Pulang
Sudah hampir satu jam Ezra menunggu di dalam mobilnya. Lelaki itu parkir beberapa rumah dari rumah Andini karena di depan rumah wanita itu sudah dipenuhi oleh kendaraan wartawan yang rela menginap di sana. Berkali-kali ia menghubungi Andini namun nihil hasilnya.
kayanya andi lagi ga liat hp
andi lagi ga mau diganggu, ya?
andi marah sama gue deh
apa hpnya andi mati, ya?
Terlalu banyak asumsi yang bermunculan di otak Ezra. Kekhawatirannya sudah memuncak hingga membuat pikirannya tidak jernih. Sempat ia berpikir untuk kembali ke rumahnya, tetapi ia urungkan niatnya. Sudah jauh-jauh ia datang ke kediaman sosok wanita yang kini menjadi musuh penggemarnya dan Bella. Lagipula, Ezra pun sudah menyiapkan mental saat nanti bertemu wartawan.
huft…okay…ayo zra lu pasti bisa
Ezra memberanikan diri untuk keluar dari mobilnya. Tiada ragu dalam langkahnya. Ia hanya ingin meluruskan semuanya, meski konsekuensi yang akan dia emban sangat berat.
Tinggal 3 langkah lagi lelaki itu sampai di rumah Andini, seluruh wartawan berlarian menyerbunya.
Kilauan lampu sorot yang mengenai matanya mampu membuat Ezra menyipit. Di depannya sudah berjejer kamera dan mikrofon. Kumpulan wartawan itu tidak mau saling kalah melemparinya pertanyaan.
“Alister? Kenapa Anda datang ke sini?”
“Apa benar seluruh berita yang sedang dibicarakan?”
“Bagaimana hubunganmu dengan Andini?”
“Mengapa kamu menuliskan lagu She Loves Me (not) untuk wanita lain selain Bella?”
“Apa iya Bella dan Anda sudah menjalin hubungan selama 4 bulan?”
Masih banyak lagi pertanyaan yang tidak tertangkap oleh indra pendengaran Ezra. Kepalanya mulai pusing dengan keributan yang mengelilinginya. Ia menghembuskan napasnya perlahan dan mengumpulkan kekuatannya.
“Saya dan Bella hanya rekan kerja. Selama ini kami tidak menjalin hubungan spesial sama sekali. Saya hanya membantunya beberapa kali ketika Bella sedang kesusahan. Untuk Andini, ya, dia adalah mantan terindah saya. Dia yang dari dulu menemani saya dari nol hingga saat ini. Bukan dia yang meminta saya untuk tidak move on, tetapi memang saya sendiri yang tidak mau. Lagu itu saya buat untuk Andini karena saat itu saya benar-benar sedih kalau mengingat kenyataan bahwa saya dan Andini sulit bersatu karena keadaan.” Ezra menarik napas sejenak. Seluruh wartawan tampak terkejut mendengar pernyataannya barusan.
Tidak lama, Ezra melanjutkan perkataannya, “saya benar-benar mencintai Andini. Sejauh ini memang belum ada penggantinya dan memang saya tidak mencarinya karena hanya dialah yang saya butuhkan. Sebelumnya kami memang pernah jalan bersama dan entah kenapa ada orang lain memotret kami tanpa izin dan menyebarkan berita palsu. Lalu apa akibatnya? Andini dihujat abis-abisan sama semua penggemar saya. Asal kalian tahu, Andini sedih, saya pun demikian. Kalau kalian mau menghancurkan dia sama saja kalian hancurkan saya. Memangnya salah saya menyukai gadis itu? Biarkan saya melakukan apa yang saya mau. Saya bukanlah boneka kalian yang seenaknya dapat kalian kontrol. Saya cuma manusia biasa, tolong pengertiannya. Apa dosa Andini yang buat kalian sampai sejahat itu ke dia? Kalau kalian memang penggemar saya, tolong hargai saya. Tolong cintai karya saya, bukan mengekang saya. Banyak penyanyi, aktris, aktor, penari di luar sana yang hidupnya tidak bisa bebas dan selalu mendapat komentar menyakitkan. Kami bukan dewa yang sempurna. Kami bisa melakukan kesalahan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin di bidang kami. Oleh karena itu fokuslah di sana dan jangan mencampuri urusan di luar itu seperti hal privasi kami. Biarkanlah kami menjalani hari-hari kami dengan tenang.” Tenggorokan Ezra mulai serak, ia berusaha menelan air liurnya tetapi tidak berhasil, malah membuat tenggorokannya perih.
