengarah kepadanya.

“Kak? Yuk, pulang!”

Aku hanya bisa menghela napas mendengar suaranya. Aku sangat benci kehadirannya. Sungguh. Sampai-sampai aku tidak bisa mennggambarkan seberapa bencinya aku kepada perempuan itu.

Aku tidak membalas sapaannya. Aku segera keluar dari salon dengan perasaan yang sangat kecewa. Hari ini seharusnya Andini bisa berbaikan denganku. Aku hanya ingin Andini tahu bahwa lagu yang ku nyanyikan itu untuk dirinya. Aku ingin Andini tahu bahwa aku masih berharap kami bisa bersama kembali.

Baru beberapa langkah aku keluar dari salon, perempuan itu menahan langkahku. Masih saja ia kekeh dengan sandiwara yang hendak dibuat seluruh staf untuk kami berdua. Berkali-kali aku menolak hal konyol itu. Aku berusaha sesabar mungkin menghadapinya. Kalau saja aku bukan seorang idol, mungkin perempuan ini sudah aku geprek.

Sudah lebih dari 5 menit perempuan itu berbicara tanpa henti, aku hanya bisa berkacak pinggang sambil mendengarkan omong kosongnya.

“Gue yakin lo setakut itu sama pihak agensi, apalagi lo baru debut. Pasti lo berpikir apa pun keputusan agensi, itu pasti yang terbaik. No. Itu salah besar. Agensi cuma mentingin keuntungan buat mereka. Udahlah, hidup sendiri-sendiri aja. Ga usah ngerepotin urusan gue—”

“Aku suka sama Kak Ali.”

Saat perempuan itu menyatakan perasaannya, entah kenapa diriku langsung terdiam seakan-akan mulutku tiba-tiba dikunci.

Perempuan itu menunduk, tubuhnya gemetar. Aku bisa melihat air mata yang berjatuhan ke tanah. Aku melihat ke sekitar, semua orang memerhatikan kami. Aku tidak mau orang-orang salah paham. Ku raih tangannya dan ku ajaknya masuk ke mobil.

Melihat perempuan menangis di hadapanku, tentu saja aku tidak tega. Selembar tisu aku ulurkan kepadanya. Aku benci situasi ini, di mana aku tidak tahu harus melakukan apa.

Aku hargai perasaannya, tapi aku tidak bisa menerimanya. Aku masih sangat menyukai Andini. Perasaanku masih tetap sama sejak 2 tahun lalu.

Usai melihat Bella datang menghampiri Ezra, aku tidak berpikir panjang. Aku tidak ingin mengetahui mengapa perempuan itu terlihat sangat khawatir mencari-cari Ezra. Saat bertemu Ezra di dalam salonku, binar di matanya kian menerang. Tentu saja hal tersebut membuatku bingung, namun aku bungkam dan memilih untuk pergi. Lebih tepatnya, aku memilih untuk tidak sakit lebih dalam.

Dari balik jendela ruanganku, terlihat jelas bayangan kedua pasang insan sedang berbincang di luar salon. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, mereka terlihat sangat akrab untuk sekedar rekan kerja. Aku diam-diam memerhatikan setiap detail Ezra. Ini selalu berhasil membawaku pergi ke masa lalu. Rambutnya yang sedikit ikal berwarna hitam legam melambai-lambai terkena angin. Tatapannya yang selalu terlihat berapi-api saat berdiri di panggung, kini tampak teduh melihat ke arah lawan bicaranya. Bibirnya yang sedikit tebal itu bergerak tanpa henti seolah-olah sedang mengucapkan mantra. Tangan kanan yang awalnya sedang berkacak pinggang, kini diarahkan ke pergelangan tangan wanita di hadapannya—menarik wanita itu pergi dari tempat tersebut. Kedua bola mataku sempat mengikuti ke arah kedua orang tersebut pergi hingga akhirnya aku kehilangan mereka.

