Andini's pov

Usai melihat Bella datang menghampiri Ezra, aku tidak berpikir panjang. Aku tidak ingin mengetahui mengapa perempuan itu terlihat sangat khawatir mencari-cari Ezra. Saat bertemu Ezra di dalam salonku, binar di matanya kian menerang. Tentu saja hal tersebut membuatku bingung, namun aku bungkam dan memilih untuk pergi. Lebih tepatnya, aku memilih untuk tidak sakit lebih dalam.

Dari balik jendela ruanganku, terlihat jelas bayangan kedua pasang insan sedang berbincang di luar salon. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, mereka terlihat sangat akrab untuk sekedar rekan kerja. Aku diam-diam memerhatikan setiap detail Ezra. Ini selalu berhasil membawaku pergi ke masa lalu. Rambutnya yang sedikit ikal berwarna hitam legam melambai-lambai terkena angin. Tatapannya yang selalu terlihat berapi-api saat berdiri di panggung, kini tampak teduh melihat ke arah lawan bicaranya. Bibirnya yang sedikit tebal itu bergerak tanpa henti seolah-olah sedang mengucapkan mantra. Tangan kanan yang awalnya sedang berkacak pinggang, kini diarahkan ke pergelangan tangan wanita di hadapannya—menarik wanita itu pergi dari tempat tersebut. Kedua bola mataku sempat mengikuti ke arah kedua orang tersebut pergi hingga akhirnya aku kehilangan mereka.

Bukan air mata kesedihan yang jatuh bergulir dari sudut mataku, melainkan air mata kebahagiaan. Anehnya, aku merasa lega. Aku merasa sangat senang karena Ezra akhirnya menemukan kebahagiaannya sendiri. Lelaki itu tidak perlu menutup-nutupi hubungan dirinya lagi. Lelaki itu bisa bebas melakukan apa pun yang dirinya ingin lakukan, pikirku. Aku selalu berpikir bahwa aku adalah sebuah penghalang Ezra untuk berkarir. Selama ini aku merupakan kandang yang mengurung Ezra untuk berkelana.

Genggamanku yang selalu erat, kini aku lepaskan begitu saja. Genggaman yang aku pikir dapat menyelamatkan kami berdua, tetapi ternyata salah. Genggaman itu hanya menguntungkan satu pihak sedangkan pihak lainnya terluka. Meski perih rasanya, tetapi aku terlalu egois apabila aku tidak membiarkan Ezra untuk pergi.

Jika ditanya apakah aku masih menyukai Ezra, jawabannya tidak pernah berubah. Ya, aku masih sangat menyukai pria itu.

Bukannya aku tidak ingin berjuang, hanya saja aku tahu diri. Aku selalu membayangkan hidup bahagia bersama Ezra seperti di film-film romansa kesukaanku. Namun, aku berekspektasi terlalu tinggi. Aku baru sadar bahwa tidak ada yang menyakitiku, melainkan ekspektasiku sendiri. Sebelumnya aku selalu dikuatkan oleh angan-angan dan kini aku dijatuhkan oleh kenyataan.

“Alister Ezra Zayan, terima kasih untuk kenangan indahnya. Semoga kita bisa tetap bahagia meski dengan takdir yang berbeda.”