Tidak seperti sebelumnya, wartawan yang mengelilingi laki-laki itu menjadi hening. Mereka saling menatap merasa bersalah. Tidak ada pertanyaan lagi. Beberapa dari mereka mulai menutup kamera dan membereskan peralatannya. Tidak lama kemudian terdengar sirine mobil polisi menghampiri depan rumah Andini. Semua orang di sana termasuk Ezra terlihat bingung akan kedatangan polisi.
“AYO SEMUANYA STERILKAN AREA INI”
Mendengar perintah tersebut, semuanya berlarian memasuki mobil masing-masing. Mereka tidak mau ambil risiko berurusan dengan polisi. Ketika Ezra hendak masuk ke mobilnya, terdengar suara perempuan memanggilnya. Ia menoleh sekilas dan mendapati Andini sedang berlarian kecil menghampirinya. Ezra tidak jadi masuk ke dalam mobil hitam yang terpakir rapih di pinggir jalan itu, ia segera menutup pintu mobilnya kembali dan menyambut kedatangan Andini.
Ezra terkejut ketika Andini berlari masuk ke pelukannya. Pupilnya membesar, jantungnya berdebar tidak karuan, tangannya tampak gemetar ketika hendak membelai rambut Andini. Ia memanfaatkan waktu ini untuk melepaskan seluruh rindu dan kecemasannya terhadap perempuan itu. Ezra eratkan dekapannya seakan ingin menghancurkan tubuh mungil perempuan itu.
Andini membenamkan kepalanya di dada lelaki itu. “Zra… maaf tadi ga liat chat dari lu.”
“Huh? Gimana, An? Maaf ga kedengeran,” ujar Ezra polos.
Andini segera melepaskan pelukannya dan menghempaskan Ezra pelan, “Ih lu mah!”
Ezra terkekeh melihat wajah Andini yang tampak kesal.
“Gimana tadi cantik? Maaf ya kurang denger, boleh diulangin lagi ga?”
Perempuan itu tidak pernah bisa marah kepada Ezra. Selalu ada 1001 cara lelaki itu meluluhkan hatinya. Andini menatap Ezra lekat-lekat dan memastikan pria itu mendengarkannya kali ini.
“Maaf tadi gue ga liat chat lu soalnya gue ga boleh pegang hp sama Talita sampe bokapnya sama ajudannya ke sini.”
“Oh—jadi itu bokapnya Talita?”
Andini hanya membalas Ezra dengan anggukan, “Lita udah muak banget sama semua wartawan yang ga pernah mau pergi dari rumah gue sampe akhirnya harus bokapnya yang turun tangan. Beberapa hari ke depan pun bakal dikirim polisi ke sini buat jagain gue.”
“Ya ampun gue harus berterima kasih banget sama Talita. Tolong disampein, ya! Bilang ke dia makasih udah nolongin cewe gue.”
Andini refleks memukul lengan Ezra, “apaan sih, Zra?”
Ezra hanya tertawa melihat Andini salah tingkah.
“Zra…makasih, ya?”
“Buat apa?”
“Tadi lu udah mau ngelurusin ke orang-orang. Makasih banget lu udah berani speak up. Maaf tadi gue cuma bisa liatin lu dari jauh. Gue ga berani buat ketemu wartawan.”
Mendengar hal tersebut, hati lelaki itu terasa hangat. Ia mengulaskan senyuman ke perempuan di depannya.
“Kalau mau berterima kasih, kiss dulu dong,” ledek Ezra sembari mengacak-acak rambut Andini.
“Ihh mulai kan gilanya.”
“Hehe bercanda, tapi kalo mau beneran boleh banget kok.”
“Engga ya!!”
“Engga apa iya nih?”
“ENGGA EZRA!”
Di tengah-tengah pertikaian kedua belah insan tersebut, datang sosok pria gagah mendekati mereka. “Mohon maaf mbak, mas. Untuk sementara, kami izin untuk berpatroli di sekitar sini. Apabila nanti ada yang masih mengganggu, tolong kabari saya.”
“Iya, siap, pak! Terima kasih banyak mau membantu kami. Tolong jaga Andini, ya, pak? Dia berharga banget, loh!”
“Zra!” Andini memutar bola matanya saat mendengar gombalan Ezra yang tiada hentinya itu.