Liam

Saat membaca pesan dari sang adik, Andini tahu betul apa yang adiknya ingin katakan. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar Liam.

Kamar yang berada sekitar 7 langkah dari kamarnya, kini terlihat terbuka sebagian. Andini mencoba untuk mengintip ke dalam sebelum memasuki kamar tersebut. Tampak seorang laki-laki bersandar di samping kasur dengan tatapan kosong. Pandangannya hanya lurus ke luar jendela, entah apa yang ia lihat. Dengan penuh hati-hati, Andini mendekati laki-laki itu.

Andini berdiri persis di samping Liam, tetapi laki-laki tersebut belum menyadari keberadannya. Andini miris melihat adiknya kaku seperti patung tanpa ekspresi. Belaian lembut Andini yang dapat membuat patung itu bergerak menatapnya.

“Kak…,” belum sempat Liam menyelesaikan kalimatnya, Andini memeluknya tanpa aba-aba. Rasa sesak di dalam dada Liam tiba-tiba saja timbul kembali. Laki-laki itu tidak sanggup untuk menahan air matanya sehingga semuanya turun membasahi baju kakaknya.

Sedih, kesal, takut. Semua perasaannya bercampur aduk menjadi satu menghancurleburkan dirinya perlahan. Liam merasa dunia sangat tidak adil. Ia bahkan tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi mengapa semua orang membenci dirinya? Bahkan tidak sedikit yang mendoakan dirinya celaka.

I’m sorry, ini semua gara-gara gue. Harusnya lu ga ngalamin hal kaya gini,” ucap Andini sambil mengelus lembut punggung adiknya.

“Kak, gue takut banget. Takut ke sekolah, tapi udah hampir seminggu gue ga sekolah. Takut ketemu orang…takut bersosialisasi sama orang-orang… Liam takut…takut…takut kak…” Liam mengacak-acak rambutnya, terlihat frustrasi. Netranya menatap lekat poster Winter Aespa yang terpajang di dinding kamarnya. Semakin dilihatnya, semakin sedih terasa baginya. Liam menjadikan Winter sebagai sumber energinya, tanpa disadari semua orang menganggapnya aneh dan tidak wajar. Memang selama ini banyak gadis yang mengagumi Liam. Setiap valentine, Liam selalu mendapatkan coklat misterius yang terletak di atas meja di sekolahnya. Sayangnya, Liam tidak pernah tertarik akan hal itu. Ia selalu disibukkan oleh kegiatannya menjadi fan boy dari salah satu member Aespa.

Andini duduk di samping Liam dan merangkulnya, pandangannya mengikuti arah tatapan Liam, “Li, nanti gue kasih tau ayah sama ibu buat homeschool-in lu aja, ya? Lebih enak juga kan kalo sekolah di rumah, ga perlu cape-cape berangkat pagi, tinggal duduk manis aja tunggu guru dateng.”

Mendengar hal tersebut, Liam melepaskan rangkulan kakaknya untuk memberikan tatapan penuh tanda tanya kepada kakaknya. “Ayah sama ibu kan ga tau kak kita kaya gini. Kasian banget mereka lagi dinas keluar kota tapi malah kita repotin sama masalah ini.”

“Gue juga ga mau bilang sekarang, pasti mereka langsung panik lah. Nanti pas udah redaan nih berita dan ayah ibu udah pulang tuhh baru gue kasih tau.”

“Terus selama itu gue harus ngapain?”

“Bantuin bersih-bersih rumah. Nyapu, ngepel, cuci pir—“

“AH YANG BENER AJAA..” teriak Liam sambil memutarkan bola matanya. Mendengar perkataan kakaknya saja sudah membuatnya letih.

“Terus maunya ngapain?”

“Maunya nonton Ae—eh ga deh, maksudnya mau belajar aja. Liam mau ujian semesteran soalnya.” Liam segera meralat ucapannya. Ia berusaha untuk mengurangi kegiatan yang dikata orang-orang “aneh” dan menjadi laki-laki “normal”.

Andini terdiam sementara saat menyadarinya. Tidak biasanya adiknya mengutamakan belajar daripada menonton idolanya. Akan tetapi, ia tidak mau bertanya kepada Liam terkait hal tersebut karena Andini sudah mengetahui alasannya.

“Wih tumben banget belajar. Akhirnya otak lu ga berdebu,” ledek Andini.

“Sialan lu kak!” ucap Liam sebal.

“Mau makan ga? Kayanya di kulkas masih ada rendang tuh. Nanti gue angetin dulu ya.”

“Ga ah, males. Nanti gue disuruh cuci piring.”

“Engga elahhh. Gue deh yang cuci semua.”

Liam menampilakan deretan giginya usai mendengar respon dari kakaknya, semangatnya mulai kembali perlahan. “Oke, yuk makan.”