Bukan air mata kesedihan yang jatuh bergulir dari sudut mataku, melainkan air mata kebahagiaan. Anehnya, aku merasa lega. Aku merasa sangat senang karena Ezra akhirnya menemukan kebahagiaannya sendiri. Lelaki itu tidak perlu menutup-nutupi hubungan dirinya lagi. Lelaki itu bisa bebas melakukan apa pun yang dirinya ingin lakukan, pikirku. Aku selalu berpikir bahwa aku adalah sebuah penghalang Ezra untuk berkarir. Selama ini aku merupakan kandang yang mengurung Ezra untuk berkelana.

Genggamanku yang selalu erat, kini aku lepaskan begitu saja. Genggaman yang aku pikir dapat menyelamatkan kami berdua, tetapi ternyata salah. Genggaman itu hanya menguntungkan satu pihak sedangkan pihak lainnya terluka. Meski perih rasanya, tetapi aku terlalu egois apabila aku tidak membiarkan Ezra untuk pergi.

Jika ditanya apakah aku masih menyukai Ezra, jawabannya tidak pernah berubah. Ya, aku masih sangat menyukai pria itu.

Bukannya aku tidak ingin berjuang, hanya saja aku tahu diri. Aku selalu membayangkan hidup bahagia bersama Ezra seperti di film-film romansa kesukaanku. Namun, aku berekspektasi terlalu tinggi. Aku baru sadar bahwa tidak ada yang menyakitiku, melainkan ekspektasiku sendiri. Sebelumnya aku selalu dikuatkan oleh angan-angan dan kini aku dijatuhkan oleh kenyataan.

“Alister Ezra Zayan, terima kasih untuk kenangan indahnya. Semoga kita bisa tetap bahagia meski dengan takdir yang berbeda.”

Setelah menerima pesan dari Andini, Ezra segera bergegas menuju tempat di mana wanita itu seharusnya berada. Lelaki itu memakai syal hitam yang rapi melingkar di lehernya—bukannya untuk menghangatkan diri, tetapi untuk menutupi sebagian wajahnya.

Studio tampak begitu sibuk sore itu. Hiruk pikuk yang biasanya sudah menjadi rutinitas, kini bertambah dua kali lipat karena kasusnya dengan Bella yang masih menjadi topik hangat di media sosial. Seluruh staf sedang memutar otak supaya kasus yang melanda artis naungan agensinya tidak menjatuhkan nama baik mereka. Dari dalam ruang rekaman, Ezra menyelinap keluar diam-diam. Dirinya melalui semua orang di sana bak orang yang sedang tidak tahu menahu apa yang sedang terjadi. Kaki jenjangnya melangkah keluar dari kericuhan itu dengan cepat. Tanpa disadari ada sosok yang membututinya.

Sesampainya di depan bangunan bertuliskan “Plus Hereux”, Ezra memantapkan hatinya sebelum kakinya melangkah masuk ke dalam bangunan tersebut.

KRING

“Selamat da—”

Andini—sosok wanita yang selama ini menjadi sumber cahayanya—kini berdiri tepat di hadapannya. Kedua matanya menatap netra Ezra yang kini sudah dipenuhi cairan bening yang siap untuk tumpah membasahi pipinya.

Tanpa aba-aba Ezra menuju Andini dan melingkarkan lengannya di tubuh wanita itu. Tangannya meraih rambut hitam beraroma manis yang selalu menjadi favoritnya ketika tak sengaja terhirup saat dirinya dekat dengan wanita kesukaannya itu.

Andini bergeming, tubuhnya seperti sedang berada di dalam lemari es—kaku.

Ezra melepaskan pelukannya dan menatap lekat kedua bola mata yang selalu indah untuk dipandangi. Tangannya beralih ke kedua bahu Andini. “An, kali ini dengerin gue, ya? Please,” ucap Ezra gemetar.

KRING

“Kak Ali? Ngapain di situ? Aku cariin dari tadi, loh

Pandangan semua orang tertuju pada sumber suara tak terkecuali Ezra dan Andini.

Well, that's explain everything.” Andini berusaha melepaskan kedua tangan Ezra dari bahunya. Ia segera membalikan badannya menjauh dari kedua pasangan yang menjadi asupan publik.